Part 3
PART 3
“Nanti malam kujemput pukul tujuh, kita makan malam dengan orangtuaku.”
Aku menggigit bibir sambil menahan napas. Jadi dia menyuruhku ke ruangannya hanya untuk mengatakan itu? Arogan sekali! Kenapa tidak mengirim pesan ke ponselku? Sikapnya padaku cenderung seperti atasan pada karyawannya, bukan seperti pria pada kekasih yang akan dinikahinya.
Kekasih .... Ah, aku terlalu banyak berharap. Tentu saja aku bukan kekasihnya. Bukankah kami tidak pernah berpacaran?
Lagi pula, apa yang kuharapkan darinya? Dia datang padaku sambil membawa satu buket bunga mawar dan mengajakku makan malam bersama orangtuanya? Khayalan yang terlalu tinggi.
Aku menghela napas dengan wajah bertekuk. Kuanggukkan kepala dengan malas, lalu memutar tubuh untuk berlalu darinya.
“Vinsa ....”
Langkah kakiku terhenti mendengar suara panggilannya. Tiba-tiba dadaku berdebar. Jantungku berdegub kencang. Aku mematung, tidak berbalik untuk menatapnya.
Dalam sedetik, sosok itu sudah berdiri di dekatku. Aku bergeming dengan jantung yang terus berdetak semakin kencang. Wajahku terasa memanas. Aku tahu, pasti sekarang wajahku merah merona.
“Aku ingin mempercepat pernikahan kita menjadi Sabtu ini.”
Satu kalimat yang singkat tapi cukup menyetrum kesadaranku. Aku mengangkat wajah dan mataku beradu dengan mata elang miliknya. Mata gelap yang sangat tajam. Aku tidak bisa melihat apa pun di sana, tapi cukup membuat darahku berhenti mengalir dalam beberapa detik saat merasakan tatapannya.
“Tapi—tapi kenapa?” tanyaku terkejut. Sangat terkejut. Sabtu ini? Itu berarti beberapa hari saja lagi. Aku tidak siap. Benar-benar tidak siap. Bolehkah aku kabur saja? Ke luar negeri mungkin? Ah …, telalu mahal. Mungkin ke Bali saja sekalian cuci mata, pasti banyak bule cakep di pantai Kuta.
“Karena dua minggu lagi ada jadwal penting yang tidak bisa kutunda atau majukan. Jadi aku memilih memajukan jadwal pernikahan kita saja.”
Kakiku seketika melemas dan selembut agar-agar. Aku butuh kursi untuk duduk. Namun tentu saja gengsi jika aku melakukan itu di depan pria tampan yang sebentar lagi akan menjadi suamiku ini.
“Ka-kalau begitu …, pernikahan kita dimundurkan hingga tiga atau empat minggu ke depan saja, Pak,” kataku terbata.
Terlihat kilat tidak senang di mata hitam itu. Seketika aku bergidik. Aku sudah berani melawannya.
“Tidak bisa,” jawabnya dingin. “Ayo iku aku. Kita makan siang sekalian mengepas gaun pengantin dan pilih cincin kawin,” ajaknya sambil menggamit tanganku. “Dan jangan panggil aku dengan embel-embel Bapak lagi, sebentar lagi aku akan menjadi suamimu.”
Aku terenyak. Ingin bersuara, tapi aku tahu, percuma berargumen di hadapan Hans. Dia selalu dominan dalam segala hal. Harusnya mundur dari rencana gila ini, tapi entah kenapa, suaraku tertelan dan akhirnya aku hanya menurut.
***
Akhirnya pernikahan itu terjadi.
Mengepas gaun pengantin, memiilih cincin kawin, berkenalan dengan orangtua Hans. Dan entah bagaimana, beberapa hari berlalu dengan sangat cepat dan sekarang aku sudah menjadi mempelainya. Menjadi pengantin wanita yang anggun dalam balutan gaun yang sangat mewah, berdiri di samping Hans di ballroom sebuah hotel bintang lima, menerima tamu dan tersenyum semanis mungkin. Aku tidak tahu bagaimana Hans menyiapkan pesta semewah itu dalam waktu beberapa hari. Yang pasti, aku tidak pernah mengkhayalkan penikahan semewah ini, bahkan satu kali pun.
Setelah acara pesta yang melelahkan, di sinilah aku sekarang. Duduk kaku di depan meja rias di kamar pengantin kami di rumah pribadi Hans yang terletak di kompleks perumahan mewah.
Ini seperti mimpi. Bagaimana mungkin aku kini telah menjadi istri atasanku?
Beberapa hari lalu, aku sempat mengemukakan niat untuk membatalkan pernikahan ini, tapi justru mendapat tatapan dingin Hans yang seketika membuatku mengkerut dan diam membisu, lalu mau tidak mau menurut pada keinginannya.
Aku menghela napas pelan. Kutatap wajahku yang terlihat sangat cantik pada pantulan cermin. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, aku meraih kapas muka dan makeup remover untuk mulai menghapus riasan.
Dari pantulan cermin, aku bisa melihat Hans sedang duduk di sisi ranjang sambil melepas jas dan dasinya. Seketika dadaku berdebar.
Apakah malam ini aku akan menjadi miliknya seutuhnya? Sanggupkah aku menolaknya bila dia menginginkan haknya sebagai suami?
***
bersambung ...
Follow i********:: Evathink