Chapter 12 - Sesuatu Berbeda

2033 Kata
**** Gagal mendapat anime dari Rama kala itu? Tak pa. Setidaknya semuanya terbalaskan dengan undangan event yang ditawarkan oleh Alif. Namun, siapa sangka? Hari itu bisa penuh dengan kejutan. Dan, ramai akan sesuatu yang berbeda. **** “Gimana?” “Maaf Shel. Aku nggak bisa ikut. Nggak dapat ijin dari mamah.” “Sarua, Shel. Abdi ge teu dapet ijin ti mamah. Hampura, nya.” Respon yang cukup membuat Shella memajukan bibirnya beberapa milisenti. Rahma dan Asti tidak bisa menerima ajakannya untuk pergi ke event hari ini. Berarti teman perginya hanya Ami. Kalau pun ajak Deva, sudah jelas gadis itu akan menolak. Alirannya dengan Shella bagaikan langit dan bumi. Shella jepang, Deva korea. Tidak ada event yang bisa mereka datangi bersama, kecuali event bazar buku, atau event gabungan JapanxKorea. Shella melirik jam di dinding kamarnya. Dua jam lagi sebelum janji bertemu dengan Ami. Sang gadis menyalakan kembali ponselnya, dan mencari kontak temannya itu, lalu mengiriminya sebuah pesan. “Mi, kau jadi ikut ke event, kan?” Tak sampai lima menit, Ami menjawab. “Ya.” “Oke. Kalau gitu aku tunggu di dekat jalan raya, ya.” Ami setuju. Shella pun bersiap dengan mengganti baju santainya dengan baju yang lebih panras. DIbukanya lemari dan dengan serius, Shella menimang pakaian apa yang harus dipakainya hari ini. Acaranya dilaksanakan indoor dan outdoor—menururt informasi yang didapatkan Shella dari page resmi dan Alifian—jadi dia harus menggunakan baju senyaman mungkin. Ia juga harus memikirkan baju yang nyaman untuk dipakai banyak gerak, karena acara yang akan berlangsung sampai jam sembilan malam akan menampilkan banyak performance yang pasti membuatnya tak berhenti melompat-lompat. “Hmmm….” Sebenarnya baju dalam lemarinya tidak terlalu banyak, tapi Shella benar-benar lemah soal fashion. Butuh berapa lama lagi dirinya berdiri di depan lemari dengan kepala yang berputar. Gadis yang biasa memakai baju seenaknya—seperti sekedar kaos oblong dan celana pendek—karena jarang keluar ruamh, melakukan kegaitan di tempatnya ini benar-benar membuatnya mabok. “Ah, sudahlah. Apa aja yang penting pakai baju.” Shella mengambil setelan yang paling atas dalam lemainya, juga mengambil sesuatu yang tergnatung di sisi lemari satunya. Tak lupa bawahannya ia ambil dari slot yang paling bawah. Tak sampai sepuluh menit, Shella sudah berubah dengan pakaiannya yang baru. Celana tiga perempat hitam membalut kakinya, atasannya ia memakan kemeja hitam putih panjang, ditambah outer kotak-kotak berwarna semi ungu-kebiruan. Style yang paling gadis itu suka. Tidak terlalu feminism, tapi tidak juga terlalu ke-tomboi-an. “Yosh! Tinggal nunggu jam.” Oh! Shella jadi teringat sesuatu. Ada hal yang ingin sekali ia coba saat waktu lenggang, atau saat hari ibur seperti ini. Dilirknya lagi jam dinding. Masih ada satu jam setengah, mungkin Shella masih bisa melakukan hal itu. Bisakah? Namun, walaupun bisa, sesuatu pasti akan mengancamnya. Hidupnya bisa jadi tak tenang. Bahkan sesuatu yang buruk bisa saja mendatanginya. Shella menggigit jari. Keinginannya sudah mendesak begitu lama dan ia ingin segera merealisasikannya. “Nggak apa-apa kali, ya….” Sekali saja. Ya, hanya untuk saat ini saja. Shella pun memantapkan niatnya. Kemudian, melangkah menuju kamar mandi dan menutup pintu di balik punggungnya. ***** “Eng… Shel? Kamu serius nggak apa-apa kayak gitu?” Ami menunjuk kepala—lebih tepatnya rambut mocca shella yang terlihat berbeda dari biasanya dengan raut khaRahmar. Pasalnya, rambut sebahu itu kini terhiasi oleh sesuatu yang sangat kontras. Beberapa helainya memiliki warna yang berbeda, yakni merah muda. Walau terbilang sedikit—hanya dibagian dekat poni, serta beberapa helai di dekat telinga, tapi tetap saja warnanya terlalu cerah dan sangat mudah terlihat oleh orang lain. Bagaimana jadinya jika Shella masuk ke sekolah dengan penampilan seperti ini!? “Nggak apa-apalah. Satu hari ini aja. Nggak permanen, kok! Lagian, sekolah juga nggak ketat-ketat amat sama peraturan—” “Nggak ketat emang nggak ketat, Shel, tapi nggak semua guru suka ngeliat muridnya ngewarnain rambut kayak gini Yang ada nanti kamu dianggap anak nakal geura.” Ami menuturkan panjang lebar soal resiko yang akan dihadapi Shella karena neko-neko dengan rambutnya. “Ya…aku tahu itu,” jawab Shella seakan tak peduli. “Ya, itu mah gimana nanti we lah. Nanti juga aku lunturin…” “…kalau nggak lupa.” Shella berkelit cepat saat Ami hendak menjitak kepalanya. Kekehan keluar dari mulutnya dengan senyum yang berkata, “Eits, nggak kena!” Ami menghela napas. Keras kepala. Kata yang tepat untuk menggammbarkan anak satu ini. Terkadang perkataan apapun tak akan mempan padanya jika sudah berkaitan dengan hal yang disukai atau diinginkan gadis itu. Taka da yang bisa ia lakukan selain mendoakan keselamatan Shella esok hari. Klakson mobil terdengar tak jauh dari mereka. Akhirnya, layanan ojek mobil online mereka tiba juga. Sudah hampir lima belas menit Shella dan Ami menunggu di bawah terik matahari, sekarang mereka bisa bergegas mluncur menuju tempat event berlangsung. Sebelum itu, Shella memastikan kepada pengemdinya apakah ini mobil yang sesuai dengan yang ada dalam pesanannya. Setelah terkonfirmasi, mereka berdua lantas masuk ke dalam kendaraan roda empat tersebut. “Ngomong-ngomong, Ami,” kata Shella saat sudah berada di dalam mobil. “Kau nggak pernah ganti style rambut, ya? Ponytail terus. Nggak pegel apa itu rambutnya?” Hah? Pegel? “Rambut mana bisa pegel, Shel. Kepalanya kali yang pegel.” “Bisa. Kalau diiket kelamaan, ntar rambutnya nggak bisa napas. Jadi, yang pegel bukan cuman kepalanya, tapi rambutnya juga.” “Iyalah gimana kamu, Shel.” Ami menyerah meladeni jalan pikiran Shella. Ia lantas menjawab pertanyaan yang sempat tertunda tadi. “Aku nggak ganti style rambut yak arena nyaman aja diikat ponytail. Simpel. Kalau digerai panas. Rambutku kan lebih panjang dari punyamu Shel.” Shella ber-‘oh’ panjang sambil manggut-manggut—macam kepala kura-kura yang ada di dashboard mobil ini. Tapi, kalau dipikir-pikir, Ami memang sudah cocok dengan style yang seperti ini. Rambutnya yang terikat satu, dilengkapi celana hitam panjang dan jaket putih yang membalut tubuh. Gadis itu kembali memerhatikan jalanan yang cukup padat. “Uh…aku harap bisa sampai tepat waktu….” ***** Kedua gadis itu tak bisa mengatupkan mulutnya kala memasuki area yang penuh dengan manusia-manusia dari segala penjuru. Belum lagi stan-stan makanan dan pernak-pernik hobi yang memenuhi tempat. Lapar mata Shella benar-benar memuncak. “Waaah! Waaah! Ami, Ami! Ayo kita ke sana! Aku mau cari husbuku! Aku mau nyari katalis buat husbuku—Ack!?” Shella yang akan berlari langkahnya oleh tangan yang menarik kerah bajunya hingga membuatnya tercekik. Tangannya menggapai-gapai udara berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kuat itu. “A—A…Mi….” “Shel, ingat. Kita kesini bukan buat nguras dompet. Jangan sampai khilaf kelewatan. Kamu juga bilang kan tadi kalau bawa uang pas-pasan buat ongkos pulang-pergi dan beli makan?” “I—Iya…Mi…. Ta—tapi, ini…lepasin dulu…! Aku nggak bisa napas…!” Shella berucap dengan susah payah. “Oh, maaf.” Ami yang melepaskan tangannya tiba-tiba membuat Shella hampir tersungkur ke depan. Untung saja ia tidak sampai benar-benar jatuh. Kalau iya, may ditaroh di mana mukanya di depan orang banyak seperti ini!? Shella merapihkan bajunya yang berantakan. Kepalanya celingak-celinguk mencari satu orang lagi yang seharusnya sudah ada di tempat ini sejak satu jam lalu. Berhubung Shella datangnya telat karena jalanan yang macet—ia jadi tidak bisa menyamakan waktu kedatangan dngan lelaki itu. “Lif, lu di mana?” Sepuluh menit kemudian, balasan datang. “Gua ada di aula. Masuk aja. Lihat yang perform dance cover.” “Ami. Ayo masuk. Alif katanya di dalam. Lagi lihat yang dance cover,” ajak Shella. Ami mengikuti. Kedua gadis itu menerobos kerumunan orang sambil terus mengedarkan pandangan, mencari sosok lelaki setinggi 165 cm di antara tubuh-tubuh yang tingginya macam tiang listrik ini.  “Uh…mana sih si Alif….” Saku Shella tiba-tiba bergetar kala menerima sebuah notifikasi WA. “Shel. Gua di belakang lu.” Sang gadis refleks memutar kepalanya. Di belakang? Hanya ada sekelompok orang dalam balutan costum dan riasan wajah. Mana Alif? “Mana? Di belakang gua cuman ada cosplayer.” “Hehe.” Shella mengerutkan dahi. Kenapa pula anak ini tertawa. Sekali lagi, Shella mendongakkan kepala dan memperhatikan view yang ada di depan matanya itu. Grup dance cover, grup pengunjung dan penonton, dan grup…cosplayer…. Tunggu, ada yang aneh. Shella menahan napas. Jangan-jangan!? “Alif! Jangan bilang lu….” “Heh. Udah tahu sekarang?” Shella mengalihkan pandangan dari ponsel hitam miliknya. Sosok lelaki dalam balutan baju samurai berwarna ungu, dengan rambut panjang terikat satu yang warnanya senada dengan pakaiannya, berdiri menjulang di hadapan sang gadis. Sebuah replika katana tergantung di balik punggungnya. Shella benar-benar dibuat menganga dengan tampilan orang di depannya. “A—A—A….” Shella kehilangan kata-kata. “What?” “Lif…lu…SEJAK KAPAN LU JADI COSPLAYER!?” Shella berteriak. “Sejak…entah? Gak inget gua.” Sang gadis yang berada lima belas senti di bawah pemuda itu menggeleng keras. “Nggak-nggak-nggak nggak. Lu, kenapa, lu, nggak pernah cerita-cerita!?” “Ngapain juga gua cerita ke lu?” jawab Alif enteng. Shella emosi. Tangannya berusaha merebut katana yang—seperti sengajaj dipamerkan Alif—sudah ditangan kiri pemuda itu, namun Alif dengan cepat menggeser tubuh sambil mengangkat tangannya hingga tangkapan Shella meleset. “J****k!” “Shella! Bahasamu!” Ami berseru memperingatkan. Shella menggembungkan pipi dengan mulut maju ke depan. “Jadi, kamu emang dari awal datang ke event buat cosplay?” tanya Ami pada Alif. Pemuda itu mengangguk. Sang gadis kembali bertanya, “ikut lombanya?” Alif menggeleng. “Nggak. Gua nggak bisa kalau disuruh ikut lombanya. Gua cosplay cuman buat senang-senang.” “Cuman buat senang-senang….” Shella mengulang kalimat itu dengan lemas. “Dipikir budet buat cosplay itu kayak jajan di kantin sekolah, ya? Ha…ha….” B*****, kutuk Shella dalam hati. “By the way, Shel. Rambut lu kayak beda. Apa nggak apa-apa diwarnai kayak gitu?” Alif mengalihkan pembicaraan. Shella terkejut dengan Alif yang menyadari perubahan kecil pada dirinya. Dengan gugup ia menjawab, “Y—Ya…nggak apa-apa, kali. Lagian peraturan sekolah uga nggak ketat-ketat amat. Nanti juga gua hapus, nggak permanen ini.” Alif memandangnya dengan tatapan tak yakin. “Apa?” tanya Shella sinis. “Nggak. Gua cuman nggak yakin aja lu bisa selamat dengan rambut pink lu itu,” katanya. “Dan, juga, gua nggak nyangka lu tertarik warnai rambut. Warna pink pula.” Shella kesal. “Suka-suka gua lah!” serunya. “Lagian lu yang paling bikin nggak nyangka di sini, Lif! Rambut gua nggak ada apa-apanya!” Suara speaker semakin berdebum keras kala memainkan musik pengiring untuk para penari di atas panggung. Shella bersedekap penuh rasa dongkol karena orang-orang yang membahas begitu heboh pada rambut pink-nya. Apalagi saat lelaki cosplayer yang berucap. Dasar nggak ngaca! Kebisuan menyergap Shella dan Alif untuk beberapa saat. Ami tengah pamit untuk mencari makan sebentar, meninggalkan mereka berdua di keramaian yang menggedor-gedor gendang telinga. Sang gadis memerhatikan sekali lagi pemuda di dekatnya itu, lantas memecah keheningan. “Jadi, ceirtanya lu cosplay jadi Regend?” “Yup! Karakter favortin gua. Kesayangan gua!” “Kesayangan your head,” sahut Shella sinis. “Gua kira lu bakal cosplay waifu lu, Astolfo.” “Ya, awalnya emang niat, tapi nggak jadi.” “Why?” tanya Shella. Alif menjawab tanpa memandang si gadis. Matanya fokus pada panggung yang berdiri beberapa meter di depannya. “Gua nggak diijinin buat cosplay dia—“ “Nggak diijinin? Sama siapa?” Shella semakin penasaran. Alif baru hendak membuka mulut, seseorang memanggil dari arah kerumunan cosplayer. Seseorang dengan gaun merah muda yang super mewah ala bangsawan, wig hitam panjang dengan style twin-tail, dilengkapi topi senada sebagai hiasan kepala, dan sepatu boot putih yang menimbulkan suara khas karena haknya yang cukup tinggi, melangkah mendekati mereka bertiga. Ciel Phantomhive. “Raihan—“ Raihan? “—dicariin tuh sama anak-anak. Mau ada sesi fotbar sebelum lomba katanya.” Seorang wanita memanggil Alifian dengan nama belakangnya. Tunggu, ini aneh. Selama ni Shella belum pernah mendengar satu orang pun memanggil lelaki b*****t itu dengan nama Raihan. Sebenarnya, siapa dia? “Lif. Kok dia manggil lu Raihan, sih? Emang dia siapa? Keluarga lu?” tanya Shella penuh rasa penasaran dengan suara setengah berbisik. “Ah, dia…” Alifian berjalan mendekati gadis yang lebih hampir sepantar dengan Alif—karena sepaut berhaknya. Pemuda itu melanjutkan, “…dia cewek yang udah ngelarang gua buat cosplay Astolfo.” “Kenalin. Dia Shin. Pacar gua.”******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN