Pusaran Ingatan Jackie (1)

1521 Kata
Aku masih kesal dan mengibaskan rambut panjangku dengan hentakan ketika melangkah naik ke dalam mobil Roger. Tidak butuh waktu lama bagi mobil itu untuk dinyalakan dan keluar dari area parkir, menyusuri jalanan beraspal mulus sepanjang Dandelion Highway. Begitu Roger memutar mobilnya ke arah Reading Street yang relatif lebih lengang, aku mulai menduga-duga tempat makan tujuan kami. Tapi tunggu, tempat itu kan… mewah sekali? Rupa-rupanya, dugaanku tepat sasaran. “Ayo,” ajak Roger seraya mengulurkan tangannya, membantuku turun. “T…tapi…. Ini kan restoran mahal. Kau yakin?” tanyaku penuh keraguan. “Sangat yakin. Jangan khawatir, restoran ini berbintang dua Michelin. Jadi tidak semahal dibandingkan bintang tiga.” “Ini…bukan sekedar makan, Rogie. Ini fine dining,” aku mengoreksi dengan putus asa. “Betul,” sahut Roger lagi dengan enteng. “Sesekali mencoba fine dining, boleh ‘kan? Aku sudah reservasi, kok.” Aku hanya bisa tersenyum gugup. Seperti anak ayam, aku mengikuti langkah-langkah panjang Roger yang membawaku ke lantai tiga puluh. Saat kami memasuki area bernuansa klasik megah itu, aku masih bisa merasakan detak jantungku yang hampir melompat keluar. Tanpa kusadari, kami sudah duduk di salah satu meja sembari ditawari buku menu. Tak bisa kubayangkan aku akan menikmati makan malam a-la carte di restoran yang perlu reservasi. “Sa…saya… untuk hidangan pembuka, dengan salad sayuran, main course-nya … yang roasted lamb in balsamic, dan untuk sajian penutup passion fruit soufflé. Terimakasih.” Tanganku yang berkeringat dingin cepat-cepat mengembalikan buku menu pada waiter, yang lalu menanyakan hidangan pada Roger. “Santai saja,” kata Roger. “Makan bisa menghilangkan gugup dan perasaan buruk.” “Rogie,” ucapku langsung mengkonfrontasi, “Berada di sini sudah cukup membuatku merasa tidak pantas, karena ini bukan tempat makan biasa. Apakah... kamu punya alasan membawaku kesini?” Aku menelan ludah. “Kamu... bukannya berniat memutuskan hubungan kita, ‘kan? Kenapa... kenapa mendadak begini?” Roger terpaku bingung, lalu tawanya pun pecah. “Kurasa, lebih baik kulakukan sekarang, ya? Daripada kamu kepikiran terus.” “Hah?” Roger Wright tiba-tiba beranjak dari kursinya lalu berlutut di hadapanku. “Jacqueline Chase, maukah kamu menikah denganku?” ucapnya lembut seraya mempersembahkan sebentuk cincin permata di dalam kotak. Aku begitu terperangah. Aku amat sangat sadar saat mengangguk, mengiyakan permintaan Rogie, namun keriuhan saat itu tenggelam oleh rasa haru dalam dadaku. Semua orang bertepuk tangan, termasuk para waiter, sementara aku memeluk Roger sangat erat. Sisa malam itu aku lalui dengan mudah, tanpa rasa gugup atau tercekat lagi. Daging domba berempah yang kumakan terasa begitu lembut dan nikmat. “Jackie,” panggil Roger tiba-tiba ketika ia juga sedang menikmati steak-nya sendiri. “Bagaimana menurutmu nanti rumah tangga yang kamu inginkan?” Aku tersenyum. “Rogie, kita masih punya banyak waktu untuk mendiskusikan itu.” “Ya, aku tahu,” sahut Roger lembut. “Tapi aku tidak ingin menjadi seorang kepala keluarga yang tidak bertanggungjawab di matamu. Aku ingin memikul beban yang memang seharusnya kupikul. Bila mungkin, aku akan membantu memikul tanggungjawabmu juga.” Aku terus mendengarkan Roger dengan cermat. Roger pun melanjutkan. “Mempertahankan status karyawan setelah menjadi seorang istri tidak mudah. Ada dua beban yang akan kaupikul.” Alisku naik sebelah. “Maksudmu? Aku tidak bisa menjadi karyawan yang baik setelah menikah nanti? Aku tidak bisa mempertahankan performa yang baik?” Roger memandangku dengan senyum lembut, mencairkan api marah yang hendak menyala di dadaku dalam sekejap mata. “Bukan, bukan begitu. Aku tahu bahwa kamu adalah seorang pekerja keras, bahkan timmu telah memiliki KPI lebih baik daripada timku,” kekeh Roger. “Maksudku ialah beban yang diemban tubuhmu. Aku tidak ingin melihatmu kecapekan. Mengurusi pekerjaan rumah tangga kita bisa lakukan bersama. Namun menikah bukan cuma tentang itu, ‘kan? Yah, aku lebih suka disambut di rumah oleh wajah Jackie yang gembira dan berseri-seri daripada wajah Jackie yang lelah dan penuh tekanan. Kau tentu tidak akan menyanggah pendapatku, bahwa pekerjaan kita adalah pekerjaan yang tingkat stresnya cukup tinggi. Bila kita berdua pulang dalam keadaan lelah, ditambah mengurusi pekerjaan rumah tangga, apa menurutmu kita akan punya waktu romantis berdua?” Aku memahami maksud Roger. Pernikahan memang bukan sekedar hidup bersama dan mengurusi rumah tangga bersama, tapi juga tentang saling mencintai. “Aku paham maksudmu,” anggukku. “Tapi sebelum menolak atau menyetujui, aku akan menanyaimu satu hal.” “Ya, boleh.” “Apa kau berniat mempunyai anak secepat mungkin?” Roger mengangkat bahu. “Sebenarnya aku ingin menghabiskan waktu bersamamu dulu sebelum memutuskan untuk punya anak. Bagaimana denganmu?” Aku menghela napas lega. “Begitu juga aku. Nah, jika kita sependapat, kau tak usah khawatir soal kelelahanku. Aku bisa menanggungnya tanpa merusak hubungan kita. Kau bisa memegang janjiku.” Roger meraih tanganku dan memegangnya erat. “Baiklah, Sayang. Asalkan kau bahagia dengan apa yang kau jalani, ya?” Aku mengangguk setuju. Sisa waktu kami gunakan untuk menghabiskan makan malam. Aku duduk dengan nyaman menikmati pemandangan malam kota yang berkerlap-kerlip, sedangkan Roger langsung ke toilet setelah menandaskan makanannya. Mataku yang terkantuk-kantuk disadarkan oleh dering ponsel Roger. Sebuah pesan. Aku mengambil ponsel Roger dan memeriksanya, kalau-kalau itu pesan penting. Di antara kami memang tidak ada kerahasiaan. Aku mengetahui kata sandi ponsel Roger dan begitu pula Roger: ia bisa dengan mudah mengakses ponselku. Rupanya hanya pesan dari nomor tidak dikenal yang menawarkan produk pembersih. Aku sempat men-scroll untuk melihat pesan-pesan lain, tapi tidak ada yang aneh. Hanya pesan dari pamannya –satu-satunya keluarga Roger yang masih hidup – dan rekan kerja. Saat Roger kembali dan aku memberitahu tentang pesan barusan, Roger hanya menyuruhku menghapusnya. “Sudah terlalu banyak spam di ponselku,” katanya acuh tak acuh. Aku pun menuruti permintaan Roger tanpa banyak pertimbangan. Pesan-pesan spam lainnya juga kuhapus tanpa membaca isinya lebih lanjut. Untuk apa? Bukankah dari nomor yang tertera dan beberapa kata yang terbaca pada folder pesan sudah cukup jelas bahwa semuanya bukan pesan penting? Ya, seyakin itulah diriku pada Roger saat menerima lamarannya malam itu -seyakin bahwa pesan-pesan yang kuhapus cuma iklan produk sales. Keyakinan 100%. *** Kelopak mata Jackie masih membuka, namun mata itu hanya menatap kosong menengadah ke langit-langit ruang eksekusi. Ia masih melihat kelebat-kelebat kenangannya terhampar samar. Jackie adalah wanita yang pintar dan memiliki kemampuan mengingat yang bagus. Semua yang ada di matanya saat ini adalah sekuens kejadian-kejadian, serta ruang dan waktu yang pernah ia selami. Dua belas Oktober 2022. Hari pernikahan. Dua belas Oktober itu, ia resmi mengganti namanya dari Jacqueline Chase menjadi Jacqueline Wright. Meja bertaplak putih yang menyajikan berbagai minuman dan makanan, kue pengantin setinggi satu setengah meter, hiasan-hiasan dinding gedung yang berpitakan emas dan perak, serta lantai pualam mengilap berwarna putih dengan pulasan hijau jade. Baik Jackie dan Roger tidak memiliki banyak anggota keluarga. Jackie merupakan anak adopsi dari pasangan yang masing-masing merupakan anak tunggal. Sedangkan Roger mengatakan bahwa dirinya hanya memiliki paman yang menjadi satu-satunya anggota keluarganya yang masih hidup. Namun, hal itu tidak mengurangi kemeriahan suasana resepsi. Karena Roger dan Jackie bekerja di perusahaan yang sama, pesta sesak dipenuhi rekan kerja mereka. Ditambah pula dengan kawan-kawan dekat. Jackie ingat betul percakapannya dengan sang Mr. Wright-nya di pesta dansa yang meriah hari itu, ketika semua tamu tengah menari gembira diiringi alunan lagu Alison Moyet, Only You. Looking from the window above, its like a story of love Can you hear me? Came back only yesterday, moving farther away. Want you near me All I needed was the love you gave All I needed for another day And all I ever knew, only you. “Jackie Sayang?” toleh Roger pada Jackie dengan senyum manisnya. “Ya?” balas Jackie tak kalah manis. Sulit untuk tidak tersenyum di hari bahagia ketika segala sesuatunya berjalan lancar, riasanmu indah, dan kamu menikahi orang yang kamu cintai. “Apakah aku only you-mu?” tanya Roger. “Yes, you’re my only one,” jawab Jackie. “Akan mencintaiku sehidup semati?” “Tentu, Rogie. Aku berjanji. Kamu?” Roger mengangkat jari manisnya yang telah dilingkari cincin. Tangan kanannya juga mengangkat jari manis kiri Jackie. “Bukankah sepasang cincin ini sudah cukup sebagai bukti ketulusanku?” Jackie mengangguk lembut. “Itu cukup bagiku.” Roger merangkul Jackie lebih dekat, lalu mengecup dahi kekasihnya itu penuh sayang. Begitu keduanya melepaskan rangkulan, Roger memiringkan kepala. “Hei, aku terpikirkan sesuatu.” “Apa itu?” “Bagaimana kalau kita membuat joint account? Akun rekening bersama sebagai sepasang suami istri, kau tahu ‘kan?” Jackie tergelak. “Rogie, masih banyak waktu untuk memikirkan hal itu.” “Ya, kau benar. Tapi meskipun kita masih dalam periode pasca resepsi dan honeymoon, tak ada salahnya mulai memikirkan bagian realistis dalam hidup kita ke depan. Salah satunya finansial. Bukankah kita sudah berniat untuk membeli rumah dan berbagai aset bersama?” Jackie mengelus pipi Roger yang tercukur rapi. “Baiklah. Tapi hal-hal lainnya kita bahas setelah acara hari ini usai, ya? Kalau kau ingin membahasnya secepat mungkin, kita bisa mulai membahasnya besok.” Roger tidak menjawab apapun, namun bangkit dari duduk dan menarik tangan Jackie turun ke lantai dansa. “Ayo, Jackie, kita perlu melemaskan otot kita lagi di sini,” kata Roger, tepat saat lagu Alison Moyet berganti dengan The Beatles, If I Fell. Sekali lagi ingatan Jackie berganti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN