Pertemuan

1336 Kata
Rabiah berdiri menatap lalu lalang didepannya dengan seksama. Dia sudah menunggu disini selama dua jam lebih, tapi orang yang ditunggu tidak kunjung nampak batang hidungnya. Payung abu-abu masih tergenggam erat di tangan. “Bagaimana ini?” gumamnya gelisah. Bagaimana jika dia tidak menemukan siapa pemilik payung ini? Perkara payung ini … Sungguh dia tidak pernah berfikir ini akan menyita waktunya. “Andai aku tahu dia anak fakultas mana. Tunggu, kami bertemu didepan gedung fakultas Syariah, kemungkinan besar dia memang anak sini kan?” kembali Rabiah bergumam sendiri memikirkan cara bagaimana menemukan si pemilik payung. Baiklah, dia akan menunggu disini selama tiga hari berturut-turut, jika selama tiga hari itu, dia tidak kunjung menemukan pemiliknya, Rabiah akan menyimpannya sampai bertemu dengan si pemilik payung. “Bagaimana?” Aleesha bertanya begitu melihat Rabiah masih berdiri di posisinya semula. Rabiah menggeleng muram. “Aku tidak menemukannya. Kira-kira dia anak mana ya?” “Kemungkinan anak syariah, entah ushuluddin atau ushulfiqih, tapi kita akan mencari tahu, sekarang sebaiknya kita bergegas. Jika kita naik bus, kemungkinan akan lama sekali di jalan karena menunggu busnya penuh.” Sebenarnya mereka bisa saja naik taxi, tapi biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal daripada naik bus. Namun salah satu kelemahan naik bus di tempat ini, pemilik bus biasanya menunggu penumpang penuh yang kadang memakan watu sampai satu jam. “Kita makan di jalan?” Rabiah mengangguk. “Iya, agar tidak memakan waktu banyak. Besok pagi-pagi sekali kita masih harus bertemu dengan pengurus HPMI Yordania (Himpunan Perkumpulan Mahasiswa Indonesia) membahas penggalangan dana, dan sekalian talaqqi juga dengan istri syekh.” Mereka berdua akhirnya berjalan dalam hening menuju gerbang kampus yang bentuknya mirip seperti mihrab dalam versi lebih kecil. Ada dua gerbang yang akan menyambut mahasiswa sebelum benar-benar masuk kawasan perkuliahan Mu’tah. Halaman luas yang ditumbuhi pohon rindang dan juga bangku yang diletakkan di beberapa sisi membuatnya terlihat seperti taman yang di kelilingi bangunan tinggi nan kokoh. Mahasiswa suka menghabiskan waktu di tempat ini. Belajar sekaligus menikmati semilir angin yang kadang berhembus lembut membelai wajah mereka. Menyenangkan. ***** Sebagai ibukota Yordania, Amman merupakan kota elit-lebih seperti Jakartanya Indonesia dengan fasilitas lengkap. Biasanya jika kesulitan menemukan bahan perkuliahan, mereka akan meluncur ke tempat ini, meski jarang sekali mereka kesini kecuali saat perkumpulan HPMI Yordania, karena meski termasuk desa, Mu’tah memiliki fasilitas yang mumpuni. Hampir seluruh bangunan di Yordania memiliki bentuk dan warna yang mirip. Kebanyakan bangunan disini dari beton dengan warna dominan putih. “Apa rencanamu setelah selesai kuliah?” Aleesha bertanya disela-sela mereka mencari buku. Saat ini mereka berada di Jordan Book Center, salah satu toko buku terbesar di Yordania. Rabiah yang sedang memegang buku Kitab Sirrul Asrar karya Syekh Abdul Qodir Jailani menoleh. “Umi minta pulang. Disuruh ngajar. Katanya kasihan anak-anak kurang mendapat perhatian ilmu agamanya.” Aleesha tersenyum, sementara kakinya terus melangkah. “Dan kamu setuju?” Rabiah mengangguk. “Itu keinginanku juga. Aku ingin mengajar anak-anak.” “Tidak berniat tinggal disini lebih lama?” “Umi tidak memberi izin. Harus pulang dulu baru bisa lanjut studi,” “Bagaimana jika bertemu jodoh disini? Toh mengajar disini juga sama. Anak-anak dimana saja tetap butuh yang namanya didikan agama.” Rabiah heran sendiri. Ini kenapa sahabatnya sejak kemarin membicarakan pernikahan ya? “Mana mungkin ada orang sini yang tertarik denganku Aleesha,” balasnya acuh tak acuh, hanya agar sahabatnya tidak bertanya lebih lanjut, tapi dia salah. “Tidak harus orang sini juga, tapi bisa jadi dia mahasisiwa Indonesia yang kuliah disini juga. Kita tak pernah tahu kan?” Rabiah menghentikan gerakan tangannya. “Sejak kemarin bahasanmu tidak jauh dari menikah. Sudah ada yang ngajak ta’aruf ⁷?” Aleesha tertawa pelan. “Baiklah sepertinya sekarang umpannya mengarah padaku. Apa kau sudah menemukan bukumu?” Rabiah menunjuk dua buku tebal yang dia pegang. “Ayo kita bayar, setelah itu cari makan dan pulang.” Aleesha menarik Rabiah agar berjalan didepannya. **** Mereka sedang menikmati kebab sembari menikmati waktu yang beranjak sore. “Indah,” gumamnya saat melihat anak-anak kecil berusia sekitar tujuh tahun berlarian dengan orang tua mereka memantau di belakang. “Rindu kampung halaman?” “Ini tahun keempat aku tidak pulang.” “Kebanyakan kita mengalami hal yang sama. Oh iya, setelah acara besok kita akan kunjungan ke rumah si kecil Hasan bukan?” Rabiah mengangguk.”Iya, keluarga itu pasti menunggu kita. Dan si kecil Hasan sekarang semakin lucu dan…,” Rabiah menghentikan kalimatnya saat melihat sosok dengan postur tubuh tinggi yang berjalan berlawanan arah dengan tempatnya duduk. Kenapa dia merasa pernah melihatnya. Rabiah tampak berfikir,encoba mengingat-ingat dimana dia pernah melihat orang yang berjalan lurus ke depan itu. Si pemilik payung! Rabiah segera menghentikan aktifitas mengunyahnya dan bergegas berdiri. “Kenapa?” Aleesha yang melihat gelagat aneh Rabiah mengikuti arah pandangnya. “Si pemilik payung,” Gumam Rabiah penuh kelegaan. Dia harus bergegas, jika tidak ingin kehilangan jejak. “Aku harus menyusulnya,” lanjutnya tanpa ragu dan bergegas berdiri. Rabiah mempercepat langkahnya, mencoba mengejar langkah laki-laki yang berjalan santai tidak jauh dari depannya. “Tunggu!” Aleesha mengeluarkan beberapa JOD⁸ dan membayar makanan mereka, sebelum menyusul Rabiah. Rabiah dengan nafas tersengal mencoba menyamai langkahnya dengan laki-laki berpostur tinggi yang masih tidak menyadari kalau dia diikuti. Sedikit lagi, batinnya menyemangati diri sendiri. Rabiah mencoba mengamati sosok didepannya, dia mungkin tidak pernah melihat wajahnya, tapi punggung laki-laki itu, dia mengenalnya. Musim panas meski tidak terlalu membakar seperti biasa, nyatanya tetap membuat Rabiah dipenuhi peluh. Senyumnya merekah saat menyadari jarak mereka tinggal beberapa meter lagi. Dia memang tidak membawa payungnya, tapi setidaknya dia tahu siapa pemilik payung itu sekarang. Rabiah mengatur nafasnya sebelum membuka pembicaraan. “Assalamu’alaikum,” gumamnya pelan agar tidak membuat laki-laki itu terkejut. “Ya?” laki-laki itu menghentikan langkah saat menyadari seseorang berbicara padanya, namun saat melihat wajah orang yang menyapanya dia tersenyum lembut. “Maaf, aku hanya ingin mengembalikan payung yang kau berikan, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Beruntung kita bertemu disini.” Kata Rabiah panjang lebar, tidak menyadari laki-laki itu tersenyum melihatnya. “Simpan saja.” balasnya sopan, segera mengalihkan pandangan saat sadar wanita itu mendongak setelah dari tadi menunduk. “Apa?” “Aku tidak membutuhkannya lagi. Kamu bisa menyimpannya. Dia sudah punya pemilik baru sekarang.” Rabiah sampai kehilangan kata-kata. Laki-laki ini memberikannya begitu saja? Apa sebaiknya dia menerimanya atau tidak usah? “Jangan takut. Aku tidak akan melakukan apapun. Kamu bisa membuangnya jika kamu mau, tapi itu sama saja membuang benda yang bisa mendatangkan manfaat, tapi itu tetap terserah padamu.” Laki-laki ini sebenarnya memberikannya payung itu atau memintanya membuangnya? “Ada lagi?” Rabiah gelagapan dan segera menggeleng. Dia mungkin sudah mengganggu waktu laki-laki ini. “Terima kasih, untuk payungnya dan juga bantuannya.” Rabiah akhirnya mengucapkan kalimat yang sejak kemarin ingin dia katakan, sejak laki-laki ini mengangsurkan payung padanya. Laki-laki itu tersenyum, menatap wajah teduh perempuan didepannya yang sejak tadi lebih banyak menundukkan pandangan. “’Aku senang mengetahui payung itu bermanfaat. Sebaiknya aku pergi.” Ucapnya setelah beberapa saat gadis itu hanya diam. Dia melenggang pergi meninggalkan gadis yang bersusah payah mengejarnya hanya untuk mengembalikan sebuah payung. Apa mungkin gadis itu berfikir dia tidak sanggup membeli payung lagi? Rabiah membuang nafas lega saat menyadari laki-laki itu sudah berjalan menjauh. “Apa dia pemiliknya?” Aleesha bertanya begitu berdiri di sampingnya. Sejak tadi dia sudah sampai, hanya saja dia berdiri dan mengamati dari jarak beberapa meter. Rabiah mengangguk. “Dia tidak menyangkal saat aku menyebut tentang payung.” “Dilihat dari postur tubuhnya, sepertinya dia orang sini. Siapa namanya?’ Rabiah mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Aku tidak menanyakannya.” Aleesha mendesah frustasi. “Itu tidak sopan namanya. Bagaimana jika suatu saat kalian bertemu lagi?” “Kau yang bilang dia penduduk disini. Sekarang tidak ada alasan bagi kami untuk bertemu lagi, Sha. Sebaiknya sekarang kita pulang sebelum keburu sore.” Ujar Rabiah menarik tangan Aleesha. Tapi Rabiah salah, karena pertemuan mereka masih akan terus berlanjut, dan laki-laki itu akan memiliki bagian penting dalam perjalanan hidupnya. 7. Proses perkenalan antara dua keluarga yang memiliki niat dan maksud tertentu untuk menuju jenjang pernikahan 8. Dinar Yordania
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN