Sebelum seakrab sekarang, Daryl dan Ofelia pernah mengalami yang namanya sebuah awkward moment juga di awal perkenalan mereka. Beruntung momen tidak menyenangkan itu hanya terjadi selama sekian menit saja. Karena menit-menit, jam-jam, hingga hari-hari berikutnya mereka seperti sudah saling mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun. Bukan lagi dua sosok yang baru bertemu satu kali selama tiga jam dan seminggu kemudian mendadak menjadi sahabat karib.
Satu minggu telah berlalu dari sejak Ofelia dan Daryl bertemu di kantor Riilfud cabang Indonesia. Hari itu adalah hari keberangkatan Ofelia dan peserta pelatihan lainnya untuk mengikuti training di Jerman. Ditemani oleh sang kakak, Ofelia sedang menunggu bersama dua peserta pelatihan lainnya di salah satu konter maskapai penerbangan milik asing yang akan mengantar Ofelia ke Jerman. Hingga pukul satu siang baru Ofelia dan dua rekannya yang hadir. Masih ada dua orang lagi yang belum tiba termasuk Daryl.
Ketika sedang memasukkan beberapa bungkus coklat ke dalam tote bag miliknya, pundak Ofelia disenggol oleh iparnya. "Arah jam dua," bisik Sonia, kakak ipar Ofelia sambil menahan senyum. "Kalau doi partner kerja lo, jangan dilewatkan begitu saja," candanya tapi dengan nada bicara pura-pura serius.
Ofelia refleks menoleh ke arah yang dimaksud oleh Sonia. Detik itu juga dia mendapati Daryl sedang melenggang bak model papan atas sembari menggeret koper berukuran medium berwarna silver di samping kirinya. Laki-laki itu terus berjalan ke arah Ofelia dengan ekspresi tak terbaca. Entah kenapa tiba-tiba saja Ofelia merasa gelisah melihat Daryl yang semakin dekat padanya. Apalagi gaya berpakaiannya hari ini sangat berbeda dari saat mereka bertemu untuk yang pertama kalinya. Hari ini laki-laki itu tampil lebih santai dengan celana denim dan kaus berwarna putih dilapisi cropped jacket warna hitam doff, yang membuat proporsi kakinya jadi terlihat lebih jenjang.
"Apaan, sih, Kak? Bicik banget lo," sebal Ofelia. Sonia yang mendengar respon adik iparnya hanya terkekeh pelan.
"Hay," sapa Daryl lebih dulu ketika sudah berdiri tak jauh dari hadapan Ofelia.
Sonia yang mendengar sapaan itu kembali menyikut pangkal lengan Ofelia. Sementara Ofelia hanya mengangguk kikuk membalas sapaan Daryl. Sonia yang gemas melihat tingkah laku adik semata wayangnya yang kaku bak kanebo kering itu tak sabar untuk memberikan celetukan. "Sapa balik ege!" ucap Sonia dengan suara yang bisa didengar juga oleh Daryl.
"Hay," ucap Ofelia akhirnya. Kali ini ditambahi dengan senyum kikuk. "Oiya, aku belum sempat bilang makasih waktu itu," sambungnya. Momen canggung begitu kuat menguasai dirinya.
"It's okay. Gimana keadaan kamu sekarang? Sudah lebih baik?" tanya Daryl lagi. Masih tetap dengan nada bicaranya yang ramah dan bersahabat.
Ofelia mengangguk sembari tersenyum. Ia kemudian mengulurkan tangannya pada Daryl. "Kita belum sempat kenalan secara resmi. Aku Ofelia," ucap Ofelia membalas keramahan Daryl.
Daryl membalas uluran tangan itu sambil tersenyum manis. "I know you. Aku Daryl," ucapnya.
"Ya," balas Ofelia canggung. Ia cukup terkejut karena Daryl masih mengingat perkenalan singkatnya satu minggu yang lalu. Dia tidak menyangka orang seperti Daryl mau repot-repot mengingat namanya.
Belum sempat berbasa basi lebih lama lagi dengan Daryl, Sonia pamit dan meninggalkan Ofelia yang masih harus menunggu satu temannya lagi. Sonia tidak bisa menemani sampai pesawat yang ditumpangi Ofelia lepas landas karena ada kepentingan lain. Tak lama setelah itu bertepatan dengan peserta pelatihan yang terakhir bergabung, panggilan untuk melakukan check-in terdengar menggema di seluruh penjuru bandara. Ofelia bersama rekan-rekan peserta pelatihan lainnya segera menuju lokasi yang sudah ditunjuk oleh petugas maskapai. Prosesnya berlangsung tanpa kendala berarti. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju ruang tunggu untuk menunggu waktu boarding.
"Ngomong-ngomong tadi siapa?" tanya Daryl yang kini duduk di samping Ofelia. Semenjak datang tadi, laki-laki itu memang lebih menempel pada Ofelia dibanding dengan rekannya yang lain. Sebenarnya Ofelia tidak ada masalah apa pun. Dia baik-baik saja dan tidak merasa terganggu atas kehadiran Daryl di dekatnya. Dia yang introvert merasa terbantu dengan karakter Daryl yang lebih luwes dalam menghadapi orang baru. Namun tak dapat dipungkiri sesekali ia merasa gelisah tak bertuan berdekatan seperti ini dengan seorang laki-laki apalagi laki-laki itu Daryl. Beruntung Ofelia bisa segera menenangkan dirinya yang mulai merasa gelisah.
"Oh, itu kakak perempuanku," jawab Ofelia santai.
"So..., kamu bungsu dua bersaudara?" tanya Daryl ingin tahu.
"Bungsu tiga bersaudara lebih tepatnya. Yang tadi itu kakak iparku, dia istri dari abangku yang nomer dua. Aku masih punya kakak satu lagi, laki-laki."
"Oh, gitu. Kalau aku sulung dua bersaudara. Adik aku perempuan. Tapi usia kami cukup jauh. Aku baru punya adek pas kelas dua SMP," ujar Daryl dengan suara sengaja dipelankan saat mengatakan kalimat terakhir.
"Wah, gagal jadi anak tunggal dong, ceritanya?" tebak Ofelia yang mulai merasa nyaman mengobrol dengan Daryl.
"Yup, bener banget. Duniaku yang sunyi seketika berubah riuh sejak kehadiran adekku," canda Daryl.
Ofelia tertawa hingga menunjukkan deretan giginya yang rapi dan putih berkat perawatan gigi yang penuh kesabaran selama bertahun-tahun. "Cerewet dan ceria banget kayaknya adek kamu?" tebaknya.
"Ya, gitulah. Dulunya lucu. Sekarang udah nggak lucu lagi karena makin ke sini makin bawel. Tapi anehnya meski rese anak itu ngangenin."
Ofelia tersenyum simpul. Ia memandang Daryl beberapa detik sebelum merespon kembali cerita laki-laki itu. Tiba-tiba saja ia merasa kehabisan topik pembicaraan. Akhirnya Ofelia memilih membuka tote bag dan mencari coklat yang tadi sudah disiapkan sebagai camilan selama penerbangan ke Jerman.
"Mau coklat?" tanya Ofelia sambil menyodorkan beberapa bungkus coklat kemasan sebesar ruas ibu jari orang dewasa.
Daryl tersenyum lalu mengambil dua bungkus dan menyimpan ke tasnya. Ofelia bereaksi saat melihat sikap itu. "Kamu nggak suka coklat?" tanya Ofelia ingin tahu.
Daryl memandanginya beberapa detik sebelum menjawab. "Suka, aku akan memakannya nanti. Perutku suka eneg kalau makan sesuatu yang sangat manis seperti coklat saat perjalanan," jelasnya.
Ofelia mengangguk paham dan tak mempermasalahkannya lagi. Namun baru satu menit saling diam suara Daryl kembali mengisi kekosongan di antara mereka. Dan bisa dibilang kedua manusia ini saja yang terlibat interaksi cukup aktif di antara para peserta pelatihan muda lainnya.
"Kamu mabuk udara nggak?"
Kedua mata Ofelia mengerjap. Bulu matanya yang lentik bergerak pelan saat menatap Daryl. Gadis itu menggeleng lalu mengangguk beberapa waktu kemudian. Hal itu membuat Daryl gemas.
"Trus yang bener mabuk udara atau nggak? Atau ada hal-hal lain yang kadang cukup mengganggu kenyamanan kamu saat penerbangan?"
"Tergantung situasi waktu di pesawat. Kalau nggak ada turbulance ya, nggak mabuk udara. Cuma aku lebih banyak diam saat penerbangan. Seperti ada perasaan khawatir dan kepanikan tersendiri kalau terlalu banyak melakukan pergerakan. Makanya penerbangan sedekat apa pun aku selalu memilih duduk diam sambil dengerin musik. Kalau penerbangannya agak lama aku mengusahakan tidur dari sejak pesawat take off."
"Bisa langsung tidur begitu pesawat take off?" tanya Daryl merasa takjub.
Ofelia mengangguk tanpa ragu. "Aku akan berusaha untuk tidur. Caranya nggak mengonsumsi kafein minimal dua jam sebelum penerbangan dan selama penerbangan juga. Dan tentunya nggak tidur berlebihan sebelum penerbangan."
Daryl mengangguk sambil mengulum senyum. Untuk beberapa detik Ofelia terpana pada senyuman itu. Namun Ofelia berusaha meyakinkan dirinya agar tidak terbawa lebih jauh pada pesona seorang Daryl. Dia kemudian mengalihkan perhatiannya dari wajah Daryl dengan melihat-lihat ke sekitar ruang tunggu. Tampak rekan peserta pelatihan yang lain sedang sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Dia memutuskan untuk mengikuti jejak rekan-rekannya itu. Dia membuka layar ponsel lalu masuk ke aplikasi pemutar musik online berbayar untuk memilih lagu-lagu favorit yang akan diputarnya selama penerbangan. Entah kenapa dia punya firasat kalau Daryl akan mengajaknya bicara lagi setelah ini.
"Anyway..., kalau kita bicara lebih santai lo keberatan nggak, Fe?"
Ofelia mendongak meninggalkan layar ponselnya yang masih terbuka untuk kembali menatap wajah Daryl. Sebenarnya dia bisa saja merespon tanpa perlu bertatap muka langsung dengan Daryl. Namun rasanya tidak sopan jika tidak menatap langsung lawan bicaranya saat berbincang langsung seperti ini. Ofelia kemudian mengangguk begitu saja dengan tawaran Daryl karena menganggap kalau mereka memang seumuran. Kalaupun memiliki perbedaan usia kemungkinan tidak terlalu jauh, paling tidak hanya beberapa bulan atau maksimal dua tahun.
Sayangnya belum sempat Ofelia meminta penjelasan lebih jauh soal panggilan Daryl untuknya, seorang petugas maskapai penerbangan yang akan membawanya ke Jerman mengumumkan bahwa para penumpang dipersilakan masuk ke pesawat. Ofelia segera membereskan barang-barang bawaannya dan berjalan menuju garbarata. Meski ini bukan penerbangan pertama bagi Ofelia tapi gadis itu selalu merasa gelisah dan mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi setiap kali hendak memasuki pesawat. Ofelia mencengkram erat gagang koper kabinnya dan berjalan penuh hati-hati. Hingga tanpa sadar kopernya sudah berpindah tangan pada Daryl.
"Biar gue yang bawain. Nanti gue minta operan tempat duduk di sebelah lo biar bisa jagain lo kalau terjadi turbulance. Gue juga akan pastiin lo nggak akan merasa khawatir dan panik selama penerbangan nanti," ucap Daryl lalu tersenyum simpul.
Ofelia hanya bisa memandanginya selama beberapa detik tanpa sempat mengerjap. Dia tersadar ketika tangan Daryl menyentuh bahunya. Untuk pertama kalinya dia merasakan getaran aneh di tubuhnya. Napasnya seperti tercekat di tenggorokan dan jantungnya seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik. Ofelia berusaha meyakinkan dirinya kalau sikap yang ditunjukkan oleh Daryl hanya sebentuk perhatian seorang teman laki-laki yang memiliki saudara perempuan dan sedang menganggapnya tak lebih dari saudara perempuannya itu.
Seolah sadar sentuhan yang diberikannya pada Ofelia membuat gadis itu tidak nyaman, Daryl buru-buru menarik tangannya dari bahu Ofelia. Dia khawatir Ofelia tidak suka pada caranya yang terlalu perhatian atau bahkan menganggapnya freak. Namun pemikiran itu seketika sirna ketika melihat tawa kecil gadis itu.
"Semoga tingkah gue nggak mengganggu kenyamanan flight lo nantinya," ucap Ofelia dengan nada bercanda.
Daryl tiba-tiba merasa lega. Dia tersenyum lalu menggeleng sambil mempersilakan Ofelia untuk masuk pesawat lebih dulu. "Tempat duduk gue dekat jendela. Lo bisa ambil kalau mau," tawarnya ketika Ofelia sedang mencari posisi tempat duduknya.
"Tapi kayaknya gue di sini aja," ucap Ofelia yang ternyata mendapat tempat duduk dekat dengan jendela seperti Daryl.
Namun Daryl tidak begitu saja membiarkan Ofelia terpisah tempat duduk dengannya. Dia kemudian membujuk rekan peserta pelatihan yang kebetulan duduk di samping Ofelia dengan iming-iming duduk di dekat jendela. Tentu saja tawaran Daryl tidak bisa dilewatkan begitu saja, ditambah lagi yang dirayu adalah seorang perempuan. Meski usia perempuan itu lebih tua dari Daryl, tapi perempuan mana yang bisa menolak seorang laki yang telah memiliki bakat merayu perempuan bahkan sejak lahir itu.
Ofelia memilih diam selama persiapan pesawat akan lepas landas dan dia akan bertahan dalam diamnya sampai pesawat benar-benar telah stabil di udara. Daryl sendiri juga tidak menganggunya karena Ofelia sudah menjelaskan soal kondisi itu padanya. Saat waktu terus bergulir Ofelia tak bisa berhenti memikirkan sikap yang ditunjukkan oleh Daryl sejak mereka bertemu. Baik ketika di basement kantor minggu yang lalu hingga kini di pesawat. Dia bertanya-tanya kenapa laki-laki yang masih cukup asing ini begitu ramah dan perhatian padanya. Dia merasa aneh dan perlu berhati-hati pada laki-laki itu. Ofelia berharap Semoga Daryl berpikir bahwa reaksi diamnya ini disebabkan karena panic attack, bukannya karena memikirkan laki-laki yang sedang duduk di sampingnya.
~~~
^vee^