02

3191 Kata
............ Gandhi berupaya langkahi satu demi satu anak tangga dengan cepat. Ia ingin segera dapat mencapai lantai dua rumah sakit. Lebih tepatnya, ruangan inap sang istri. Gandhi sudah tak sabar ingin bertemu dengan wanita itu dan juga buah hati mereka. Ya, istrinya melahirkan pagi tadi. Saat Gandhi masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Ia pun memutuskan segera mengambil penerbangan pulang lebih awal. Tak mungkin jika tidak kembali cepat, ketika istrinya berjuang sendiri melahirkan. Kedatangan Gandhi memang terbilang terlambat, sebab sang istri telah selesaikan persalinan secara normal. Hanya sang ibu dan adik laki-lakinya yang mendampingi. Gandhi tentu merasa tak enak serta bersalah tidak mampu mendampingi istrinya. Meski demikian, ia tetap panjatkan puji syukur serta berterima kasih kepada Tuhan karena Wina berhasil melahirkan buah hati pertama mereka yang berjenis kelamin perempuan. Bahagialah perasaan Gandhi. Ia sudah menjadi seorang ayah, kini. "Om Swastyastu. Selamat pagi, Papa." Gandhi langsung tolehkan kepala ke arah ranjang pasien, pasca dirinya mendengar suara lembut sang istri ucapkan salam. Dan, sosok wanita itu yang tengah menggendong anak mereka pun sukses menyita perhatian Gandhi. Ia seketika berhenti berjalan. "Om Swastyastu," jawabnya dengan suara tak kalah halus dan memamerkan sunggingan senyum yang lumayan lebar. Gandhi lantas lanjut melangkah menuju ke ranjang pasien, tak lupa menutup pintu ruangan inap terlebih dahulu. Ia belum ingin pindahkan pandangan dari istrinya dan juga buah hati mereka. Gandhi rasakan ketentraman di dalam hati, tidak lagi cemas. "Ternyata, Papa datangnya cepat, ya? Kirain baru nanti malam akan sampai di sini. Tadi, nggak kasih kabar apa pun ke aku." "Nggak bisa nunggu sampai malam. Aku sudah sangat ingin bertemu dengan putri kecil kita dan kamu juga, Sayang," jawab Gandhi lembut sembari membelai pipi putri kecil manisnya. Kemudian, dikecup kening sang istri. Tidak kilat, cukup lama dilakukannya. Gandhi juga menutup kedua kelopak mata guna raih lebih banyak lagi kedamaian di dalam hati. Tak sampai satu menit, Gandhi sudah jauhkan tubuhnya sedikit dari sang istri. Namun, masih dilekatkan tatapan pada ibu dari anaknya itu. "Maaf, aku nggak bisa menemani kamu melahirkan, Sayang." Wina lekas gelengkan kepalanya sembari mengarahkan tangan kanan menuju ke pipi sang suami. Lalu, ditangkupkan. "Nggak apa-apa, Sayang. Lagian, jadwal persalinanku yang maju." "Prediksi dokter, baru dua minggu lagi aku baru akan lahirkan anak kita. Tapi, tadi pagi mendadak perut aku sakit. Kontraksi yang parah. Aku sudah nggak tahan. Prema ajak aku ke sini." "Dokter bilang aku akan melahirkan. Ya, aku jalani prosesnya. Syukur, aku bisa lahirkan anak kita dengan persalinan normal." Gandhi hanya dapat menunjukkan gelengan kepala sebanyak satu kali saja sebagai balasan atas ucapan sang istri. Ia terus berikan atensi pada sosok mungil bayi perempuan yang tengah bersama istrinya. Gandhi rasakan keharuan semakin besar. Kemudian, tangan kanan pun bergerak refleks menuju ke arah wajah cantik buah hati mereka. Gandhi lakukan usapan yang lembut pada salah satu pipi sang putri, kulit terasa sangatlah halus bagi Gandhi. Membuat hatinya kian tersirami perasaan bahagia. Setiap ayah baru pasti akan alami hal yang sama. "Dia cantik kayak kamu, Na. Kalian mirip. Dari mata sampai bibir, aku lihat persis. Cuma hidung mancung diwarisi dariku." Wina sudah tentu tertawa karena jawaban sang suami. Lalu, ia arahkan tangan kanan menuju ke wajah pria itu. Tepatnya, pada bagian hidung. Diperhatikan secara saksama sembari lakukan usapan halus, tak sampai lima kali. Senyuman pun melebar. "Iya, Sayang. Kayaknya kata kamu benar. Hidung Ghesa mirip sama kamu. Mancung gitu, ya? Kelihatan semakin cantik saja anak kita ini. Disamping juga sudah diwarisi kecantikanku kayak yang kamu bilang." Wina berujar dengan nada santainya. "Dia memang cantik kayak kamu, Na. Mirip lebih ke kamu juga. Mungkin kamu waktu kecil dulu mirip seperti putri cantik kita ini." Wina anggukan kepala semangat. "Bisa saja, Sayang. Nanti aku akan lihat foto-fotoku saat masih bayi dan kecil. Bandingkan." "Hmm, nggak usah. Aku nggak perlu dikasih bukti. Aku sudah lihat sendiri kecantikan kamu dan putri kecil kita memang sama. Aku bangga punya kalian di dalam hidupku sekarang, Sayang." Kekehan tawa diloloskan oleh Wina cukup kencang, namun ia cepat pula meredam karena tak mau sampai membuat bayinya terbangun. Senyuman hangat kian dilebarkan sembari kepala dianggukkan, tanda bahwa memercayai ucapan sang suami. "Makasih, Sayang. Aku juga bangga punya pendamping seperti kamu. Aku ingin tetap bersamamu sampai kapanpun, Gan." Tiba-tiba saja, sepasang mata Wina jadi berkaca-kaca. Ingatan akan janji dibuat pada sang ibu muncul di kepala. Membuatnya sesak di dalam d**a. Kebahagiaan berganti dengan kesedihan. Kemudian, kekagetan dirasakan oleh Wina karena menerima dekapan dari sang suami yang cukup erat. Ia pun segera juga melingkarkan tangan kanan ke tubuh pria itu, membalas dengan pelukan yang tidak kalah kuat seperti dilakukan sang suami. "Makasih sudah melahirkan anakku, Sayang. Kamu merupakan wanita terbaik di hidupku. Aku sangat mencintaimu, Wina." ........................................................... Wina sudah tiga hari berada di rumah sakit. Dan, besok dokter telah memberikan dirinya dan sang putri kecil pulang. Karena, memang kondisi mereka baik-baik saja. Terutamanya, Ghesa yang tak mengalami masalah apa-apa semejak dilahirkan. Wina tentu bahagia buah hatinya dalam kondisi yang sehat. Ia juga senang akan kembali ke rumah. Namun, tak bisa dirinya bahwa timbul sedikit kesedihan di hati. Ya, dikarenakan sang ibu yang tak kunjung datang berkunjung, meski telah diberi tahu. Wina pun memutuskan untuk menghubungi ibu kandungnya. Ia ingin mendengarkan alasan sang ibu tidakdapat menjenguk, harus masuk akal supaya bisa juga dimaklumi. Wina berupaya enyahkan pikiran-pikiran negatif yang bermunculan di kepala. "Ada apa menelepon Mama jam segini, Nak? Mama se-" "Selamat malam, Mama. Maaf, kalau aku ganggu Mama yang mungkin sudah tidur di sana." Wina memotong cepat ucapan sang ibu. Ia ucapkan setiap kata dengan nada yang sopan. "Iya, malam. Ada apa menelepon Mama jam segini, Nak?" Wina tak langsung menjawab. Ia melakukan penarikan napas cukup panjang,lalu diembuskan segera. Pusat atensi pada sosok sang putri kecil dalam gendongannya belum dipindahkan. Wina suka memandang wajah damai Ghesa saat tertidur. "Mama ada di rumah, ya? Mama sudah membaca pesanku?" "Iya, Mama di rumah. Besok akan berangkat ke Perancis. Mama sudah membaca pesanmu. Memang apa yang kamu harapkan setelah Mama membacanya? Kamu ingin Mama ke sana?" Wina kembali membuang napasnya, seperkian detik saja. Tak tahu harus bereaksi bagaimana yang paling tepatnya karena dengar jawaban sang ibu. Sudah diduga sebelumnya, tetapi ia tetap enggan menerima kenyataan. Rasanya menyakitkan. "Iya, aku ingin Mama datang ke sini." Wina menyahuti dengan nads tegas, meski tetap terdengar lirih. "Sebentar saja, ke sini, Ma." Ditambahkan lagi jawaban untuk tegaskan keinginannya. "Kalau Mama memang nggak mau menjengukku, nggak apa-apa. Tapi, tolong lihatlah cucu pertama Mama. Walau sek-" "Mama tidak akan datang ke sana. Apa kamu tidak mengerti ucapan Mama tadi. Mama tidak akan melihatmu atau anakmu, Nak. Mama sibuk. Mama harus berangkat pagi ke bandara." Wina tak dapat mencegah air matanya untuk keluar, setelah dengar jawaban sang ibu. Ia semakin kecewa tentunya. Tetapi, tak bisa lakukan perlawanan. "Baiklah, Ma. Kalau Mama nggak bisa datang ke sini. Nggak apa-apa. Lain kali bisa bertemu." "Mama tidak yakin lain hari bisa bertemu. Mama akan sibuk." Sekali lagi, Wina rasakan air mata jatuhi kedua pipi yang kian deras saja. Kata-kata sang ibu menyakitkan untuk didengarnya. Namun, ia harus bisa tetap kuatkan diri. "Terserah Mama saja." "Ingat dengan kesepakatan yang sudah kamu buat, Nak. Jika kamu tidak menepati. Kamu akan tahu bagaimana akibatnya." Air mata Wina mengalir turun kian deras, selepas mendapatkan peringatan dari sang ibu. Ia tak mampu membalas. Lidah pun jadi kelu untuk sekadar lontarkan satu hingga lima patah kata sebagai jawaban. Wina lalu memutuskan akhiri panggilan. Dengan cepat dihapusnya air mata yang membasahi pipi kanan dan juga kiri. Ia tak mau sampai diketahui tengah menangis oleh sang suami. Firasat memberi tahu Wina, bahwa pria itu akan datang ke dalam kamar inap sebentar lagi. Ia harus menutupi segala bentuk kecamuk perasaan mengganggu ketenangan. "Sabar, Wina. Kamu pasti bisa." Wina memotivasi diri sendiri untuk tetap berpikiran positif. "Kamu juga harus bisa tenang." "Jangan terbawa emosi, Wina. Kamu jangan marah. Kam-" Wina tak lanjutkan ucapannya setelah menyadari pintu kamar yang dibuka dari luar oleh seseorang. Ia pun meyakini suaminya melakukan. Maka, Wina segera mengulum senyuman hangat terbaik yang bisa dibentuk untuk menyambut datangnya pria itu. "Kenapa lama belanja, Sayang? Aku kira akan sebentar saja. Tapi, nggak, ya." Wina lontarkan kalimat basa-basinya dalam suara yang lembut sembari terus memandangi sang suami. "Lama, ya? Maaf, Sayang. Aku tadi makan roti di sana dulu. Aku nggak bisa menahan lapar. Cacing-cacingku berontak." Wina langsung memerlihatkan sunggingan senyum terbaiknya dan anggukan kepala. Belum dipindahkan atensinya dari sosok sang suami yang tengah berjalan mendekat. Ekpresi bahagia pada wajah pria itu membuat d**a Wina jadi semakin sakit. "Mau gendong anak kita nggak, Sayang? Dari kemarin bilang mau belajar, tapi aku tawarin terus untuk nyoba, malah kamu punya saja alasan. Tadi karena lapar. Sekarang gimana?" Wina loloskan kalimat-kalimatnya dalam nada candal yang kental. "Belum berani, Na. Aku masih takut. Tapi, aku janji, kalau sudah pulang ke rumah. Aku akan menggendong anak. Kalau di sini, aku mendingan gendong kamu dulu, Sayang. Gimana? Mau?" Kekehan tawa Wina seketika keluar karena balasan guyonan dari sang suami. Kemudian, kepala digelengkannya. "Ada-ada saja kamu, Sayang. Memang mau gendong aku ke mana?" "Ke dalam hatiku. Di sana ada banyak cinta untukmu. Istri paling terbaik di hidupku. Rasa sayangku akan selalu ada buat kamu sampai kapanpun, Na. Kita akan bersama sampai kita tua. Membangun rumah tangga yang terus harmonis nanti. Bagus bukan?" Tawa Wina memang mengeras, namun kontras akan sepasang matanya yang berkaca-kaca. Hantaman rasa sakit pada bagian d**a semakin bertambah. Ucapan sang suami tidak akan bisa dikabulkannua. Wina sungguh dihantui rasa bersalah kian besar. Membuat kesesakan menjadi-jadi. "Iya, Sayang. Bagus. Semoga saja, ya. Aku pun ingin keluarga kita terus harmonis dan bahagia." Wina masih berujar dalam nada lirih. Mata juga berkaca-kaca. Tetapi, coba disembunyikan dengan cara memeluk sang suami begitu eratnya. Ia butuh sandaran. ............................................   "Nak...," Wina langsung menengokkan kepala ke belakang, tepat setelah dengar sang ibu mertua memanggil. Ia pun segera mengulum senyum hangat terbaik yang bisa dibentuk sebagai bentuk dari sikap sopan dan ramahnya pada ibu kandung sang suami. "Ibu kenapa buatkan aku teh lagi? Nanti, kalau aku mau. Pasti aku akan buat sendiri. Aku nggak enak jadi merepotkan Ibu." Ibu Yulia lekas menggeleng sembari terus melangkah untuk dekati menantu beliau. "Tidak apa-apa, Nak. Ibu belum pernah merasa direpotkan hanya membuatkan kamu segelas teh saja." "Makasih, Bu. Tapi, aku tetap saja nggak enak. Apalagi, sejak Ghesa lahir, Ibu yang harus lebih banyak selesaikan pekerjaan rumah. Secara nggak langsung, Ibu jadi semakin repot." Wina berujar dengan sungkan karena memang merasa bersalah. "Tidak apa-apa, Nak. Selagi, Ibu mampu maka Ibu akan dapat selesaikan semua. Kamu fokus saja merawat cucunya Ibu ini." Wina segera anggukan kepala sembari menambah sunggingan senyum. Ia pun masih memandang sang ibu mertua yang kini telah duduk di sampingnya. Wina sangat merasa bersyukur ia diberikan sosok ibu mertua yang sudah seperti ibunya sendiri. "Makasih banyak, Bu. Aku bahagia dikasih perhatian tulus sama Ibu. Mamaku saja sangatlah jarang mau membuatku teh dulu." Ibu Yulia genggam tangan kiri menantu beliau, setelah mampu rasakan kesedihan yang tersimpan dalam jawaban baru beliau dengar. "Ibu sudah menganggap kamu seperti anak Ibu, Nak." "Tentang Mamamu yang mungkin kurang dapat menunjukkan perhatian. Percayalah, dia selalu menyayangi kamu, Nak. Tidak ada Ibu di dunia ini yang tidak sayang anaknya. Hanya saja cara digunakan untuk menyampaikan tidak sama satu sama lain." Wina lekas menganggukkan kepala sebagai respons perkataan sang ibu mertua. "Mungkin saja bisa begitu ya, Bu? Baiklah, aku akan percaya apa yang Ibu bilang untuk buat hatiku lega." "Tapi, sejujurnya susah untukku, Bu. Dari kecil, sejak bercerai dengan Papa dan sampai Papa tiada. Mamaku sudah berubah. Mama hanya peduli dengan bisnis dan perusahaan saja." Wina tak bisa mencegah matanya berkaca-kaca. "Mama jarang punya waktu buatku, Bu. Sibuk bekerja terus. Mama nggak tahu kapan aku merasa kesulitan atau kesepian saat masih sekolah." Kini, cairan bening yang tergenang di kedua pelupuk mata Wina pun jatuh secara perlahan-lahan. Namun, ia berupaya tak lebih banyak keluarkan air mata mengingat bagaimana sifat dari ibu kandungnya yang kurang menyenangkan. Tak mau merasakan luka semakin dalam, saat memori-memori buruk berputar. "Walau, Mama kurang perhatian. Rasa sayang aku pada Mama nggak akan pernah berkurang sampai sekarang. Cuma Mama yang masih aku punya. Aku harus menghormati Mama ap-" "Kenapa kamu membicarakan Mama, Nak?" Kekagetan tentu langsung dirasakan oleh Wina, tepat setelah suara ibu kandungnya terdengar melontarkan sebuah kalimat tanya dengan nada kurang bersahabat. Wina pun segera saja mengalihkan atensi dari sang ibu mertua ke sosok ibunya. "Mama untuk apa datang kemari?" Wina pun balik bertanya. Ia sudah pasti harus curiga dan waspada akan kehadiran sang ibu. "Apa Mama tidak boleh ke sini guna menjenguk cucu pertama Mama? Bukankah saat di rumah sakit, kamu pernah meminta Mama untuk melihat anak kalian yang baru saja lahir, Nak?" Wina lekas mengangguk. "Iya, Ma. Benar. Terima kasih, Mama sudah mau datang kemari. Meski, Mama sedang sibuk." "Bagaimana kabarmu, Greta? Aku senang kamu mau ke sini untuk melihat cucu kita, ditengah pekerjaan kamu yang padat." Ibu Greta hanya menanggapi dengan anggukan sekali, untuk sambutan dari sang mantan sahabat sekaligus ibu menantu tak beliau sukai. Ibu Greta enggan katakan apa-apa guna berikan balasan. Dan, memilih pusatkan pandangan pada sosok bayi mungil yang tengah digendong sang putri. Ibu Greta tersentuh, namun berupaya segera dienyahkan perasaan tersebut. "Mama mau ajak Ghesa nggak? Mungkin sebentar saja." Ibu Greta gelengkan kepala. "Tidak bisa. Mama tidak mau." "Mama datang kemari, bukan hanya sekadar ingin jenguk anak kamu, Nak. Mama kemari utamanya mau menagih janjimu." Wina semakin menajamkan tatapan ke arah sang ibu. Tampak jelas bahwa ia tak suka akan ucapan ibunya. "Aku ingat, Ma." "Mama nggak perlu cemas aku melanggar, aku menepati. Aku lakukan semua yang Mama mau, walau Mama nggak pernah peduli apa pun tentangku. Termasuk kebahagiaanku dan apa yang aku inginkan." Wina lanjutkan dengan semakin dingin. "Bagus jika kamu masih ingat, Nak. Mama masih berbaik hati memberikanmu waktu bersama keluargamu di sini. Jadi, kamu jangan pernah melanggar aturan dari Mama. Atau Mam-" "Nggak, Ma." Wina memotong cepat ucapan sang ibu. Malas mendengar lagi ancaman yang akan dilontarkan kepadanya. ................................................................................. Wina terus memerhatikan wajah polos sosok kecil Ghesa yang tengah tertidur dengan pulas dalam gendongannya. Memang, ia harusnya rasakan kedamaian saat menikmati pemandangan yang manis seperti sekarang. Namun nyatanya, tak akan bisa dilakukan. Wina malah dilanda oleh perasaan cemas, sejak tadi. Wina tidak mampu menampik bahwa kedatangan sang ibu beri dampak kurang baik bagi ketenangannya. Ia tahu jika tak akan berlaku istilah main-main bagi sang ibu. Peringatan dini yang telah diterimanya pun tidak boleh diabaikan begitu saja. Wina sangat tahu pula bahwa janji yang sudah ia buat haruslah ditepati. Sebuah keputusan berat akan diambilnya, walaupun sangat tidak rela dilakukan. Jika ada wanita yang dihadapkan dengan masalah sepertinya, pasti merasa frustrasi juga. "Maafkan Mama, Sayang. Maaf, Mama harus tetap pergi saat nanti Ghesa sudah tiga bulan. Mama harus jalani semua demi melindungi Ghesa dan Papa. Mama nggak mau kalian terluka." Selesai lontarkan kalimatnya dengan isakan tertahan, maka tak lagi Wina kuasa mencegah air mata untuk turun semakin deras. Menunjukkan jelas bagaimana kesedihan dan rasa sakit yang tengah melingkupi dirinya. Wina tak mampu berpikir jernih. "Mama nggak tahu apakah akan sanggup jauh-jauh lama dari Ghesa nanti. Mama pasti akan mudah kangen sama Ghesa dan Papa. Mama harus gimana mengobati rindu Mama, Sayang?" Wina memberikan pelukan semakin erat pada putri mungilnya sembari masih terus mengisak pilu. Hati ibu mana yang tidak akan sakit karena harus berpindah dengan anaknya. Bahkan, belum genap berusia satu tahun. Wina begitu tidak siap. "Maafkan, Mama. Ghesa jangan benci atau marah sama Mama nanti, ya? Mama janji Mama akan kembali untuk Ghesa sama Papa. Mama nggak akan bisa hidup bahagia tanpa kalian." Tarikan senyum pada masing-masing sudut bibir, coba untuk Wina lakukan. Meskipun, hanya bisa tipis saja. "Mama janji." "Mama akan memperjuangkan kalian. Mama nggak akan terus tunduk dengan Nini Ghesa. Mama akan melawan demi dapat bersama kalian terus." Wina berujar dengan sungguh-sungguh. Lalu, air mata yang membasahi kedua pipinya segera dihapus menggunakan jari-jari tangan kanan. Wina tentu tidak ingin jika sampai diketahui sang suami bahwa dirinya menangis. Terlebih lagi, ayah dari putri kecilnya akan segera pulang dari bekerja. Dan, ucapan Wina tak memerlukan waktu untuk terbukti. Sebab, tidak ada satu menit kemudian, pintu kamar sudah dibuka dari luar oleh seseorang. Ia sangat yakin bahwa sang suami yang tengah melakukan. Wina segera menambahkan sunggingan senyum di wajahnya agar tampak semakin melebar, tentu saja. "Papa, kenapa baru pulang jam segini?" Wina lontarkan kalimat tanya untuk sekadar basa-basi dan menyambut sang suami. "Tadi, ngobrol sebentar dengan teman-teman habis kerja, Na. Maaf, ya. Aku nggak bilang atau kabari kamu. Cemaskah?" Wina pun lekas mengangguk sembari berjalan menuju ke boks bayi, akan membaringkan sang buah hati di sana. Tak terucap kalimat balasan yang sudah terangkai rapi di dalam kepalanya. Ia lontarkan beberapa menit lagi, selepas memastikan Ghesa dapat tidur pulas dalam posisi sudah berada di boks bayi. "Benar cemas, ya? Maaf sekali lagi, kalau gitu, Na. Harusnya tadi aku kirim pesan atau menelepon kamu. Aku lupa kare-" Gandhi tak lanjutkan ucapan, selepas menerima pelukan sang istri. Kejanggalan pun langsung dirasakan. Tidak biasanya ia menerima perlakuan seperti ini, saat baru pulang. Sudah lima hari terakhir, Gandhi menaruh curiga akan sikap sang istri. "Ada apa, Sayang?" tanyanya dengan suara lembut. Dekapan diperkuat pada tubuh ibu dari buah hatinya itu. "Aku rasa ada yang kamu sembunyikan. Apakah aku benar, Na?" Dilontarkan kembali pertanyaan, bentuk kecurigaan tengah dirasakannya. "Nggak ada, Sayang. Nggak ada yang aku sembunyikan dari kamu, Gan. Untuk apa juga aku lakukan? Lebih baik, aku cerita saja sama kamu. Benar bukan? Kamu harusnya percaya." Gandhi menggeleng lemah. "Maunya aku percaya dengan apa pun yang kamu bilang. Tapi, mata kamu nggak bisa bohong." "Aku baik-baik saja, Sayang. Sungguh," ujar Wina mantap. Senyuman semakin dilebarkan oleh wanita itu pada sang suami yang tengah anggukan kepala sebagai respons atas ucapannya beberapa detik lalu. Wina lega tidak menerus dicurigai. Ia tak akan mungkin juga memberi tahu sang suami semuanya. "Aku mencintaimu, Gandhi. Tolong jangan pernah membenciku. Kamu harus selalu mencintaiku." Wina melontarkan kalimatnya dengan nada canda, namun pesan serius terselip di dalamnya. "Aku nggak mungkin bencimu, Sayang. Mustahil. Aku malahan semakin sayang dan cinta pada wanita yang sudah melahirkan putri cantik untukku. Kamu adalah yang paling istrimewa, Na." Wina meloloskan tawanya dengan sedikit terpaksa, ia ingin menghargai lelucon dikeluarkan sang suami. Kemudian, segera tangan kanan diarahkan ke wajah pria itu, berhenti di pipi kiri. Dilakukan usapan-usapan yang halus. Sang suami akan suka. "Jangan menggodaku, Sayang. Nanti bisa hilang kendali diriku. Bisa jadi adik buat Ghesa cepat ada, kalau kamu terus coba menggodaku. Nggak menjamin aku nggak minta jatah, ya." Tawa Wina mengeras. Lalu, gelengan kepala ditunjukkan pada sang suami. "Nggak ada adik dulu buat Ghesa. Nggak ada juga jatah buat kamu. Aku capek seharian mengurus Ghesa ta-" Wina pun tak lanjutkan ucapannya karena menerima kecupan pada kening dari sang suami. Cukup lama sehingga membuat dirinya jadi memejamkan mata. Rasa sesak mulai menghantam d**a tanpa dapat untuk dilakukan antisipasi terlebih dahulu. Mata pun juga berkaca-kaca, tidak bisa dicegah. "Terima kasih banyak sudah merawat dan menjaga dari pagi, Sayang. Kamu adalah Mama yang hebat untuk anak kita, Na." Wina mengangguk cepat. Setetes cairan menuruni pipi, saat pelupuk kedua matanya digerakkan. "Sama-sama, ya Sayang." "Aku juga bangga sama kamu yang sangat cocok dikasih label sebagai suami sekaligus ayah terbaik. Kamu bekerja keras setiap hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kita. Aku sangat bangga sama kamu, Gan. Aku juga mencintaimu. Sangat malah." .................    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN