5

1238 Kata
Bintang menarik Kejora memasuki ruang musik sekolah mereka, kemudian mengajaknya untuk duduk bersebelahan di hadapan piano yang entah sejak kapan sudah terbuka. “Mau apa? Gue nggak bisa main piano,” tuding Kejora yang mengira Bintang akan memintanya untuk memainkan alat musik tersebut. Akan tetapi dengan enteng Bintang berkata, “Nggak usah main. Temenin gue aja.” Sehingga Kejora pun hanya duduk. Benar-benar duduk. Memerhatikan Bintang di sampingnya yang mulai meletakkan kesepuluh ujung jari-jemarinya di atas beberapa tuts piano tersebut. Lalu detik berikutnya, sebuah instrumen yang tangan-tangan Bintang ciptakan mulai mengalun lambat mengisi suasana ruang musik yang semula hening. Namun pada detik Bintang memainkan pianonya, seketika Kejora menggeming. Instrumen itu. Kejora langsung mampu mengenalinya. Bahkan sangat amat mengenalinya kalaupun hanya mendengar di detik pertama. Sebuah instrumen yang paling Kejora sukai ketika ibunya yang memainkan. Sebuah instrumen yang membuat Kejora tertarik pada Bintang untuk pertama kalinya, karena permainan cowok itu yang hampir sama persis seperti permainan ibunya saat masih hidup dulu. Sebuah instrumen yang pernah Kejora ceritakan pada Bintang, kalau hanya lagu itu yang bisa membuatnya tenang tiap kali ia mendengarnya di saat dirinya sedang menghadapi kesulitan. Instrumen itu... Spring Time! Kejora tidak menyangka Bintang masih mengingatnya! “Alasan bokap lo ngelarang?” Kejora tidak menjawab. Gadis itu menelan kembali suaranya, karena menurutnya percuma. Kalau diberitahu pun Bintang tidak akan mengerti masalah keluarganya, yang bahkan sampai detik ini ia sendiri pun tidak tahu bagaimana ujungnya. Daripada menjawab, tiba-tiba Kejora malah tertawa getir memalingkan pandangannya. Membuat Bintang kembali dibingungkan. Yang kemudian gadis itu malah bercerita dalam upaya untuk mengalihkan topik. “Lucu, deh. Dulu itu, ya, tiap kali ibu gue liat gue nangis, sedih, atau tahu kalau suasana hati gue lagi buruk, nggak kayak ibu-ibu lainnya, ibu gue pasti selalu punya cara yang beda buat menenangkan anaknya. Nggak pakai ngomong apa-apa lagi, ibu gue langsung aja buka piano dan mainin lagu Spring Time. Selesai. Karena emang nggak ada lagi selain ibu gue, yang tahu betul kalau cuma instrumental lagu itu satu-satunya cara yang bisa buat gue tenang.” Kejora terbengong-bengong. Bintang itu memang cowok ajaib. Sulit diterka apapun kelakuannya. Mulai saat pertama kali Kejora tebak dari aura wajahnya ketika sedang bermain piano, cowok itu pendiam dan karismatik. Lalu ternyata Kejora tebak lagi dari caranya berbicara dengan Rasi, cowok itu lembut dan manis. Hingga kemudian Kejora tebak lagi dari kelakuannya yang Kejora perhatikan saat mereka mulai tinggal serumah, cowok itu arogan, tengil dan suka berbuat semaunya sendiri. Namun tampaknya sebagian besar tebakan Kejora kini harus disalahkan. Ketika kenyataannya saat ini, cowok itu masih mampu mengingat lagu apa yang paling bisa membuat Kejora tenang. Ya, di balik sikap arogansinya, Bintang selalu memaknai setiap pembicaraan adalah hal yang berharga dan tidak patut untuk dilupakan begitu saja. Terlalu banyak bengong, tidak terasa lagu itu diakhiri dengan sempurna oleh Bintang. Membuat Kejora sekarang, sudah tidak lagi merasa kesedihan yang sekalut tadi. Tidak lagi dihantui oleh bayang-bayang masa kecilnya yang membuatnya trauma, hanya karena ayahnya yang tiba-tiba saja kembali hadir di saat tantenya sedang tidak bisa ada untuk melindunginya seperti sebelum-sebelumnya. Berkat Bintang, perasaan Kejora benar-benar sudah sangat tenang sekarang. Lantas dengan senyuman tipis, ia pun mengucap terima kasih pada Bintang dengan bahasanya sendiri. Harus! “Makasih, ya, udah mau mainin lagu itu buat gue.” Tidak hanya Kejora, sejujurnya jauh di dalam benaknya yang terdalam, justru Bintang-lah yang merasa lebih tenang dari segala-galanya saat ini. Jangan tanyakan kenapa, karena Bintang pun sungguh tidak tahu kenapanya. Cukup perlu diketahui saja, Bintang itu memang sering melakukan hal-hal yang tidak berdasar ataupun beralasan yang jelas. Bintang hanya melakukan, apapun yang dirinya ingin lakukan. Tanpa pernah memikirkan alasan atau semacamnya. Seperti saat ini. Tidak tahu kenapa rasanya Bintang ingin sekali mengajari Kejora bermain piano. Intinya Bintang hanya gemas saja semenjak mengetahui gadis itu tidak bisa memainkan alat musik yang disenanginya sendiri. “Mau gue ajarin cara mainnya?” tanya Bintang yang spontan, melihat Kejora hanya memegang-megang beberapa tuts hitam putih, tanpa berani menekannya. Selama ini Kejora selalu menolak tiap kali tantenya menawarkannya untuk mengikuti les piano supaya bisa memainkan alat musik itu. Akan tetapi ajaibnya kini, Kejora langsung mengangguk, menerima ketika Bintang menawarkan diri untuk mengajarkannya memainkan alat musik berbadan besar itu. “Kita belajar teknik dasar dulu, ya,” katanya, yang disetujui oleh Kejora. Bintang mulai mengarahkan ujung jari-jemari Kejora, ke mana mereka harus berlabuh. Lalu tiba-tiba, Kejora seperti baru saja tersengat aliran listrik bertegangan tinggi, ketika tanpa mengatakan apa-apa Bintang main langsung saja meletakkan tangan kanan-kirinya di atas kedua tangan Kejora. Lebih dari itu, alih-alih merasa tidak nyaman jika mengambil posisi tangannya dari depan Kejora, seperti ingin merangkul Kejora, Bintang mengambil posisi tersebut dari belakang punggung Kejora sementara dirinya masih tetap duduk di samping gadis itu. Kejora lirik, Bintang terlihat biasa saja. Dari raut maupun gerak-geriknya. Namun yang luar biasa justru Kejora-nya sendiri. Sangat luar biasa! Saking luar biasanya ia sampai tidak bisa fokus akan apa yang Bintang ajarkan padanya. Karena seluruh dirinya benar-benar telah dikuasai oleh debaran jantungnya sendiri yang melonjak berkali-kali lipat lebih dahsyat daripada biasanya. Selama Bintang menuntun jari-jemarinya pelan-pelan hingga menciptakan nada sederhana, selama itu pula Kejora harus menahan diri dari godaan-godaan syetan yang terkutuk. Tatapan mata Bintang yang terlalu dekat, contoh konkritnya! Oh, ada lagi. Suara Bintang yang terdengar seperti membisik di telinga. Kenapa? Kenapa suaranya begitu menggoda? Kejora mau gila! Seketika ia rasakan mukanya memanas, yang kalau dilihat, merahnya pasti sudah mengalah-ngalahkan kepiting rebus yang disiram saus sambal! Ditambah lagi debaran dadanya yang terasa seperti berada di depan sound system club malam. Merepotkan! Kejora segera beranjak. Membuat Bintang seketika terbengong keheranan. “Kenapa?” tanyanya. Kejora menggeleng. “Di ruangan ini cuma ada kita berdua.” “Terus?” bingung Bintang. “Jangan dibikin suasananya seromantis ini, ntar yang ada lo gue perkosa!” tandas Kejora asal. Sesudah itu ia langsung bergegas keluar menyisakan Bintang yang mendadak paranoid dibuatnya. Aneh memang. Begitu aneh bahkan, ketika ada perempuan yang mengancam ingin memerkosa laki-laki, dan laki-laki itu malah paranoid dengan ancamannya. Tetapi jangan terlalu dipikirkan. Karena hanya Bintang dan Kejora saja yang seperti itu. Dapat dijamin 1000%, di luar sana tidak ada satu pun yang seaneh dan sekonyol itu, seperti mereka. *** Sepulang sekolah Rasi, Biru yang kebetulan sedang tidak ada kelas, mengajaknya ke Theme Park yang padahal biasanya, tempat semacam itu adalah yang paling Biru hindari karena semestinya Biru tidak boleh cepat lelah. Sudah lama sekali Rasi sering mengajak Biru ke sana, akan tetapi Biru menolaknya. Selalu menolak dengan alasan yang bukan sebenarnya. Usai menuruni wahana histeria, Rasi tertawa lepas. Begitu senangnya ia tadi, sampai lupa untuk mengambil tasnya sendiri di tempat penitipan, dan syukurlah Biru yang menyadari langsung menyempatkan diri untuk mengambil benda yang bukan miliknya itu. Meskipun saat itu, berbanding terbalik dengan Rasi, perasaan Biru setelah menaiki wahana mengerikan tersebut⸻ya, begitu Biru menyebutnya⸺justru masih ketar-ketir sampai sekarang. Bahkan mungkin saja jantungnya tertinggal di atas sana. Mungkin.  “Lo kenapa, sih, ketawa sampai sebegitunya? Emang barusan habis nonton komedi, ya?” sewot Biru. Karena kalau bukan kemauan Rasi yang memaksa tadi, tidak akan sudi ia menaiki wahana itu! Masih tergelak sambil memegangi perutnya, Rasi yang semula berposisi rukuk walau dengan satu tangan yang betopang di lutut, sesaat menegakkan tubuhnya. “Tadi itu justru lebih lucu dari komedi, tau,” katanya yang kemudian lanjut tertawa lagi. “Apanya yang lucu?” “Ekspresi kamu, Biru. Sumpah, ya, nyesel aku nggak foto kamu tadi.” Rasi masih tertawa. Sementara Biru tampak jelas sangat jengkel dibuatnya. “Nih, tas lo.” “Hihihi... gomawo, Biru!” tutur Rasi dengan cekikikan, seraya mengambil alih tasnya yang disodorkan oleh Biru. Biru tidak menyahut. Masih jengkel sepertinya. Tetapi Rasi tidak peduli. Raut wajah jengkel Biru yang tidak biasa-biasanya justru terlihat sangat menggemaskan di matanya. Akan tetapi tiba-tiba tawa Rasi sirna, benar-benar sirna cuma dalam hitungan detik. Lalu di saat yang bersamaan, Biru merasakan seperti ada cairan dingin yang mengalir di bawah hidungnya. “Biru kamu mimisan!” ujar Rasi, panik. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN