Asap hitam pekat menyembur dari knalpot Metromini yang melaju ugal-ugalan, seketika menyesakkan d**a siapa pun yang menghirupnya. Asap itu berbaur dengan aroma tajam kunyit, terasi bakar, dan bawang goreng dari deretan lapak bumbu di pinggir jalan, menciptakan parfum khas Jakarta: bau keringat dan perjuangan.
Pagi di Jakarta Pusat adalah sebuah simfoni kekacauan yang dimainkan setiap hari tanpa jeda. Klakson bersahutan dalam nada sumbang, teriakan pedagang yang menjajakan harapan palsu, dan deru langkah ribuan orang yang bergegas mengejar sesuatu yang mereka sebut nasib. Di tengah riuh rendah orkestra jalanan itu, Bripda Bara Wijaya justru melakukan hal yang tak masuk akal: ia berhenti.
Motor bebek dinasnya ia tepikan perlahan di dekat sebuah pasar tumpah yang meluber hingga memakan separuh bahu jalan. Bukan karena ada pelanggaran lalu lintas, bukan pula karena ia melihat jambret. Perhatiannya tersita oleh pemandangan yang bagi kebanyakan orang hanyalah noktah kecil tak berarti dalam kanvas raksasa ibu kota.
Seorang nenek tua, yang tubuhnya ringkih dimakan usia, terduduk lesu di trotoar yang retak-retak. Ia dikelilingi oleh bencana kecilnya sendiri. Sebuah kantong keresek hitam besar robek di sisinya, memuntahkan isinya ke jalanan yang kotor. Beberapa ikat bayam tergeletak pasrah, tempe yang terbungkus daun pisang terinjak sepatu pejalan kaki yang tak peduli, tomat-tomat ranum menggelinding ke selokan, dan puluhan telur ayam kampung pecah, menciptakan lopak-lopak kuning amis di atas aspal yang panas.
Orang-orang berlalu-lalang. Beberapa melirik sekilas dengan tatapan kosong, lainnya memalingkan muka, enggan terlibat. Di kota ini, waktu adalah mata uang termahal, dan berhenti untuk menolong orang asing adalah bentuk kebangkrutan.
Tapi Bara, dengan seragam cokelat polisinya yang warnanya mulai pudar karena terlalu sering dicuci, justru mematikan mesin motor. Ia membuka helm, menampilkan wajah yang terlalu muda dan terlalu polos untuk seorang penegak hukum di kota sekeras ini. Ia melangkah mendekat, membelah kerumunan yang acuh tak acuh.
"Nek, tidak apa-apa?" suaranya lembut, kontras dengan kebisingan klakson yang memekakkan telinga.
Nenek itu, yang bahunya bergetar hebat menahan tangis, mendongak perlahan. Wajahnya adalah peta kesedihan; keriput, basah oleh peluh yang bercampur air mata, dan mata yang memancarkan keputusasaan murni.
"Telurnya, Nak... Semua pecah," suaranya serak, nyaris hilang ditelan deru kendaraan. Tangan keriputnya mencoba mengais cairan kuning telur dari aspal, sebuah usaha yang sia-sia. "Ini pesanan warung nasi Bu Haji. Uang modalnya habis... Aduh, Gusti, bagaimana saya ganti ruginya..."
Hati Bara mencelos. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Tanpa ragu, ia berjongkok di sana, di trotoar yang penuh ludah dan debu, tanpa peduli celana dinas setrikaannya akan kotor. Dengan sabar, tangan kekarnya mulai memunguti satu per satu barang yang masih bisa diselamatkan. Bayam yang sedikit layu ia bersihkan dari debu, tempe yang untungnya masih utuh ia amankan ke sisi yang kering. Ia bahkan mengejar tomat-tomat yang menggelinding hingga nyaris ke tengah jalan raya, mengabaikan decak kesal dan makian dari pengendara motor yang hampir menyerempetnya.
Seorang tukang ojek pangkalan yang sedang merokok di dekat sana berseru sinis, "Sudah, Pak Polisi! Biar saja! Buang-buang waktu ngurusin sampah begitu! Mending atur lalu lintas tuh, macet!"
Bara hanya menoleh sebentar dan tersenyum tipis. Bukan senyum meremehkan, melainkan senyuman tulus yang seolah berkata, 'Tidak ada waktu yang terbuang untuk menolong sesama manusia.'
Ia beranjak ke warung kelontong terdekat, meminta kantong plastik baru, lalu kembali berjongkok untuk memasukkan sisa belanjaan si nenek. Setelah semuanya rapi, Bara merogoh saku belakang celananya, mengeluarkan dompet kulit imitasi yang sudah butut. Ia menarik tiga lembar uang lima puluh ribuan jatah makan siangnya untuk tiga hari ke depan.
"Nek, ini," ujarnya, menyodorkan uang itu ke tangan si nenek yang gemetar dan kotor oleh pecahan telur. "Beli lagi saja telurnya di agen sana, ya. Sisanya buat Nenek beli minum. Anggap saja rezeki pagi."
Nenek itu terperangah. Matanya yang sayu membelalak tak percaya, menatap lembaran biru di tangannya lalu beralih ke wajah Bara. "Jangan, Nak... Ya Allah, jangan. Banyak sekali. Nanti saya dimarahi Pak Polisi. Nanti Nak Polisi kena masalah..."
Bara tertawa kecil, renyah dan menenangkan. "Saya tidak akan marah, Nek. Malah saya senang kalau Nenek mau terima. Kalau saya dimarahi komandan, itu sudah biasa. Sudah, jangan khawatir. Hati-hati di jalan, ya."
Setelah memastikan nenek itu bisa berdiri dan membereskan sisa kekacauan, Bara kembali ke motornya. Ia melirik jam tangan murah yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 07.50.
Mampus.
Terlambat dua puluh menit untuk apel pagi. Kompol Gilang Perkasa pasti sudah menyiapkan 'sarapan' berupa semprotan legendarisnya. Tapi saat Bara menyalakan mesin motor tua itu, ada perasaan hangat yang menjalar di rongga dadanya, mengusir rasa cemas akan hukuman disiplin. Perasaan sederhana yang membuatnya yakin bahwa pekerjaannya lebih dari sekadar mengejar penjahat atau menilang pelanggar. Pekerjaannya adalah menjaga hal-hal kecil agar tidak sepenuhnya hancur berantakan di kota yang buas ini.
Kantor Polres Jakarta Pusat adalah sebuah bangunan tua peninggalan Belanda yang dipaksa bekerja lembur melampaui usianya. Dindingnya yang dulu putih gagah kini menguning, di beberapa sudut catnya mengelupas seperti kulit penderita penyakit kronis. Udaranya pengap, sebuah campuran aroma yang memusingkan: kopi basi, tumpukan kertas lembap, keringat puluhan tersangka yang berdesakan di sel tahanan, dan asap rokok kretek yang tak pernah padam.
Di sinilah realitas yang sebenarnya dimulai. Senyum ramah dan kebaikan hati sering kali luntur begitu melewati gerbang utama, digantikan oleh wajah-wajah lelah para penyidik yang dipenuhi skeptisisme dan mata yang tak lagi berbinar.
Bara memarkir motornya dan setengah berlari menuju ruang Reserse Kriminal Umum. Benar saja, lapangan apel sudah kosong. Beberapa rekan senior yang berpapasan dengannya di koridor menyapa dengan nada mengejek yang khas.
"Wuih, Pangeran Kesiangan baru datang!" seru Bripka Tio sambil menyesap kopinya.
"Habis nolongin kucing kejebak di pohon lagi, Ra? Atau nyebrangin semut?" timpal yang lain diiringi gelak tawa.
Bara hanya membalas dengan cengiran canggung dan anggukan hormat. Ia sudah kebal. Reputasinya sebagai ‘polisi terlalu baik’ atau ‘polisi lembek’ sudah menjadi rahasia umum. Ia adalah anomali di antara para serigala. Seekor anak domba yang entah bagaimana tersesat di sarang predator, dan karena keluguannya yang menggelikan, para serigala itu justru merasa segan untuk benar-benar menerkamnya.
Langkah kakinya terhenti di depan sebuah ruangan di ujung koridor. Pintunya selalu sedikit terbuka, seolah mempersilakan masalah untuk masuk tanpa mengetuk. Ruangan Kompol Gilang Perkasa.
Bara mengetuk pelan kusen pintu sebelum melangkah masuk. "Selamat pagi, Bang. Mohon maaf, saya terlambat. Siap menerima hukuman."
Kompol Gilang tidak mendongak. Ia duduk di singgasananya, sebuah kursi putar yang kulitnya sudah robek di sana-sini, memuntahkan busa kuning. Meja di hadapannya adalah monumen kekacauan: tumpukan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menggunung seperti benteng pertahanan, asbak kristal yang penuh puntung rokok hingga meluap, dan cangkir kopi hitam yang meninggalkan noda cincin cokelat di atas dokumen negara.
Asap rokok mengepul tebal dari sela-sela jarinya, membentuk kabut tipis yang membuat ruangan itu terasa semakin suram.
"Dua puluh menit, Wijaya," desis Gilang. Suaranya serak dan berat, seperti mesin diesel tua yang dipaksa hidup. Tanpa melihat jam, ia tahu persis durasi keterlambatan anak buahnya. "Waktu dua puluh menit di lapangan bisa berarti perbedaan antara korban yang selamat dan kantong jenazah yang harus kita retsleting."
"Siap, salah, Bang. Tadi di jalan ada sedikit insiden..."
"Saya tidak butuh alasanmu," potong Gilang, akhirnya mengangkat wajahnya. Matanya tajam setajam elang, namun di bawahnya terlukis kantung hitam tebal yang menandakan kurang tidur selama bertahun-tahun. Ada bekas luka tipis memanjang di pelipisnya, kenang-kenangan dari sebuah penyergapan yang gagal sepuluh tahun lalu. "Dunia ini tidak peduli pada alasanmu yang mulia itu. Kejahatan tidak akan berhenti sejenak untuk merokok hanya karena kamu sibuk memunguti belanjaan seorang nenek."
Bara terdiam, menunduk. Jadi, Bang Gilang sudah tahu. Tentu saja. Di wilayah ini, mata dan telinga Kompol Gilang ada di mana-mana. Tukang parkir, preman pasar, hingga pedagang asongan adalah informannya.
Gilang menghela napas panjang, mengembuskan asap terakhir dari rokoknya sebelum mematikannya dengan kasar di asbak. Ia menunjuk tumpukan berkas di mejanya dengan dagunya yang kasar belum dicukur.
"Lihat ini. Kasus penipuan online, jambret, tawuran antarwarga Manggarai, penggelapan dana koperasi. Ini Jakarta, Ra. Kota ini memakan orang-orang baik sepertimu untuk sarapan, lalu memuntahkannya sebelum makan siang. Kau pikir dengan menolong satu nenek, kau bisa mengubah natur kota ini?"
"Saya tidak berpikir sejauh itu, Bang. Saya hanya melakukan apa yang menurut hati nurani saya benar," jawab Bara pelan, namun ada keteguhan baja dalam suaranya.
Jawaban itu sepertinya membuat Gilang semakin jengkel. Ia menyandarkan punggungnya, kursi tua itu berderit protes nyaring. "Hati nurani? Apa itu? Di ruangan ini, yang benar adalah apa yang tertulis di BAP, punya dua alat bukti, dan valid di pengadilan. Sisanya omong kosong romantis."
Pandangan Gilang kemudian jatuh pada sebuah map berwarna merah tua yang tergeletak sedikit terpisah dari tumpukan lainnya. Map itu terlihat tua, ujung-ujungnya sudah usang dan brudul. Sebuah label tulisan tangan dengan tinta yang mulai pudar tertera di atasnya: "Kasus Jagal-1998".
Tiba-tiba, atmosfer di ruangan itu berubah. Kekesalan Gilang yang tadi meledak-ledak surut, digantikan oleh sesuatu yang lebih gelap, lebih dingin, dan jauh lebih berbahaya. Sebuah dendam yang membeku dalam waktu.
"Kau tahu apa yang benar-benar nyata di dunia ini, Ra?" Gilang berkata, nadanya turun menjadi bisikan yang mengerikan. "Sisi gelap manusia. Itu nyata. Itu ada di dalam darah. Beberapa orang dilahirkan dengan sirkuit otak yang rusak. Mereka adalah predator. Tugas kita bukan untuk memahami mereka atau mengasihani mereka. Tugas kita adalah memburu dan mengurung mereka sebelum mereka memangsa lebih banyak domba naif sepertimu."
Bara menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Setiap kali Kompol Gilang sedang dalam titik terendahnya, ia akan selalu kembali ke kasus itu. Kasus "Sang Jagal dari Ibukota", pembunuh berantai s***s yang telah merenggut nyawa kedua orang tua Gilang saat ia masih remaja. Kasus yang membentuk Gilang menjadi anjing pelacak yang gila kerja dan sinis.
"Tidak semua orang seperti itu, Bang," Bara mencoba berargumen, kalimat standar yang selalu ia ucapkan. "Selalu ada kesempatan untuk berubah."
Gilang tertawa. Tawa yang kering, tanpa humor, seperti suara ranting patah. "Kesempatan? Berikan kesempatan pada seekor harimau lapar, dan ia akan berterima kasih dengan cara merobek lehermu sampai putus. Kau terlalu naif, Bara. Suatu hari nanti, kenaifanmu itu yang akan membunuhmu."
Kompol Gilang mengambil sebuah berkas tipis dari atas tumpukan, melemparkannya ke arah Bara. Kertas-kertas itu melayang sebelum jatuh di kaki Bara.
"Sudah, cukup ceramah moralnya. Sana, urus laporan kehilangan motor di Cempaka Putih. Kerjaan ringan. Cocok untuk orang sepertimu yang lebih suka berurusan dengan korban menangis daripada pelaku bersenjata."
Bara memungut berkas itu. Perintah itu jelas sebuah pengusiran halus. Ia mengangguk hormat. "Siap. Laksanakan, Bang."
Saat ia berbalik untuk meninggalkan ruangan, suara Gilang menghentikannya sekali lagi.
"Bara."
Bara menoleh, tangannya masih di gagang pintu.
"Lain kali, jika kau melihat telur pecah di jalan," kata Gilang, tatapan matanya menusuk hingga ke tulang sumsum, "biarkan saja. Itu bukan urusanmu. Urusanmu adalah memastikan tidak ada lagi darah yang tumpah di atasnya."
Bara keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Ia kembali ke mejanya di ruang utama yang riuh. Kata-kata Kompol Gilang masih terngiang, berdengung seperti lalat yang mengganggu di telinganya. Ia mencoba mengusir aura negatif itu dengan menarik napas panjang. Ia paham mengapa atasannya menjadi seperti itu. Trauma adalah luka yang jika tidak diobati, akan menjadi infeksi yang meracuni seluruh jiwa, mengubah korban menjadi monster jenis lain.
Ia baru saja akan membuka berkas laporan kehilangan motor itu ketika telinganya menangkap suara cicitan lemah. Suara itu berasal dari arah jendela nako yang terbuka sedikit, menghadap ke sebuah halaman belakang kecil yang ditumbuhi rumput liar setinggi lutut dan sebatang pohon mangga tua yang tak pernah berbuah.
Penasaran, Bara bangkit. Ia berjalan ke arah jendela, menyipitkan mata menembus silau matahari pagi.
Di bawah sana, di atas tanah yang becek bekas hujan semalam, seekor anakan burung gereja tergeletak tak berdaya. Tubuhnya mungil, bulunya masih tipis, dan salah satu sayapnya terkulai dengan sudut yang aneh. Patah. Mungkin ia terjatuh dari sarangnya di dahan pohon mangga itu karena angin kencang.
Beberapa petugas lain yang sedang merokok di dekat jendela ikut menengok ke bawah.
"Wah, bakal jadi santapan kucing liar tuh sebentar lagi," celetuk salah satu dari mereka sambil mengepulkan asap.
"Sudah, biarin saja. Seleksi alam, Bro. Yang lemah mati, yang kuat hidup," timpal yang lain tanpa empati.
Mereka kembali mengobrol, tertawa-tawa, mengabaikan makhluk kecil yang sedang meregang nyawa dalam ketakutan itu.
Tapi Bara tidak bisa.
Kalimat Gilang barusan biarkan saja, itu bukan urusanmu seketika terasa salah. Mungkin benar ia tidak bisa mengubah Jakarta. Mungkin benar ia naif dan bodoh. Tapi membiarkan kehidupan kecil yang tak berdaya mati begitu saja di depan matanya, padahal ia bisa menolongnya, terasa seperti sebuah pengkhianatan terhadap kemanusiaannya sendiri.
Tanpa pikir panjang, Bara berbalik, bersiap turun melalui tangga belakang untuk menyelamatkan burung itu. Ia sudah membayangkan akan membuat kotak kardus kecil dengan alas kapas di mejanya. Ia akan merawatnya sampai sembuh. Itu akan menjadi kemenangan kecilnya hari ini.
Namun, baru satu langkah ia ambil, teriakan melengking dari arah meja piket menghentikan seluruh aktivitas di ruangan itu.
"KOMANDAN! KODE 33! KODE 33 DI TAMAN SUROPATI!"
Seketika, suasana kantor yang tadinya santai berubah tegang. Kode 33. Pembunuhan.
Pintu ruangan Kompol Gilang terbanting terbuka. Sang komandan keluar dengan langkah lebar, wajahnya yang tadi lelah kini menegang, matanya menyala dengan kewaspadaan penuh.
"Laporan situasi!" bentak Gilang.
Petugas piket itu menjawab dengan suara gemetar, wajahnya pucat pasi seolah baru melihat hantu. "Ditemukan mayat perempuan muda di sebuah gudang kosong dekat Stasiun Tanah Abang, Ndan. Kondisinya... mengerikan. Leher digorok rapi. Dan... dan ada pola luka tertentu di wajah korban. Tim identifikasi bilang ini mirip modus operandi lama."
Hening.
Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan Reserse Kriminal. Semua mata tertuju pada Gilang. Bara bisa melihat rahang atasannya mengeras, urat-urat di lehernya menonjol.
"Jagal..." desis Gilang pelan, tapi di ruangan yang sunyi itu, suaranya terdengar seperti ledakan.
Gilang menoleh cepat, matanya menyapu ruangan dan berhenti tepat di sosok Bara yang masih berdiri mematung di dekat jendela.
"Wijaya!" teriak Gilang, suaranya menggelegar. "Buang berkas motor hilang itu! Kau ikut aku. Sekarang!"
"Siap, Bang! Tapi..." Bara menoleh sekilas ke luar jendela. Ke arah rumput tinggi di mana anak burung itu masih mencicit memanggil induknya. Jika ia pergi sekarang, kucing liar pasti akan menemukannya dalam hitungan menit. Burung itu tidak akan selamat.
"Tunggu apa lagi?! Gerak!" bentak Gilang, sudah melangkah cepat menuju pintu keluar sambil mencabut pistol dari sarungnya untuk mengecek amunisi.
Bara merasakan konflik batin yang hebat menghantam dadanya. Ia menatap jendela itu satu kali lagi, lalu menatap punggung Gilang yang menjauh.
Ia harus memilih. Menyelamatkan satu nyawa kecil yang pasti, atau mengejar monster yang merenggut nyawa manusia.
Dengan berat hati, Bara membuang napas kasar, memaksakan kakinya berbalik menjauhi jendela. Ia berlari menyusul Gilang, meninggalkan cicitan lemah di halaman belakang itu perlahan menghilang ditelan jarak. Ia belum menyadarinya saat itu, tapi momen ini adalah titik balik. Hari ini, ia harus meninggalkan kepolosannya di belakang, sama seperti ia meninggalkan burung itu untuk menghadapi nasibnya sendiri.
Karena di luar sana, monster yang sebenarnya telah bangun dari tidur panjangnya. Dan monster itu lapar.