Pikiranku masih melayang pada ucapan yang dilayangkan oleh dua karyawan tadi. Masih dengan pikiran tentang bagaimana mereka mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi.
Aku langsung mengambil hpku dan membuka i********:, media sosial yang dimana karyawan menemukan sumber fakta menyakitkan tentangku dan keadaan rumah tanggaku.
Aku langsung mengetik nama mas Barga tanpa basa basi dan melihat riwayat postingannya.
Benar.
Gambar yang pertama di tangkap oleh mataku adalah foto mas Barga dan Aisyah yang tengah tersenyum berduaan di balkon.
Astaga, Aisyah memang sangatlah cantik. bahkan ketika menggunakan gamis yang sama dengan yang aku gunakan tadi malam. Dia begitu elegan dan mempesona.
Tidak terasa, air mataku jatuh ke layar.
Huft... hidup memang tidak semudah itu. Apalagi dalam mahligai rumah tangga yang pemerannya belum mengenal satu sama lain.
Tapi, mengapa bisa sesakit ini ya?.
***
Aku memutuskan keluar dari ruangan karena tidak betah dengan suasananya. Entah karena bisikan tetangga yang merusak telinga, bahkan sampai lontaran hinaan yang dengan terang-terangan mereka ucapkan padaku.
Astaga, cobaan apalagi ini. Baru saja aku keluar, aku sudah di hadapkan dengan dua orang yang mungkin masih bermadu cinta.
Baru saja aku membuka pintu, mata kepalaku sendiri sudah melihat mas Barga yang sedang berjalan sambil tersenyum lebar dan menggandeng seorang perempuan. Tanpa aku sebutkan, kalian sudah bisa menebak bahwa itu adalah Aisyah.
Aku memang benar-benar seorang yang miris. Mempunyai suami yang lebih nyaman bersama dengan perempuan lain.
Saat mas Barga dan Aisyah lewat di depanku, aku langsung menunduk, menyembunyikan air mata yang sudah tidak bisa di tahan lagi. Aku hanya sanggup menatap lantai dan sepatuku, daripada berhadapan dengan kejamnya wajah-wajah karyawan.
Aku rasa mas Barga sudah tidak ada lagi di lobi. Entah dia akan pergi kemana dengan Aisyah. Mas Barga juga tidak mengucapkan apapun padaku sebelumnya.
Astaga, aku lupa. Bagaimana mungkin mas Barga akan bercerita seakan kita dekat seperti itu. Jangan terlalu berharap, Ajeng.
Aku memutuskan untuk pergi ke taman. Untuk menyejukkan hati yang terlalu memanas, tidak menerima kenyataan yang selalu menyakitkan. Bahkan saat aku berjalan ke taman pun, rasanya masih banyak mata yang menatap tajam ke arahku. Aku salah apa, ya Allah?.
Aku duduk di salah satu taman, memasang earphone dan memainkan sholawat nabi dari Youtube.
Hmm... Sedikit membuat dan menciptakan ketenangan dalam diri.
Drt... Drt...
Tiba-tiba ponselku bergetar di tengah kenikmatan sholawat yang menenangkan.
Fatimah Salsabila is Calling
Fatim?. Ada apa?. Kenapa tiba-tiba sekali?.
"Halo, Fatim. Assalamualaikum"
"Wa'alaikumussalam, Ajeng"
Astaga, suaranya terdengar antusias sekali. Ada apa sebenarnya?.
"Ada apa, Fatim?. Kenapa tiba-tiba menghubungiku?"
"Ya ampun. Masa aku gak boleh hubungi kamu? Tega banget!"
"Tidak. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya bingung saja, kenapa tiba-tiba menelpon setelah sekian lama tidak ada kabar"
"Iya. Benar. Kita sudah lama tidak saling tukar kabar. Bagaimana nih keadaan kamu?"
"Alhamdulillah, baik"
"Alhamdulillah. Eh, kita meet up yuk. Sudah lama kita gak bertemu. Pokoknya kamu gak boleh nolak, titik!"
Aku tertawa. Iya, seperti ini lah yang aku inginkan. Astaga, Fatim. Kamu sukses membuatku melupakan semua resah gundah dalam hati ini.
"Baiklah. Dimana?"
"Seperti biasa. Cafe YoungGen. Aku juga akan mengajak Barga Manan. Katanya dia juga akan mengajak temannya"
"Baiklah. Aku berangkat sekarang!"
Aku langsung berdiri dan keluar dari lingkungan kantor. Berjalan ke halte dan menunggu taksi yang lewat.
"Oke deh. See you on the spot!"
"See you!. Assalamualaikum"
"Wa'alaikumussalam"
***
Tidak lama kemudian, taksi yang aku gunakan berhenti di Cafe YoungGen. Adalah Cafe yang biasa kami gunakan untuk berkumpul ketika penat dulu, ketika kuliah.
Oh iya, aku dan Fatim adalah sahabat sejak kuliah. Ingat kali dengan waktu pertama kali kita bertemu. Waktu itu, kami bertemu di auditorium Smith's Fashion and Business University. Aku duduk di sampingnya.
Waktu pertama kali bertemu, Fatim terlihat pucat dan lemas. Untung saja, aku masih memiliki roti dan sebotol air untuknya. Aku yakin, dia tidak pernah memakan sesuatu sampai membuatnya seperti itu.
Singkat cerita, ternyata Fatim memilih untuk kabur dari rumahnya karena tidak di restui untuk berkuliah di jurusan Fashion. Orang tuanya lebih merestuinya di bidang Kedokteran, sama seperti keluarganya yang lain. Tapi, Fatim nekat untuk keluar dari rumah dan kuliah secara mandiri.
Kami selalu bertemu di kampus. Mungkin, jika tidak ada dia di sampingku, aku sudah seperti orang yang gila karena tidak bisa membendung perasaanku yang selalu di rudung masalah.
Fatim juga tahu bahwa aku adalah anak dari hasil di liar pernikahan. Tapi, dia tidak pernah membeberkan hal itu kepada siapapun. Atau sebenarnya aku lah yang tidak tahu. Entahlah.
Sudahlah. Itu hanyalah masa lalu. Dulu dan sekarang, hidupku tidak jauh berbeda. Masih berputar di lingkup kesakitan.
" Ajeng!"
Mataku langsung lincah mencari keberadaan suara itu.
Oke, kena.
Fatim berada di pojok, bersama dua orang pria. Yang satunya sudah pasti adalah Barga Manan. Dan satunya lagi, aku tidak tahu. Aku hanya bisa melihat punggungnya.
Untuk kalian ketahui, Barga Manan adalah pemilik kampus tempat kami menimba ilmu dulu. Barga Manan adalah seorang lelaki muda yang dengan tegas, bijaksana dan penuh wibawa dapat memimpin universitas di usianya yang menurutku masih muda jika dilihat dari pemimpin yang lainnya. Pertemuan Fatim dan Barga Manan juga tidak terduga-duga.
Barga.
Nama yang sama dengan suamiku.
Namun kali ini Fatim lebih beruntung karena mendapatkan Barga yang penuh dengan kasih sayang. Sedangkan aku?
Jangankan kasih sayang, mengobrol santai pun tak pernah!.
Aku segera menghampiri mereka. Fatim segera memelukku dengan erat. Ia juga mengajakku untuk berputar sambil berpelukan, layaknya seperti masih anak-anak.
"Sudah. Sudah"
Aku melepas pelukan dan tersenyum ke arah Barga Manan. Astaga, penampilannya tidak berubah sedikit pun. Bahkan semakin terlihat berwibawa.
"Bagaimana kabarmu?" Tanya Barga Manan
"Kabar baik"
"Alhamdulillah. Oh, iya, ini kenalin temanku"
Aku langsung menoleh ke arah pria yang masih sibuk mengotak-atik laptopnya.
Seketika mataku melotot setelah melihat siapa gerangan orang tersebut.
"Mas Dimas?"
"Mbak Ajeng?"
***
"Ooo... Jadi Dimas itu iparmu?" Tanya Fatim.
Aku menoleh ke arah mas Dimas. Dan mengangguk menanggapi pertanyaan Fatim.
"Iya, jadi mas Dimas ini adalah sepupunya mas Barga. Bukan mas Barga Manan, tapi suamiku. Namanya juga Barga"
Fatim dan Barga Manan mengangguk.
Tidak lama setelahnya, makanan yang kami pesan datang. Aku menyisihkan makanan tersebut sesuai dengan yang sudah di pesan oleh mereka.
Fatim memesan dessert, Barga Manan memesan kopi s**u, dan mas Dimas memesan teh. Sedangkan aku juga memesan minuman yang sama dengan mas Dimas, teh manis tapi yang dingin.
***
Cukup lama kami saling berbincang masalah ini-itu dan kebanyakan itu terkait dengan cerita selama kita tidak bertemu.
Ternyata banyak sekali perubahan yang terjadi dan banyak sekali cerita yang belum aku ketahui tentang Fatim dan Barga Manan.
"Ada apa ini?"
Deg.
Suara itu lagi.
Kenapa selalu bertepatan dengan aku yang sedang bersama pria lain, dan naasnya kali ini juga dengan pria yang sama. Bersama dengan mas Dimas.
Aku langsung berdiri dan berbalik badan. Dari suaranya, aku tahu betul bahwa itu adalah Mas Barga.
"Mas..."
"Fatim, kenalin ini mas Barga. Suamiku"
Belum sempat Fatim berdiri dan berkenalan dengan maa Barga, tanganku sudah di tarik olehnya dan keluar dari Cafe ini.