2. Pengantin Baru

1339 Kata
Rumah keluarga Embun rumah kuno, masih plester semen lantainya, juga bata merah dindingnya. Itu pun hasil iuran para anak-anak. Dulu, saat Embun kecil, rumahnya berdinding bambu, sering merembes basah tiap musim hujan. “Nanti mau makan di mana?” tanya kakak perempuan Embun. Embun melihat sekeliling. Rumah keluarganya sempit, dapur dan ruang tengah sudah penuh oleh ibu-ibu yang memasak. Barang-Barang untuk hajatan juga berserakan. Embun intip ruang tamunya, masih banyak kerabat laki-laki yang masih merokok sambil bercengkrama. “Di kamar saja,” jawab Embun. “Ya, biar Mbak siapkan.” “Terima kasih.” Embun tunggu suaminya di depan kamar mandi, takut suaminya bingung saat nanti keluar. Rumah Embun memang sempit. Embun anak bungsu dari empat bersaudara, sementara hanya ada tiga kamar di rumah ini. Satu untuk Bapak, dua untuk dua saudara perempuannya yang tinggal di sini. Beruntungnya, hasil kerja keras di ibu kota empat tahun, Embun berhasil beli rumah sendiri. Tak jauh dari sini, hanya selisih beberapa blok saja. Itu lah rumah yang nanti akan dia huni bersama Arka. ‘Srek!’ Embun menoleh, melihat pintu kamar mandi yang digeser terbuka. Wanita itu tersenyum, melihat suaminya yang kini sudah berganti baju. Kemeja dan celana hitam yang Embun belikan terlihat menawan dipakai suaminya. “Aku bawakan,” kata Embun. Dia ambil handuk basah juga baju setelan putih yang tadi Arka kenakan. “Terima kasih.” “Waduh, gantengnya!” goda ibu-ibu tukang masak. “Masya Allah. Bening banget suaminya Mbak Embun ini!” bilang ibu yang lain. Arka tersenyum malu, mengikuti istrinya kembali ke kamar, lagi-lagi disoraki oleh ibu-ibu. Begitu mereka masuk kamar, Arka insting mengunci pintu. Embun yang fokus ke baju di tangan tak menyadari. “Mas, ini baju punya Mas atau nyewa?” tanya Embun. Arka melihat wanita di depannya, fokus tak fokus melihat baju di tangan istrinya. “Oh. Itu Umi yang belikan.” Umi adalah panggilan Arka untuk ibunya, dan Abah untuk panggilan ayahnya. “Kalau gitu aku cuci besok di rumahku saja ya?” bilang Embun. “Ya.” Oh iya, Arka baru ingat. Dia tidak harus tergesa-gesa sekarang. Besok setelah di rumah mereka sendiri, mereka akan bebas berduaan, bebas melakukan apa saja yang mereka mau. Lelaki itu duduk lagi di pinggir kasur, memang, di kamar sempit ini, tidak tahu lagi harus ngapain selain duduk-duduk atau tiduran. Eh? Arka menggelengkan kepala, mengusir pikiran m***m jauh-jauh dari otaknya. Di depannya, Embun sudah terlihat santai, duduk di lantai. Dia lipat baju pengantin suaminya. Hati-Hati saat memasukkannya ke dalam tas jinjing. “Kapan besok kita ke rumah kamu?” tanya Arka. “Besok pagi, Mas, selesai sarapan. Nanti malam mungkin ramai sekali di sini. Soalnya kakakku perempuan dua tinggal di sini. Ini kamar Mbak Luluk. Belum keluarga yang lain.” Mbak Luluk adalah kakak perempuan nomor dua Embun. “Oh,” jawab Arka. Dia tak lagi nafsu, tak ingin saat pertama dengan istrinya mereka lakukan di kasur pasutri lain. Di bawah tatap awas suaminya, Embun menghapus riasan. Riasan model Jawa begini, benar-benar tebal bedaknya, belum yang hitam paes di bagian atas. Sangat sulit saat membersihkan. “Mau aku bantu?” tawar Arka. Embun tersenyum lebar. “Boleh,” jawabnya. Sentuhan pertama Arka di wajah Embun. Lelaki itu lembut memegang wajah istrinya dengan satu tangan, kemudian membersihkan riasan dengan kapas di tangannya yang lain. “Kamu pakai make up ataupun tidak, sama-sama cantik,” puji Arka. Embun tersenyum malu. Wanita itu memberanikan diri melihat suaminya. Dari jarak yang sangat dekat begini, Embun bisa melihat pantulan wajahnya di iris hitam suaminya. Wajahnya terlihat gugup, tapi juga bahagia. Arka menuangkan pembersih riasan lagi ke kapas baru. Kali ini giliran dia membersihkan merah di bibir istrinya. Pemuda itu meneguk ludah, melihat saat bibir istrinya kini bebas dari warna buatan. Terlihat indah, lembut, basah berwarna kemerahan. Arka tanpa sadar membelai sepasang bibir di depannya. Alam imajinasinya bahkan lebih jauh mengembara. Embun berdehem, mengembalikan Arka ke alam nyata. “Aku sedang datang bulan,” ujar Embun. Wajah Arka terlihat bingung. “Ya?” tanyanya. Otaknya benar-benar sulit mengelola informasi saat ini. Embun malu menjelaskan, “Aku sedang datang bulan, Mas. Baru saja tadi pagi. Mungkin masih tujuh atau delapan harian baru selesai.” Arka mengedip-ngedipkan mata. Butuh waktu yang lumayan lama sampai pria itu tersadarkan. Berguling-Guling di atas kasur. “Oh, Tuhan!Tuhan! Tolong aku!” jeritnya. Tawa Embun mengalun. Tidak menyangka Arka sudah sangat menginginkannya. “Kan masih ada banyak waktu sih, Mas. Ini baru juga hari pertama kita menikah,” ujar Embun. Arka frustrasi melihat istri polosnya. Tak lagi malu-malu, Arka tarik istrinya ke kasur, dia dekap hangat istrinya. Dia kecupi kening istrinya. “Betapa aku ingin memelukmu sejak tadi!” bilang Arka. Embun tersenyum, merasakan bibir suaminya yang menyentuh kulit wajahnya. Dia beranikan diri mengangkat wajah untuk melihat suaminya. “Sungguh?” tanya Embun. Kilat canda di mata Arka menghilang, tinggal serius di sana. “Ya,” jawabnya jujur. “Tapi kita baru saja bertemu,” balas Embun. Arka tersenyum. Pemuda itu jujur mengakui, “Aku sejak pertama Abah lihatin foto kamu, aku langsung suka. Saat aku pertama ke sini sama Abah, perasaanku semakin berlipat-lipat. Aku ingin memilikimu.” “Beruntung kamu mau menikah denganku.” Pemuda itu hangat memeluk wanita dalam dekapan, dia kecupi lagi kepala istrinya. Embun tersenyum, bahagia balas memeluk suaminya. Suasana terasa syahdu. Arka lepas pelukannya, dia pandang lekat-lekat wajah istrinya. “Aku ingin mencium bibirmu,” bilang Arka. Embun malu-malu tersenyum. “Boleh,” jawabnya. Senyum Arka lebar sekali. Pemuda itu memajukan wajah, memiringkan wajahnya untuk menempelkan bibir mereka. Ciuman pertama untuk Embun dan Arka. Saling memeluk, saling membasahi bibir, mengisap dan menyesap satu sama lain. “I love you,” bisik Arka. Dia tulus mengecupi wajah istrinya. Embun damai, matanya berkaca-kaca. Dia bahagia meletakkan kepalanya di d**a sang suami. “Terima kasih,” bisiknya. *** Siang tadi, karena tahu jika dia tak akan bisa menahan diri, Arka membatasi hanya dengan satu ciuman saja antara dia dan Embun. Di rumah kecil dengan banyak penghuni seperti ini, satu saja suara aneh terdengar dari kamar mereka, bisa jadi bahan obrolan satu kampung kisah mereka. Itulah kenapa Arka berhati-hati, sabar menunggu esok hari. Sayangnya, esok hari datang, dan rupanya satu keluarga besar Embun ikut mengantar kedua mempelai pindah rumah. ‘Tuhan, kapan aku bisa berduaan dengan istriku??’ jerit Arka dalam hati. Bahkan tetangga-tetangga sebelah rumah Embun datang semua, melihat pengantin baru sembari mencicip jajanan yang keluarga Embun bawa. “Yang laki ganteng, yang cewek cantik. Pas banget. Cocok! Semoga segera punya momongan!” “Terima kasih.” Basa-Basi yang melelahkan. Belum rumah yang sangat ramai. Pening sekali kepala Arka. “Mas mau jalan-jalan?” ajak Embun. Arka menoleh ke istrinya di sebelah. “Jalan-Jalan ke mana?” tanya Arka. “Keliling rumahku saja, hehe.” Arka mengangguk. “Ayo,” katanya. Pasangan itu berjalan berdampingan. Pagi menjelang siang, lumayan terik hari ini. “Semoga besok gak hujan,” kata Arka. “Aamin.” Besok mereka ada acara resepsi pernikahan di rumah Arka. Arka mengangguk. Dia lihat sekeliling. Rumah Embun tipe sederhana, tidak terlalu luas, tapi cukup luas jika untuk berdua. Ada tanah kosong di sebelah kanan. Sementara di sekeliling rumah ditembok untuk pagar. “Dulu aku inginnya buat luas sampai sini, tapi kata Bapak nanti saja, kalau punya anak baru renovasi.” Arka mengangguk. “Kalau kita punya satu anak, Insya Allah cukup rumah kamu. Kalau mau nambah anak lagi mungkin baru kita renovasi rumah, hehe.” Embun malu-malu tersenyum. “Mas nanti pengennya punya anak berapa?” Arka malu menggaruk tengkuk. “Belum tahu. Mungkin satu atau dua. Terserah kamu nanti, hehe.” “Kok aku?” tanya Embun. “Entahlah. Semoga nanti anak kita mirip sama kamu, aku suka lihat wajah kamu,” jawab Arka malu. Embun tak kalah malu saat menjawab, “Aku juga suka lihat wajah Mas, sangat tampan.” Pasangan itu tersenyum malu-malu, saling lirik dengan wajah memerah. Tak sengaja, tangan mereka bersentuhan. Arka malu-malu melihat sekeliling, tapi tangannya bergerilya, menggenggam hangat tangan istri barunya. Senyum di wajah Embun tak pernah berhenti, wanita itu juga, malu-malu melihat ke langit, menikmati hangat sentuh sang suami. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN