IBU KENAPA?

1201 Kata
             Bagaimana dengan Pras? Sebenarnya jika berbicara mengenai Rupa, dari seluruh laki – laki di desa ini , Pras lah yang paling menawan . mata sipit , hidung mancung , serta bibis tipis dan badan kekar menjadi ciri khas nya. Kalau begitu mengapa Kinan menolak? Karena Pras adalah manusia yang paling cuek yang pernah Kinan kenal selama hidup. Jangankan berbicara , tersenyum saja jarang. Sikap dinginnya membawa kejengkelan tersendiri untuk Kinan. Kinan tidak mau menikah dengan laki – laki yang sombong. Ia suka laki – laki yang ramah. Lagipula pikir Kinan pasti Mas Pras sudah memiliki pacar, seorang pilot muda dengan wajah yang tampan pasti menjadi incaran para wanita – wanita cantik , terlebih lagi ia bekerja dan di kelilingi oleh para pramugari – pramugari cantik. Kecil kemungkinannya jika ia tidak memiliki pacar.                 “Sedang apa kamu di sini?” Tanya seseorang yang lantas mengagetkan Kinan. Kinan segera membalikan badannya kemudian menatap sang pemilik suara dengan tatapan tajam                 “Mas Pras ngapain kesini?” Tanya Kinan                 “Mau bicara dengan kamu” Jawab Pras. *****                 Kinan pulang ke rumahnya , kemudian mengemasi barang – barang nya. Ia tidak terima jika ia harus di perlakukan selayaknya alat tukar . Kinan mengemasi barang – barang nya sambil menangis , ia tidak pernah menolak permintaan ibu nya , namun untuk saat ini , mungkin inilah kali pertama dirinya akan menolak permintaan wanita yang telah melahirkannya.                 “Mau kemana nduk?” Tanya Tatih ketika melihat putri nya sedang berkemas, ia mendekati Kinan , duduk di sebelah gadis itu sembari menatap nanar barang – barang Kinan yang sudah terkemas begitu rapih. Tatih sadar , keputusannya adalah bomerang bagi Kinan, namun tidak ada cara lain yang bisa ia gunakan. Tubuhnya sudah tua, ia sudah tidak bisa bekerja di ladang sama seperti di saat ia masih muda, ia juga kasihan melihat ketiga orang anaknya , apalagi Kinan harus membayar hutang bapak nya yang tidak bertanggung jawab. Tatih ingin melihat ketiga anak nya bahagia, Cuma itu saja keinginan Tatih di masa tua nya.                 “Kinan ndak mau , ibu ngejadiin Kinan alat tukar untuk melunasi hutang – hutang bapak. Kinan , Mas Galih , dan Mas Harus juga bisa melunasi hutang bapak bu, Kami bertiga sanggup. Kinan ndak peduli kalau Kinan harus kerja delapan belas jam per hari untuk melunasi hutang bapak , Kinan sanggupi bu. Tapi tolong… Kinan ndak mau di jodohkan sama Mas Pras…” Ucap Kinan dengan derai air mata di pipi nya. Tangisnya semakin menjadi ketika ia melihat ibu nya tertunduk dan menangis. Kinan semakin stress , ia berada di dua pilihan, antara ibu dan juga diri nya sendiri.                 “Ibuk ndak lama lagi nan… ibuk nda lama lagi… ibu kepingin ngeliat kamu menikah sebelum ibu pergi” Ucap Tatih , ia mengepalkan kedua tangannya kuat – kuat hingga kukunya terlihat memutih. Mendengar hal itu Kinan langsung berdiri , berlutut di depan ibu nya. Memegang sepasang tangan yang dulu menimang nya ketika masih kecil.                 “Ibu ini bicara apa… umur ibu masih panjang, ibu harus sehat, bagaimanapun itu, ibu harus sehat” Ucap Kinan dengan air mata yang berlinang di pipi nya. Tatih mengelus lembut rambut putri nya, kemudian berdiri, membuka laci dan menyerahkan sebuah amplop kepada Kinan. Tatih menyeka air mata nya kemudian menatap Kinan dengan tatapan kosong.                 Kinan kaget setelah menerima amplop yang baru saja Tatih berikan, membaca nama Tatih di bagian depan , beserta logo dan nama rumah sakit. “Apa ini bu?” Kinan membuka amplop tersebut, mengeluarkan isinya, berulang kali membaca nya namun ia masih tidak mengerti dengan bagaimana hasil yang tertulis di amplop tersebut.                 “Bu… apa kata dokter?” Tanya Kinan, Tatih nampak menahan tangis nya, kemudian memegang tangan Kinan.                 “Kamu boleh nolak permintaan ibu nan, tapi kalau boleh jujur , itu permintaan terakhir ibu , ibu janji setelah itu ibu ndak akan ngerepotin kamu lagi” Ucap Tatih yang sedetik kemudian  berhasil membuat Kinan menjadi lebih kacau lagi. Ibu nya itu berkata seakan – akan ia sudah akan meninggalkan Kinan secepatnya.                 Kinan tidak membalas ucapan Tatih, ia berdiri kemudian mengambil ponselnya setelah itu ia melenggang pergi dengan ponsel dan amplop yang berisi hasil pemeriksaan terakhir ibu nya. *****                 Kinan berjalan dari rumahnya menuju perbatasan desa, tempat dimana dokter Ardi, dokter yang sudah dua tahun menjadi kepala puskesmas di desa itu, melakukan prakteknya. Disana terbilang ramai untuk ukuran hari libur seperti ini. Kinan duduk, menanti Dokter Ardi menyelesaikan pekerjaannya.                 Dua jam berlalu , kini satu per satu orang – orang sudah meninggalkan tempat itu. Kinan segera mendekat ke arah ruangan sang Dokter, mengetuknya tiga kali hingga ada suara dari dalam.                 “Iya masuk aja” Jawab Dokter Ardi dengan suara khas nya, Dokter Ardi bukanlah orang Jawa, bukan juga orang sunda. Beliau adalah keturunan Bugis-Padang, yang berkuliah di Jakarta. Wajahnya tampan, berkulit sawo matang dan berhidung mancung serta tutur kata yang lembut menjadi daya tarik tersendiri untuknya. Kalau kata orang Ah orang bugis – makassar , biasanya kasar.  Salah . bagi Kinan itu tidak berlaku pada dokter Ardi , pria itu bahkan jauh lebih lembut daripada para pria di kampung nya.                 Kinan mendorong pintu pelan – pelan , tersenyum singkat kepada Dokter Ardi walau matanya sembab, Kinan duduk. Walau ia belum di persilahkan.                 “Bisa beritahu saya hasil pemeriksaan ibuk mas?” Tanya Kinan sembari menyerahkan amplop tersebut kepada Dokter Ardi. Dokter Ardi juga merupakan Dokter yang selalu menangani ibu nya ketika penyakit diabetes nya kambuh, maka dari itu Kinan datang kesana, untuk meminta Dokter Ardi menjelaskan isi dari amplop tersebut.                 “Kemarin saya sudah coba jelaskan ke Ibu, tapi sepertinya Ibu Cuma mengerti sedikit nan, katanya Mas Ardi jelaskan saja ke salah satu anak ibu.  Mas Galih dan juga Mas Harun belum ada yang datang, sekarang berarti saya sudah bisa ya nan menjelaskan ini ke kamu?” Jawab Dokter Ardi, Kinan tak bersuara, ia hanya mengangguk pertanda setuju.                 Dokter Ardi kemudian memperbaiki posisi duduknya, membuat kedua tangannya saling bertautan di atas meja. “Begini Kinan, tapi sebelumnya kamu sudah tau kan kalau Ibu , sejak lama telah mengidap penyakit Diabetes tipe 1?” Kinan mengangguk “Beliau bahkan sudah di vonis menderita Diabetes ketika masih remaja, semakin hari keadaan fisik ibu semakin tidak kuat, Diabetes menghancurkan ibu perlahan , tapi sebenarnya resiko nya bisa di kurangi kalau saja ibu bisa mengurangi memakan nasi putih, atau yang paling parah ternyata ibu masih minum teh manis, kata Ibu saat dia datang untuk memeriksakan kesehatannya kemarin, kalau malam dia bahkan menjadikan gula sebagai cemilannya. Kalau sudah begini Kinan… fisik ibu sudah tidak bisa memerangi penyakitnya lagi, di tambah kebiasaan ibu yang semakin membuat penyakitnya semakin parah”  Lanjut Dokter Ardi sehingga membuat Kinan semakin tertekan mendengarnya                 “Jadi… bagaimana mas?” Tanya Kinan hati – hati. Dokter Ardi menghela napas.                 “Saya bukan tuhan yang bisa nentuin umur ibu sampai kapan, tapi jika dari hasil laboratorium nya, Ibu sudah sangat sulit untuk memerangi penyakitnya sendiri nan. Saran saya… baik – baiklah kepada Ibu, jangan sampai menyesal di kemudian hari” Kinan tertunduk lesu, ia menahan air mata nya dengan perasaan yang bercampur aduk, ternyata inilah alasan mengapa Tatih selalu berkata seolah – olah ia akan meninggalkan Kinan sesegera mungkin.                 “Saya pulang mas, terimakasih untuk waktunya” Ucap Kinan                 “Nan… baik – baik sama ibu” Pesan Dokter Ardi sembari mengantarkan Kinan hingga ke depan klinik, Kinan mengangguk, setelah itu Kinan perlahan menghilang bersamaan dengan bunyi nya suara adzan maghrib.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN