Prosecution | Chapter 7

1218 Kata
              Sudah hampir satu minggu Chrissy tidak menerima gangguan dari Mr. Stalker—begitu Chrissy memanggilnya. Sesuai dengan rencana, wanita itu sama sekali tidak pergi ke tempat umum terbuka seorang diri. Paling tidak ada Sebastian, Liam, atau Mom-nya yang menemani. Meskipun sikapnya yang seperti itu membuat beberapa orang di sekitarnya jadi sedikit curiga terutama Aram, Chrissy bisa mengatasinya. Memang, wanita itu biasanya tidak begitu suka diikuti. Dan berkat pria penguntit itu, Chrissy harus terbiasa bepergian tidak seorang diri—positifnya, dia bisa memiliki cukup banyak waktu bersama Nathalie, mengingat Mom-nya itu yang paling sering menemaninya ke mana pun kecuali kampus.             Besok Chrissy tidak ada kelas dan dia sudah mengatur agenda pergi bersama Nathalie ke salon langganan mereka. Chrissy ingin memotong rambutnya, dan ia pikir Nathalie bisa memberikan saran yang bagus untuk memilih model rambut baru yang cocok untuknya.             Merasa mendapatkan kenyamanannya kembali, akhir-akhir ini Chrissy terlihat jauh lebih santai. Misalnya, seperti sekarang ini; dia turun dari mobil sembari bersiul-siul riang, dan itu terus berlangsung hingga ia memasuki kamarnya.             Chrissy meletakkan tasnya di atas meja-yang biasa ia gunakan untuk belajar-di dekat tempat tidur, kemudian duduk bersandar di kepala kasur dengan dua buah bantal yang sudah diatur sedemikian rupa untuk menyangga punggungnya. Chrissy membuka ponselnya, menandai tanggal di kalender.             Bertambah satu hari tanpa kehadiran pria itu, gumam Chrissy dalam hati. Ia lalu melemparkan ponselnya ke samping, seraya menurunkan tubuhnya perlahan hingga berbaring sempurna. Meskipun pria itu tidak memunculkan dirinya lagi, suara pria itu masih membekas di benak Chrissy walau hanya samar-samar. Terkadang, suara itu akan terdengar di dalam mimpinya sendiri, walaupun mimpi yang Chrissy mimpikan tidak berhubungan sama sekali dengan kejadian-kejadian lalu.             Mungkin salah satu faktor yang menyebabkan suara itu tidak kunjung hilang dari ingatannya, adalah karena Chrissy tidak bisa ‘melupakan’ suara itu. Beberapa kali dia akan memikirkan suara itu, sekaligus menerka-nerka apakah dia pernah mendengar suara itu sebelum ini—Chrissy pikir, suara itu tidak asing sama sekali.             Mungkinkah Mr. Stalker itu salah satu dari orang yang berada di dekatnya selama ini? Tapi siapa? Rekan satu kampus? Salah satu pria yang ia tolak? Pelayan di rumahnya? Ah... tentu tidak mungkin, hampir sebagian besar dari mereka sudah menikah—dan lagi, saat jam kerja, pelayan di rumahnya dilarang meninggalkan rumah kecuali jika ada kepentingan mendesak. Sementara dinilai dari tempat serta waktu si Mr. Stalker muncul, tidak mungkin jika pelakunya adalah salah satu pelayan di rumahnya.             Chrissy memiringkan tubuhnya, meraih ponsel, dan mulai memainkan barang elektronik itu. Ia membuka satu persatu situs website yang termasuk dalam bookmarks ‘psikologi’;‘cara mengatasi rasa takut’, ‘beberapa gerakan beladiri sederhana’, ‘hafalan nomor-nomor panggilan darurat’, adalah beberapa situs yang berada di dalam daftar. Ia sudah membaca semua artikel itu lebih dari dua kali dalam satu minggu ini. Itulah yang ia lakukan setiap suara asing itu bergaung seenaknya di dalam kepalanya.              Merasa sumpek, Chrissy menurunkan kedua kakinya ke lantai dan memakai sandal rumah bulu warna pink kesayangannya—ia memutuskan untuk keluar kamar.             Sampai di lantai dasar rumahnya, Chrissy berjalan menuju halaman belakang. Jika berjalan sedikit lebih jauh menjorok ke belakang, ada sebuah kolam besar yang tersembunyi di balik semak maze. Itu adalah hadiah ulang tahun Chrissy dulu saat berumur 14 tahun. Chrissy tidak bisa berenang, dan kolam renang yang sudah lebih dulu di bangun di halaman depan terlalu terbuka hingga ia merasa sedikit tidak nyaman latihan berenang di sana. Jadilah Aram menyulap halaman kosong di belakang maze menjadi sebuah kolam renang luas, lengkap dengan gazebo di pinggir pojok kanan kolam. Namun pada akhirnya, wanita itu lebih disibukkan dengan tugas sekolah dan melupakan latihan berenangnya begitu saja.             Begitu sampai di sana, Chrissy melihat Aram dan Ben sedang duduk menghadap laptop masing-masing di gazebo. Chrissy kira, Daddy-nya itu belum pulang, dan tidak biasanya pria itu mengerjakan pekerjaan kantornya di sini.             Ben adalah orang pertama yang menyadari kehadiran Chrissy. Pria itu mengatakan sesuatu pada Aram, sebelum Aram ikut menoleh ke arah Chrissy seraya mengulas senyum mengembang.             “Cheesy!” seru Aram, masih dalam posisi duduk dengan kedua tangan di atas  keyboard laptop.             Chrissy berhenti di ambang tangga menuju gazebo, memutuskan untuk tidak naik ke sana. “Sepertinya Dad sedang sibuk,” sahutnya, sambil mencuri pandang ke arah Ben. Ini adalah kali kedua ia mengamati pria itu dengan jarak yang cukup dekat. Yang pertama, saat pria itu pertama kali bertemu dengannya.             Entah kenapa Ben terlihat lebih menarik dengan segala sikap diamnya, yang selalu berbicara seperlunya saja. Berbeda dengan Liam yang cerewet dan periang—tunangannya itu seperti tidak memiliki rem untuk mulutnya sendiri. Tunggu, kenapa sekarang tiba-tiba dia malah membanding-bandingkan mereka berdua?             “As you see...” Aram terkekeh. “Dad tidak tahu kau sudah pulang.”             “Tentu saja. Suara mesin mobil kita tidak mungkin bisa terdengar dari depan sana ke gazebo ini, Dad.” Chrissy cepat-cepat membuang pandangannya ke arah lain, saat Ben tiba-tiba menoleh ke arahnya. “Kalau begitu, selamat bekerja. Pastikan kau menghasilkan banyak uang untuk aku dan Mom habiskan—pfft—bercanda, Dad. Kau harus lihat bagaimana ekspresi wajahmu barusan. Jaga kesehatanmu, kau tahu bagaimana Mom kalau sudah mengomel.” Chrissy mengedipkan sebelah mata, lalu berbalik pergi, memutuskan untuk berjalan memutari pinggiran kolam satu kali sebelum masuk ke dalam rumah.             Chrissy melepaskan sandalnya, ia taruh di tempat yang cukup jauh untuk terkena percikan air kolam. Perlahan, ia mulai menapakkan kaki di pinggiran kolam, sesekali menendang-nendang air yang meluap naik.             Dari sini, ia masih bisa melihat Aram dan Ben dengan jelas. Mereka berdua kembali larut dalam pekerjaannya dan terlihat sedang terlibat pembicaraan serius—Chrissy bisa tahu itu dari raut wajah keduanya.             Namun yang sebenarnya adalah, Chrissy tidak benar-benar memperhatikan keduanya.             Ben. Ada aura yang tak asing dari pria itu. Ini seperti mereka sudah bertemu beberapa kali sebelumnya, tapi Chrissy tidak bisa mengingat lebih jelas.             Ah, bukankah Ben adalah pengacara? Mungkin pria itu pernah menghadiri salah satu seminar yang diadakan kampusnya?             Tapi, sepertinya untuk pengacara sekelas Ben, hampir tidak mungkin memiliki waktu luang menghadiri seminar-seminar kampus. Tentu saja klien pria itu bukan hanya Daddy-nya, bukan? Pasti banyak orang sibuk dan super kaya lain di luar sana yang meminta bantuannya.             Lihat saja bagaimana penampilan pria itu. Meskipun ia hanya sedang mengenakan kemeja putih yang lengan panjangnya di gulung sampai siku tanpa mengenakan dasi, pemerhati fashion seperti Chrissy bisa tahu kalau itu bukan kemeja murahan. Selera pria itu hampir sama dengan Aram. Belum lagi jam tangan yang dikenakan pria itu— Rolex Submariner, eh?             Chrissy masih memandangi Ben, bahkan saat Aram menoleh melambaikan tangannya ke arah Chrissy. Nyaris bersamaan, Ben yang sedang berdiri tepat di belakang Aram, ikut menoleh, menangkap basah tatapan Chrissy yang jelas-jelas tertuju padanya dan....             Pria itu tersenyum miring.             Antara terkejut dan salah tingkah karena ketahuan, Chrissy menjatuhkan kakinya ke arah yang salah. Sontak, wanita itu kehilangan keseimbangannya lalu tercebur ke dalam kolam.             Chrissy menggapai-gapaikan tangannya ke atas. Rasanya ia akan tenggelam saat itu juga. Rasa penyesalan tidak meneruskan belajar berenang saat remaja dulu tiba-tiba muncul, membuatnya berjanji akan kembali belajar berenang asal Tuhan tidak mengambil nyawanya hari ini.             “Cheesy! Bertahanlah!” Samar-samar Chrissy melihat Aram berlari menuruni tangga gazebo. “Sebastian! Tolong dia!”             Chrissy menyadari kedatangan Sebastian. Pria tua itu tampak tenang, berjalan dengan santai ke arahnya sambil membawa sebuah handuk berwarna putih gading.             “Nona... tenanglah. Kau berada di bagian kolam yang dangkal.”             Tepat saat Sebastian mengatakan itu, Chrissy merasakan kakinya bisa menyentuh lantai dasar kolam. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN