Olivia - 5

1932 Kata
 Olivia merasakan kerongkongannya benar-benar kering, bak gurun pasir tandus. Sekujur tubuhnya bergidik, respon yang tak dapat dirinya kendalikan. Pesona James di dekat dirinya membuat Olivia kehilangan sebagian kewarasan dalam otaknya untuk berpikir dengan jernih. Jemari James mengikat jemari Olivia, saling bersilang, membawanya melangkah ke tengah tempat yang sudah di setting untuk pemotretan. Olivia merasa jantungnya berlari begitu kencang dan kegugupan menggerayangi seluruh tubuhnya. Di bawah sorot lampu terang yang mengarah ke wajah cantiknya. Olivia merasa pijaran lampu yang menyilaukan pada awalnya hingga James meraih dagu Olivia, membuat wajah Olivia berada tepat di hadapannya. Keduanya bertatapan dengan begitu dekat. Ada jeda sebentar di antara deru napas yang memburu dan tatapan mata yang dalam. Napas Olivia masih naik turun, meski tak secepat sebelumnya. Lidahnya juga terasa kelu dan tak dapat berkata apa pun, sungguh dahsyat pesona dan aura yang ada di dalam diri seorang James. “Duduklah, Liv,” pinta James dengan suara serak yang lembut di depan telinga Olivia, terasa menggetarkan. Olivia dapat mencium aroma parfume yang dikenakan James, parfume yang bercampur dengan aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya. Olivia terbuai hingga lupa bernapas dan sialnya James menyadari kegilaan dalam pikiran Olivia. “Bernapaslah, Sayang,” bisik James kali ini seraya mendekatkan tubuhnya ke tubuh Olivia dan tak ada jalan kembali bagi Olivia selain menelan ludah, memejamkan mata secara tiba-tiba saat jemari James melepaskan gengamannya di jemari Olivia dan berpindah untuk melilit pinggang rampingnya. Tubuh James melekat pada punggung Olivia. Ia memeluk Olivia dari belakang dan kerja jantung Olivia serasa berhenti berdetak. Matanya terbuka lebar dengan napas tertahan. “James,” desis Olivia nyaris tak terdengar. “Aroma manismu menggiurkan,” balas James bagai mantra yang menghipnotis bagi Olivia. Mengunci semua pikiran Olivia dalam sensasi yang tak terkatakan. James melambaikan tangan ke arah photografer, seolah menandakan kesiapan. Kerlipan dari lampu yang mengenai wajah Olivia tampak menyilaukan sekali lagi. “Good job!!” pekik pria di depan sambil terus mengarahkan kameranya. Olivia yang masih mematung dan bingung harus bersikap bagaimana, namun dengan lembut James membimbingnya. Mengarahkan banyak gerakan yang berpadu dengan dirinya. Jepretan kamera yang seakan tiada henti. “Kau terlalu cantik, Liv sayang.” Suara James membuat Olivia tersadar. Ia mulai tersenyum saat mendapati wajah James yang terlihat begitu tampan pada salah satu angle foto. Rahang yang keras mengatup berbingkai bulu halus yang dibiarkan tumbuh di sepanjang rahang. Rambut yang sedikit acak-acakan. James terlihat lezat. “Kau ingin mencoba pose yang lain?’ tanya James membuat Olivia mengerjap, seakan lamunannya berhamburan seketika. “Aku…” kalimat Olivia menggantung. Melirik Gladies yang masih terpana menyaksikan sesi foto tak terduga ini. Ia masih duduk ditempatnya bersama dua orang perias. Olivia sadar jika dirinya menjadi tontonan bagi semua orang seisi ruangan. “Coba kalian kenakan ini,” pinta sang photografer sambil menyerahkan dua set gelang perak yang sama persis dan sebuah kalung panjang berbandul burung hantu. “Biar aku yang memasangkannya untukmu, Olivia Franklin,” ucap James dengan tatapan yang masih sama. Olivia bergeming, hanya menatap tanpa berucap. James meraih pergelangan tangan kiri Olivia, memasukan gelang perak itu satu per satu, yang melilit kulitnya, sebelum James mendaratkan sebuah kecupan pada punggung tangan Olivia seraya menatap ke arah matanya yang indah. Mata yang berbinar dan James suka dengan apa yang ada di tubuh Olivia. Desir rasa yang membuat tubuh Olivia bergetar. Selanjutnya, James memasang untuk dirinya sendiri. James terdiam, berdiri dihadapan Olivia dengan sebuah kalung ditangannya. “Kau akan terlihat seksi, Liv, jika…” James membiarkan kalimatnya berhenti sejenak, dan Olivia menatap hingga sebelah alisnya naik, Olivia menunggu kalimat selanjutnya. “…Aku ingin kulit mulusmu terlihat,” lanjut James sambil membuka satu lagi kancing kemeja yang melekat pada tubuh Olivia, sebelum beranjak ke belakangnya untuk memasangkan kalung di leher jenjang Olivia. Olivia menahan napas saat kulit jemari James mengenai kulit lehernya. James menyingkirkan rambut Olivia ke salah satu sisi bahunya. Mengaitkan dua sisi kalung dan menggantung di sepanjang belahan d**a Olivia yang terbuka.   Olivia tersentak kaget dan bulu di sekujur tubuhnya meremang saat sebuah kecupan mendarat di kulit lehernya yang terbuka, dan reaksi yang ditunjukan James sebaliknya. Ia tersenyum menawan lalu berkata, “Kau manis.” James mengucapkannya dengan suara serak nan seksi sambil menata kembali rambut bagian belakang Olivia. James berdiri di hadapannya, mengamati wajah Olivia sekali lagi. Dan tiba-tiba, jemarinya terjulur di atas kepala Olivia sebelum ia mengacak-acak rambut bagian depannya, sebagian jatuh tepat di sepanjang pipi Olivia. Membungkus wajah cantiknya dengan tatanan yang tampak seksi. “Perfect,” ucap James sambil memberikan kode untuk memulai kembali sesi pemotretan. James berada tepat di belakang Olivia, sedikit menjulurkan kepalanya ke sela leher Olivia hingga membuat Olivia sedikit memiringkan kepalanya. Tangan James melilit tubuh bagian atas Olivia dan menempatkan lengannya tepat diatas d**a Olivia. Dunia seakan menggiring Olivia pada pengalaman pertama yang tak terbayangkan sebelumnya, tujuannya datang ke tempat ini. Olivia menelan ludah, menarik napas, memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya. “Tenanglah, Olivia sayang,” bisik James disela-sela rambut Olivia yang menutupi sisi pipinya yang tirus. “Tersenyulah, Liv.” James mengatakannya dengan ringan dan terasa bagai mantra di telinga Olivia. Sekejap Olivia tersenyum, sambil terus mengingatkan dirinya untuk tetap waras dan tenang. Aura yang dipancarkan James memang luar biasa pada sekujur tubuh Olivia. Olivia merasakan perasaan yang tak biasa hingga akhir sesi.   ***   Sepanjang perjalanan pulang dengan berbagai alasan yang dikemukan Olivia untuk menghindari tawaran yang diajukan James padanya. Tawaran untuk mengantarkannya pulang. Olivia beruntung karena dering ponsel James yang disusul dengan makian. Olivia kembali ke apartemenn yadengan pikiran yang terasa penuh dan membuatnya tak dapat berpikir hal lainnya. Sesi pemotretan siang tadi bersama seorang James Wallace telah membuat kerja otaknya acak-acakan. Citra bayangan wajah James memenuhi seluruh volume otak Olivia Franklin. Olivia mengutuki dirinya yang memutuskan untuk membantu Tom. Sensasi yang diberikan James pada Olivia disepanjang sesi pemotretan seakan mencuci otak Olivia. Kini, ia berguling-guling di atas kasur, merasakan hangat di balik selimut yang menutupi tubuhnya. Olivia butuh ruang dalam dirinya. Menatap langit-langit kamar yang bercat putih bersih. Ia beranjak bangun, meraih ponselnya dan berjalan ke dapur untuk mengisi gelasnya dengan air putih, meneguknya hingga tersisa setengah.  “Aroma manismu menggiurkan.” Ucapan yang keluar dari mulut James  masih menghantui pikiran Olivia. Masih terasa nyata di telinganya. Sekali lagi Olivia meneguk air putih dalam gelas hingga tandas, dan meletakkannya di atas meja. “Tidak, aku belum gila,” gumam Olivia seorang diri. Keheningan flat tempatnya tinggal usai Matt yang pergi untuk urusan bisnis. Olivia berjalan ke arah jendela. Tampak langit telah berubah gelap. Rembulan malam bergelantung rendah bersama sekawanan bintang dan ia masih tetap terjaga. Jalanan yang sepi dengan satu, dua mobil yang masih melintas. Ponselnya berdering di tengah kesunyian hingga membuatnya berjingkat. Olivia menyambar ponselnya  yang tergeletak di atas meja makan. “Hi, Matt,” sapa Olivia saat nama Matt muncul pada layar ponsel yang berubah terang. Olivia menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan keras.   “Hi, Sayang,” balas Matt dari ujung ponsel. “Bagaimana pekerjaanmu? Kapan kau kembali?” tanya Olivia dengan nada suara antusias. Layar ponselnya tiba-tiba berubah menjadi panggilan video call. Dan seketika tampak wajah Matt yang menatap Olivia. Senyum mengembang di wajah keduanya.   “Aku merindukanmu, Liv,” ucap Matt sambil tersenyum sementara Olivia membalasnya dengan senyum manis yang mengembang. “Kau belum menjawab pertanyaanku, Matt.” Olivia mengajukan protes, merasa terabaikan “Maafkan aku, Sayang. Pekerjaanku sungguh melelahkan. Aku harus bertemu dengan banyak orang.” Matt menceritakannya dengan panjang lebar, sesekali matanya terarah ke tempat lain, melambaikan tangan dan ada jeda didalamnya, sebelum ia kembali menatap Olivia seutuhnya. “Maafkan aku. Pekerjaanku belum selesai, Sayang. Aku menghubungimu, karena aku merindukanmu.” Perkataan Matt membuat Olivia tersipu malu, merasakan pipinya menghangat di bawah tatapan mata Matt dari ponselnya. “Bagaimana pekerjaanmu?” Pertanyaan yang mengejutkan untuk Olivia yang diajukan oleh Matt. Olivia mematung dengan wajah terkejut. “Kau baik-baik saja?” tanya Matt bingung. Olivia mengangguk pelan, mencoba berpikir untuk jawaban yang akan dirinya berikan pada Matt. Hal yang mustahil jika ia menceritakan pada Matt tentang apa yang terjadi tadi siang antara dirinya dengan James. “Aku, aku baik-baik saja.” Segumpal kebohongan meluncur dari bibir Olivia. Ia mengatakan sebuah kebohongan untuk pertama kalinya pada Matt. Olivia mencoba menenangkan dirinya. “Pekerjaanmu?” tanya Matt mengulang. Olivia menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Olivia tersenyum sebelum ia merespon Matt. “Pekerjaanku…ya pekerjaanku juga baik-baik saja. Hanya sedikit lebih sibuk.”   Olivia berusaha untuk tetap tenang dan tidak menimbukan kecurigaan bagi Matt, meski Olivia tak dapat menenangkan dirinya yang terdalam. Olivia mendapati Matt yang menganggukan kepala sebelum ia tersenyum lagi untuk dirinya. Matt terlihat begitu tampan. “Matt, ayo kita pergi sekarang.” Suara dari arah belakang Matt, Olivia melihatnya menoleh ke balik bahunya. “Pergilah. Kau sudah ditunggu, Matt,” kata Olivia pelan. Matt menatap kembali ke layar ponselnya dengan rasa bersalah. “Maaf, aku harus pergi dulu. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Bye, Liv.” “Bye, Matt.”   ***             Dentuman suara musik yang memekakan telinga. Sorot lampu yang berpijar, kerlap-kerlip, bergerak mengalun bersama dengan musik yang terdengar bercampur dengan suara riuh pengunjung. James Wallace, keluar dari dalam mobil Lykan Hypersport miliknya. Melangkah memasuki salah satu bar terkenal di kota London. Melewati penjagaan pria besar berseragam tanpa kesulitan.             “James!!!” pekik seseorang di antara teriakan dan keriuhan para pengunjung bar yang kebanyakan dari kalangan ternama. Di lantai dansa mereka berjoget, menari-nari dengan sepuasnya. Aroma alkohol berkelebat, berkolaborasi dengan asap rokok, dan m*******a. James telah berdiri bersisian dengan Greg yang sedang memeluk seorang wanita cantik nan seksi, berpakaian mini yang menampakkan lekuk tubuh molek. James hanya tersenyum miring saat mendapati telapak tangan Greg yang berada di p******a wanita dalam pelukannya.             “Seperti biasa, Bung,” pekik James pada bar tender yang ada di balik meja. James meraih sebuah bangku berkaki tinggi yang kemudian ia duduki. “Yang lain mana?” tanya James nyaris berteriak ditengah suara musik dan keramaian. “Mereka sedang dalam perjalanan,” Greg menyahut. Suara yang tak kalah kencang. James melayangkan pandangan matanya menyisir setiap sudut ruangan.             Wanita-wanita seksi, berpakaian mini bahkan nyaris telanjang. Berjalan wara-wiri dengan langkah gemulai di hadapan James.             “Kau tidak ingin bergabung, Sir?” tanya sang bartender.             James menoleh, tersenyum miring. Ia meraih gelas yang berisi minuman yang dipesannya. Menghabiskannya dalam sekali tegukan. James meringis, merasakan hentakan pada kerongkongannya saat cairan alkohol yang dipesannya mengalir ke dalam tenggorokannya. “Aku sedang tak berminat. Apakah ada hiburan yang lainnya?” tanya James, ia menatap dari balik bahunya ke arah kerumunan di salah satu sisi bar sampai seseorang datang menghampiri. “Hi, James. Kau ingat aku?” tanya seorang wanita dari arah samping. Wanita yang muncul secara tiba-tiba dan langsung merangkul bahu James, bergelayut manja. James menoleh, menatap wanita itu diantara kerlip-kerlip lampu bar sebelum menyingkirkan tangan wanita itu dari tubuhnya. “Kau, apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Wanita molek itu terkekeh. Ia meraih telapak tangan James, menyingkirkan gelas dalam genggaman James lalu mengguratkan ujung jari telunjuknya ke permukaan kulit dagu James. “Kau lupa siapa diriku?” tanya wanita itu dengan suara manja sambil mengelus-elus punggung tangan James dengan gerakan naik turun. “Aku tidak tahu siapa dirimu. Jadi menyingkirlah dari hadapanku.” James mengusir wanita itu dengan perkataannya. Wanita itu terhenyak, terkejut sebelum ia terkekeh. “Kita pernah menghabiskan malam bersama. Dan aku … aku masih ingat betapa mengairahkannya dirimu, James,” ucap wanita itu dengan telapak tangan yang sudah berpindah ke atas gundukan di balik celana yang dikenakan James Wallace. Mereka bertatapan sebelum James meraih telapak tangan wanita di hadapannya, menjauhkan dari tubuhnya. Dengan sedikit dorongan hingga punggung wanita itu menempel pada tepian meja bar. “Aku sudah katakan menyingkir dari hadapanku.” Perkataan yang diulang dan lebih tegas. Sorot mata James tajam menusuk. “Ada apa, James?” tanya Greg yang terkejut. Ia duduk tepat disampingnya. James dan wanita itu bertatapan tajam. Hidung wanita itu kembang kempis menahan amarah. “Aku muak dengan wanita ini,” sahut James sambil beranjak dan menyelipkan beberapa lembar uang di bawah gelas kosong sisa pesanannya. “Kau b******n!” maki wanita itu dan tak membuat James membalas, ia mengabaikannya bagai angin lalu hingga Greg bertanya dengan suara lantang ditengah dentuman musik. “Kau akan ke mana?!” James tersenyum miring, tak menjawab pertanyaan yang diajukan Greg untuknya. “James. James!!!” Suara panggilan yang diabaikan oleh James. Ia berjalan membelah keramaian bar, meninggalkan Greg dibelakang.   ***      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN