4. Rasyafano

1328 Kata
Pagi ini Feby sudah siap untuk menjemput ayahnya yang sudah diperbolehkan untuk pulang. Feby mengendarai mobil milik ayahnya menuju ke rumah sakit. Kebetulan hari ini hari sabtu, jadi Feby tidak ada jadwal untuk kuliah. Sesampainya di rumah sakit, Feby segera berjalan menuju ke ruang rawat ayahnya. Disana Feby melihat selang infus yang menempel di tangan pak Ferdi sudah dicabut. Tetapi mama Dian masih sibuk menata barang-barangnya. “Perlu Feby bantu ma?” Feby menawarkan diri. “Tidak usah, ini hampir selesai kok. Oh ya mama lupa. Mama minta tolong kamu urus administrasinya aja. Sekalian ambil obatnya.” “Baik ma.” Feby segera melaksanakan apa yang diminta oleh sang mama. Feby menuju ke ruang administrasi untuk mengurus kepulangan ayahnya. “Sus, saya mau mengurus administrasi kepulangan atas nama bapak Ferdi.” “Oh iya baik. Mohon tunggu sebentar.” Sambil menunggu Feby duduk di sebuah kursi panjang yang telah tersedia. Tiba-tiba ada seorang anak kecil yang berlari ke arahnya dan mendekapnya. Sehingga membuat Feby terkejut. “Hei… kamu kenapa?” tanya Feby. “Tolongin aku tante. Tolongin aku.” rengek anak kecil itu. “Ada apa? Apa yang terjadi? Dimana orang tua kamu? Kamu kesini sama siapa?” tanya Feby dengan nada lembut. “Sudah bilang aku tidak mau, tapi masih dipaksa terus.” “Siapa yang memaksa kamu? Beritahu tante, nanti biar tante marahin.” “Beneran tante?” “Iya. tante janji. Tapi beritahu tante dulu siapa namamu? Dan kamu kesini sama siapa?” “RASYAAAA!!!” teriak seseorang dan berjalan mendekat ke arah Feby. “Sudah dibilangin Rasya tidak mau. Rasya mau tungguin ayah dulu.” ucap anak itu sambil mengeratkan dekapannya pada Feby. Sehingga membuat Feby semakin bingung. “Maaf sebenarnya ini ada apa? Dan anda siapanya anak ini?” tanya Feby. “Oh iya maaf mbak. Saya Surti, pengasuhnya anak ini namanya Rasya. Sebenarnya sejak pagi Rasya belum makan apapun. Padahal ia sedang tidak enak badan dan harus minum obat. Sejak tadi sudah saya minta dia untuk makan walaupun cuma beberapa suapan. Tapi anak ini sama sekali tidak mau membuka mulutnya. Dia bilang dia hanya mau disuapin ayahnya. Akhirnya saya mengantarnya kesini, tapi ternyata ayahnya saat ini sedang malakukan operasi dan tidak tahu selesai kapan.” “Oh jadi begitu.” Akhirnya Feby mulai memahami situasinya dan melihat wajah Rasya yang memang terlihat pucat. “Benar nama kamu Rasya?” tanya Feby pada anak kecil yang mesih mendekapnya. Rasya menjawab dengan sebuah anggukan. “Jadi benar apa yang dikatakan bibi ini?” Rasya menganggukkan kepalanya lagi untuk membenarkannya. Setelah memahami situasinya, Feby pun meminta Rasya untuk melepaskan dekapannya dan meminta Rasya untuk duduk dipangkuannya. “Rasya dengarkan tante. Rasya harus makan yang banyak biar cepat sembuh. Rasya harus nurut apa kata bibi Surti.” “Nggak mau. Rasya maunya disuapin sama ayah. Rasya nggak mau sama bik Surti.” “Kalau begitu bagaimana kalau tante yang suapin?” “Nggak mau. Kenapa tante jadi ikutan maksa Rasya? Tadi tante kan janjinya mau marahin orang yang udah maksa Rasya.” “Hemmm… gini aja. Bagaimana kalau Rasya mau makan, nanti akan tante kasih hadiah.” “Hadiah apa?” “Rasya maunya apa? Mainan? Permen? Atau apa? Nanti akan tante belikan.” “Rasya nggak mau apa-apa. Rasya mau makan tapi harus dipangkuan tante seperti ini, sambil tante bernyanyi atau bercerita untuk Rasya.” “Rasya, jangan begitu. Tantenya pasti lagi sibuk, Ayo sama bik Surti aja.” “Nggak mau.” “Sudah tidak apa-apa bi. Saya masih ada waktu sebentar kok.” “Terima kasih mbak.” Bibi Surti mengeluarkan sebuah kotak bekal nasi dari tas dan memberikannya pada Feby. Feby pun mulai menyuapi Rasya sesuap demi sesuap sambil menyenandungkan sebuah lagu sesuai permintaan Rasya. Namun sebelum itu, Feby sudah mengirim pesan kepada ibunya, untuk menunggunya sebentar. “Udah tante. Rasya sudah kenyang.” “Tapi ini belum habis. Kurang sedikit lagi.” Rasya menggelengkan kepalanya. “Baiklah kalau begitu. Sekarang kita minum obatnya ya?” Rasya menganggukkan kepalanya. Feby menyuapi obat yang diberikan oleh bibi Surti kepada Rasya. “Anak baik, anak pinter, anak ganteng.” ucap Feby sambil mengusap-usap kepala Rasya. “Terima kasih banyak ya mbak.” ucap bibi Surti. “Sama-sama bi.” “Rasya udah yuk sini sama bik Surti. Tantenya mau pergi dulu.” “Nggak mau. Rasya mau sama tante…” Rasya menghentikan ucapannya sambil menatap Feby. “Feby.” sahut Feby yang mengerti dengan tatapan Rasya. “Rasya mau main sama tante Feby.” “Tapi Rasya, tante harus benar-benar pergi sekarang.” Rasya hanya diam dengan raut wajah sedih dan kecewa. “Kalau begitu sebelum tante pergi, Rasya mau tante nyanyi satu lagu lagi buat Rasya. Suara tante bagus banget. Rasya suka suara tante.” “Baiklah.” ucap Febi sambil tersenyum malu. Feby menuruti permintaan Rasya. Ia menyanyikan sebuah lagu untuk Rasya yang masih duduk di pangkuannya dengan kepala yang bersandar di pundak Feby. Belum sampai menyelesaikan satu buah lagu, bibi Surti memberitahu Feby, bahwa Rasya sudah tertidur. “Terima kasih banyak ya mbak. Maaf sudah merepotkan mbak Feby dan menyita waktunya.” “Sama-sama bi. Iya tidak apa-apa.” “Rasya ini memang begitu kalau sedang sakit. Susah makan, rewel, susah dibujuk. Dia hanya mau sama ayahnya. Dia selalu ingin diperhatikan dan dimanja oleh ayahnya. Tapi mau ayahnya terkadang tidak ada waktu untuknya.” “Memang ayahnya sakit apa bi? Kok sampai dioperasi.” Bibi Surti tersenyum mendengar pertanyaan Feby. “Ia tidak sakit apa-apa mbak. Dia melakukan operasi karena ia seorang dokter. Bukan sebagai pasien.” “Hehehe. Maaf bi.” “Tidak apa-apa mbak.” “Oh ya, kalau ayahnya sibuk, bagaimana dengan ibunya? Apa ibunya juga sibuk dan tidak mempunyai waktu untuk anaknya sendiri?” “Ibunya sudah tidak ada.” “Maksudnya bi?” “Ibunya sudah meninggal ketika melahirkan Rasyafano. Sejak bayi hingga kini berusia 5 tahun, sayalah yang merawatnya. Jadi saat melihat Rasya begitu dekat dengan mbak Feby, hati saya rasanya tersentuh sekaligus hancur. Saya rasa Rasya benar-benar menginginkan kasih sayang dari sosok seorang ibu. Karena itu sangat berbeda dengan rasa sayang yang telah saya berikan padanya.” Feby pun juga tersentuh mendengar cerita bibi Surti dan menatap iba wajah seorang anak yang berada dipangkuannya. “Kenapa ayahnya tidak menikah lagi? Bukankah lima tahun sudah cukup lama?” “Tiga tahun yang lalu, ayahnya Rasya pernah dekat dengan seorang wanita. Menurut bibi wanita itu cukup baik. Dia juga bisa menyayangi Rasya. Tapi sayang hubungan mereka kandas setelah beberapa bulan menjalin hubungan.” “Loh, kalau boleh tahu memangnya kenapa bi?” “Saat ayahnya Rasya hendak menjalin hubungan kejenjang yang lebih serius, wanita itu lebih memilih pergi demi karirnya dan bibi rasa orang tua dari si wanita ini juga tidak merestui hubungan mereka.” “Oalah begitu bi.” “Sejak saat itu, bibi belum pernah melihat ayahnya Rasya dekat dengan wanita manapun lagi. Meskipun ada beberapa wanita yang bibi rasa ingin mendekati ayahnya dengan cara bersikap begitu baik pada Rasya. Tapi ayahnya Rasya tidak pernah menghiraukannya. Apalagi kini beliau sangat sibuk dengan pekerjaannya.” Feby mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda ia memahami cerita yang telah disampaikan bibi Surti. “Oh ya maaf, mbak Feby boleh pindahkan Rasya pada saya. Keasyikan ngobrol sampai lupa.” “Tidak apa-apa bi.” Feby memindahkan Rasya ke pangkuan bibi Surti. “Sekali lagi terima kasih mbak dan maaf sudah merepotkan.” “Iya bi sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu ya? Saya harus mengurus sesuatu.” “Iya mbak. Hati-hati mbak. Semoga Tuhan membalas kebaikan mbak Feby.” Feby pun meninggalkan Rasya dan bibi Surti dan melanjutkan semua urusannya yang telah tertunda. Setelah selesai, Feby kembali menghampiri papa dan mamanya. “Kenapa lama sekali? Antrekah? Atau terjadi sesuatu?” tanya Mama Dian. Feby pun menceritakan apa yang sudah dilakukannya tadi sehingga membuat mama dan papanya menunggu. Akhirnya pak Ferdi pun bisa pulang ke rumah, dan bisa menghirup udara yang segar, bukan bau obat-obatan khas rumah sakit lagi. TBC *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN