PART 6

1103 Kata
Aku melangkah gontai masuk ke dalam rumah yang sudah ku huni beberapa tahun belakangan. Banyak kenangan manis disini, namun semenjak permintaan sang Kakek, semuanya menjadi serba salah. Hubunganku dengan Mas Galang bahkan sempat merenggang, bukan Mas Galang yang menghindar melainkan aku sendiri yang menjaga jarak. Aku juga mengingat dengan jelaa bagaimana reaksi Bunda pertama kali saat Mas Galang bersujud memohon ampun karena telah mengecewakan Bunda untuk menikah lagi. Dengan kata lain, Mas Galang tidak dapat membahagiakanku. Bunda menangis sementara Mas Galang terus memohon ampun kepada Bunda. Namun, setelah mendengar semua cerita dari Mama dan juga Papa. Dan dengan bantuanku pula, Bunda akhirnya menerima. Tahu, bahwa semua yang dikatakan Aditama benar adanya. Mereka harus memiliki penerus. Bunda bahkan sering memberikan nasihat selama seminggu aku kabur ke rumah beliau. Mengatakan bahwa aku memang harus mengizinkan sang suami menikah lagi daripada berbuat zina dengan memiliki anak tanpa status yang jelas. Ini semua memang sudah ditakdirkan dan Bunda tak lupa mengatakan bahwa surga seorang wanita yang telah menikah jelas pindah kepada sang suami. "Kodrat seorang wanita itu berat, Ra. Melahirkan, mematuhi suami bahkan jika dia meminta untuk menikah lagi." Aku tahu Bunda sedang menahan tangis. Namun, wanita tegar ini sedang berusaha terlihat kuat. "Jadi, kamu harus sabar ya, dan tetap tabah karena ini semua cobaan untuk kamu." "Bunda, gimana kalau Dara cerai aj-" "Adara! Astagfirullah, nak..." Bunda langsung histeris. "Itu perbuatan yang sangat dibenci Allah! Bunda nggak mau di akhirat di minta pertanggungjawaban atas kelakuan kamu!" Aku menunduk. Aku tahu jelas itu salah, bahkan sangat dosa. Tapi, apalah daya jika manusia biasa sepertiku sama sekali tak sanggup menahan semua rasa sakit ini. Namun, ucapan Bunda selanjutnya justru membuatku semakin merasa bersalah. "Ingat Ayah kamu yang udah tenang disana, Ra! Jangan menambah bebannya yang sudah selesai di dunia!" Dan kala itu, aku memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa atas segala ucapanku. Aku tidak pernah lagi mengatakan hal terlarang itu di hadapan Bunda. Menghempaskan diri di atas sofa. Meletak asal tas yang ku gunakan ketika ke pasca sarjana tadi. Aku menyandarkan kepalaku pada sofa dan memijit pangkal hidungku. Nasihat Bunda dan Kiki cukup membantu agar aku tidak terlalu terbawa suasana, namun jika aku kembali melihat wanita itu, pasti aku akan kembali merasa sakit. Aku mengabaikan ponsel yang bergetar beranjak menuju dapur. Mengambil buavita leci dari dalam kulkas lalu menuangkannya ke dalam gelas. Meminumnya hingga tersisa setengah. Sepi... Biasanya juga seperti ini. Mengingat sekarang adalah jam kerja Mas Galang. Dia akan pulang jam 3 sore setelah selesai mengajar. Aku tidak tahu dia pulang ke mana, entah ke rumah isteri barunya atau kemari. Aku tidak peduli! Atau aku lelah untuk peduli? Mengambil bahan seadanya di dalam kulkas dan mencoba membuat udang goreng tepung sederhana untuk makan siangku. Cukup memakan waktu sebelum aku menanak nasi dan membuat sayur rebus dengan sambal terasi. Menyiapkan saus untuk udang yang telah ku hidangkan. Setelah semuanya siap, aku mengambil piring. Memakan makananku dengan lahap. Tak biasanya aku sesedih ini makan sendirian. Maka itu, aku lebih menyukai rumah Bunda daripada rumah ini. Air mataku menetes satu persatu. Tetap berusaha menelan makanan agar tidak mubazir atau malaikat akan marah. Itu kata guru ngajiku dulu. Tersenyum miris. Sebelum suara itu menyadarkanku dan membuatku langsung menghapus air mata dengan cepat. "Mana ponselmu?" "Mas, pulang?" Tanyaku harap tanpa menjawab pertanyaannya. "Ponsel kamu dimana? Kenapa Mas telfon nggak kamu angkat?! Perlu Mas buang hp kamu!" Mendengar bentakan Mas Galang, aku menunduk. Mataku kembali berkaca-kaca hingga akhirnya air mata itu kembali meluncur. Ternyata masih sakit ya? Menghapus cepat sebelum kembali menatap Mas Galang yang kini berdiri menatapku dengan pandangan yang tak dapat ku artikan. Sifat Mas Galang berubah banyak sejak Prasetya senior itu menyuruh cucunya untuk menikah kembali. Mas Galang menjadi lebih tertutup, dingin, dan tak dapat ditebak. "Maaf, Mas. Aku masak tadi." Kulihat Mas Galang menghembuskan napas kasar seolah untuk meredakan emosinya. "Ganti baju kamu yang lebih sopan." Aku menaikkan alisku. "Kemana Mas?" "Kamu lupa kalau hari ini kita ngelayat Ayah? Bunda sama Mama udah nunggu kamu dari tadi!" Sedetik, Tiga detik, Lima detik, Astaghfirullah... Kenapa aku bisa lupa? Padahal, ini genap tahun keempat Ayah meninggal dunia. "Se-sebentar, Mas." Aku langsung berlari ke kamar untuk mengganti baju panjang. Tidak lagi berias dan membiarkan wajah sembabku begitu saja. Mengambil ponsel serta tas lalu mengikuti langkah Mas Galang yang keluar. "Aku bawa mobil sendiri aja, Mas. Jadi, Mas nggak perlu repot-repot antar aku pulang." Aku benar-benar tidak ingin dia kewalahan mengantarku dan kembali lagi ke rumah Shait- Shaira. Benar 'kan? Sepertinya salah, kala kulihat tatapan Mas Galang menajam. Rahangnya mengatup rapat seakan menahan amarah. "Naik, Ra!" Desisnya membuat nyaliku langsung menciut. Menuruti keinginannya karena aku memang sedang lelah berdebat. Tak ada yang membuka suara saat dalam perjalanan ke makam Ayah. Akupun tak berniat memulai karena memang keadaan tidak mendukung seperti dulu, dimana kami akan saling berbagi cerita di setiap ada kesempatan. Dan kini, semuanya seolah terbatas tembok tinggi antara kami berdua. "Mas akan menyelesaikan urusan dengan Shaira secepatnya." Kulihat urat tangannya yang menonjol saat ia menggenggam erat stir mobil. "Setelah dia melahirkan, Mas akan meninggalkannya." Dan kata-kata itu justru menghantam benakku. Rasa tidak percaya sekaligus tidak rela saat Mas Galang mengucapkannya seolah Shaira hanya tempat produksi anak. Aku merasa tidak suka dengan hal ini. Aneh... "Jangan..." Aku menggeleng pelan. Menatap kedua jemariku yang memilin gugup. "Jangan tinggalin Shaira, Mas. Dia sudah berkorban banyak dan bagaimanapun juga, anak itu akan membutuhkan sosok Ibu kandungnya." "Kamu bisa menjadi Ibu kandungnya, Ra." Aku menggeleng. "Nggak bisa. Aku nggak bisa dan nggak akan pernah bisa." Walau nyatanya aku sangat menginginkan hal tersebut. "Kamu pasti bisa! Mas yakin." Sekali lagi, aku merasa dadaku sesak. Kenapa harus serumit ini, Tuhan? "Shaira bahkan mengorbankan nyawa untuk melahirkan, Mas. Apa Mas tega memisahkan mereka?" Tanyaku berkaca-kaca. Menatapnya nanar, kecewa, sedih. Entahlah. "Yang seharusnya Mas tinggalin itu aku bukan dia karena disini aku yang caca-" Dan seketika aku menyesali perkataanku kala Mas Galang menghentikan mobilnya tiba-tiba di pinggir jalan. Menatapku dengan tatapan membunuh. Mencengkram kedua bahuku erat, membuatku meringis dan merasa sakit. Aku yakin ini akan memar nantinya. "Katakan sekali lagi, Ra dan aku pastikan akan memperlakukan Shaira seperti jalang!" Ancamnya tidak tanggung-tanggung. "Katakan sekali lagi seperti itu dan aku hanya akan menjadikannya tempat produksi anak seperti yang diinginkan oleh si tua bangka itu! Katakan sekali lagi dan aku akan membuat dia menyesal karena sudah menyetujui pernikahan ini! Katakan!!" Teriaknya membuat nyaliku kian kecut. Bahkan, aku tak berani lagi menatapnya. Entah sejak kapan, air mataku terus meluncur deras. "M-mas..." "Katakan, Adara! Dan aku bersumpah akan melakukan seperti yang kamu mau, kita berpisah setelah itu aku akan membunuh diriku sendiri!" Terlihat luka di mata Mas Galang. "Karena aku lebih baik mati daripada berpisah denganmu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN