Casilda mengantar Arkan sampai di puncak tangga dan melambaikan tangan dengan senyum lebar yang dipaksakan.
Pembicaraan mengenai pernikahan Arkan dan Lisa sangat jelas dihindari dengan sengaja. Casilda tahu kalau dia tidak pantas membahas hal itu sebagai orang ketiga, tapi dia harus tahu bagaimana perkembangan hubungan mereka bertiga di masa depan.
Jika benar Arkan tidak akan pernah mau menceraikannya, maka itu adalah masalah besar bagi Casilda. Bukan hanya akan menjadi bahan ejekan untuk seumur hidupnya dan menanggung beban moral sebagai wanita yang juga pernah dikhianati, tapi juga akan menjadi bom waktu yang akan menghancurkan semua orang.
Belum genap 5 menit mobil yang menjemput Arkan pergi dari halaman mansion, Arkan tiba-tiba mengirimkan pesan kepada Casilda.
Arkan: Ingat, ya! Kamu jangan melakukan hal yang membuatku kesal saat aku tinggal sebentar di sana! Jangan lupa menonton film yang aku katakan tadi!
Casilda: Cerewet. Aku tahu! Tidak usah mengingatkanku seperti alarm menyebalkan seperti itu!
Arkan: Awas kalau kamu bohong! Aku akan merantaimu 3 hari 3 malam tanpa menggunakan pakaian! (stiker pura-pura marah di sini) Aku mencintaimu, istriku sayang! Muach! (stiker love berdebar ada banyak sekali di akhir kalimat ini)
Ratu Casilda Wijaya seketika memuram kelam dan merinding ngeri melihat pesan terakhir Arkan.
“Dia ini sebenarnya suami yang romantis atau mengerikan, sih?” celutuk Casilda kelam, menatap suram layar ponselnya yang menampilkan ada banyak sekali stiker love untuknya.
Detik berikutnya, Casilda tersenyum geli cekikikan sendirian dengan tingkah aneh sang suami. Bagaimanapun, saat ini mereka bisa dibilang cukup akur. Sulit dipercaya mereka bisa berada di tahap damai seperti sekarang setelah semua drama yang cukup menegangkan di antara mereka berdua.
“Hmm... sebaiknya aku menonton yang mana dulu, ya?” gumam Casilda kepada diri sendiri, menghempaskan tubuhnya duduk di atas sofa sembari melihat-lihat deretan film yang dibintangi oleh Arkan.
Selama dia mencari informasi mengenai suaminya beberapa saat lalu, Casilda tidak begitu memerhatikan apa saja yang selama ini dikerjakan oleh suami galaknya itu. Dia hanya mencari latar belakang dan pengaruhnya sebagai seorang superstar yang diidolakan oleh banyak orang.
Rata-rata film yang dibintangi oleh Arkan adalah film bergenre aksi. Kalaupun ada genre romance, lebih banyak untuk web series atau drama pendek di TV. Hal itu baru diketahui dengan baik oleh Casilda melalui pencarian yang dilakukannya sekarang.
“Oh... jadi... dia tipe pria yang menghindari genre romance, ya? Sedikit sekali aktingnya sebagai pria bucin? Rata-rata semuanya pria yang dingin dan kejam. Cocok sekali dengan kepribadian hariannya. Pfft. Tidak heran dia sangat disukai oleh para penonton, mungkin penghayatan karakternya yang sangat nyata dan hidup itu terbantu dari kehidupan sehari-harinya selama ini. Itu bakat atau kutukan, sih?” komentar Casilda seraya tertawa mengejek usai membaca ulasan artikel mengenai film dan drama yang dibintangi oleh Arkan.
Casilda sibuk memilih film yang ingin dinontonnya, dan akhirnya jatuh pada film asing di mana Arkan debut pertama kali di luar negeri sebagai seorang samurai kesepian.
“Wuah.... banyak juga, ya, film luar negerinya? Aku benar-benar tidak menyangka dia ternyata superstar internasional sungguhan,” pujinya takjub seraya membuka tempat kaset DVD tadi, lalu mulai memutarnya dan meraih buku catatan kecil dari dalam laci meja di depannya.
Bagi aktor sekelas Arkan yang sudah membintangi banyak film berbahasa asing dan populer di negeri orang, itu jelas adalah prestasi yang tidak bisa dianggap remeh. Di negeri mereka sendiri, orang-orang yang bisa tembus berkarir ke ranah internasional bisa dihitung jumlahnya. Itu pun tidak semuanya bisa bertahan lama seperti Arkan.
Detik Casilda membaca ulang mengenai karir dan prestasi suaminya sekali lagi, dia baru sadar betapa besar jurang perbedaan kelas di antara mereka berdua.
“Ya, ampun diriku... kenapa kamu mudah sekali rendah diri seperti ini? Memangnya kenapa kalau dia itu adalah seorang aktor besar? Bukan kamu, kan, yang memintanya menikah duluan?” omelnya kepada diri sendiri, mengetuk sebelah kepalanya agar tersadar dari sikap bodohnya yang sudah mulai bermuram durja.
Casilda menghela napas berat, cemberut muram.
Benar, kan? Meski Arkan sangat kejam dan menyebalkan, tapi Casilda tidak bisa mengelak kalau dia memang pria yang hebat. Di mana bagian dirinya dan pria itu cocok sebagai pasangan?
Tampilan di layar mulai memperlihatkan sebuah adegan pembuka dengan menampilkan sebuah istana Jepang kuno yang terbakar, dan perlahan tapi pasti sosok Arkan dalam balutan ala samurai berambut panjang dan wajah tampannya muncul dengan pose yang memukau. Sangat keren dan maskulin penuh aura dingin mematikan.
Casilda merendahkan bulu matanya lembut, memeluk tempat kaset DVD tadi dengan perasaan kosong dan tertinggal. Ingatan mengenai wawancara Arkan dan Lisa di layar billboard tiba-tiba saja mengalir memenuhi benaknya.
Bukankah pria seperti itu sudah sepantasnya bersanding dengan wanita seperti Lisa?
Keduanya sama-sama dari dunia yang sama, juga dari keluarga kaya yang sulit Casilda pahami. Walaupun dia sendiri mantan orang kaya, tetap saja level mereka berbeda.
Casilda berpikir jika menonton film Arkan mungkin saja akan ada hal menarik yang membuatnya senang dan merasa lucu, tapi dia malah merasa tertekan entah kenapa.
“Aku tidak mau menonton film ini...” gerutunya sedih, menatap muram tidak bersemangat deretan kaset di atas karpet bulu.
Semakin dia menyadari Arkan adalah pria luar biasa, semakin hatinya menciut sedih dan tidak percaya diri. Ini sungguh buruk dan menyesakkan.
“Ah! Kenapa aku kesal sekali seperti ini, sih?!” keluh Casilda jengkel, terisak kecil seraya menghapus setetes air mata yang jatuh dari sudut matanya.
***
Beberapa jam kemudian, saat sore hari mulai menunjukkan pesonanya, Casilda yang tertidur selama menonton film kedua Arkan, akhirnya terbangun oleh bunyi ponsel di sebelahnya.
“Ya? Halo?” ucap Casilda dengan nada mengantuk, mengusap sebelah matanya dengan perasaan berat. Lehernya sedikit kaku gara-gara salah posisi. Duduk melantai sambil bersandar di sofa bukanlah ide baik untuknya.
“Baru bangun?” tanya suara galak di telepon.
“Oh, sudah sampai di Bandung, ya? Di sana hujan, tidak?” balasnya basa-basi, karena beberapa menit lalu hujan baru saja reda.
“Tidak. Di sini sangat cerah. Bagaimana dengan tugas yang aku berikan tadi? Kamu pasti ketiduran sejak awal, ya? Apakah filmku sebegitu membosankan?” gerutunya kesal entah kenapa.
Sudut bibir Casilda berkedut jengkel. “Kapan aku bilang begitu? Badanku cuma sedang sakit semua. Kamu pikir karena siapa aku jadi tersiksa seperti baru saja keluar dari mesin cuci raksasa?”
“Kamu menuduhku?!” serunya marah, sangat dingin dan tajam.
Casilda cemberut. Memaki dalam hati mengenai sifat temperamentalnya yang mirip kembang api tidak jelas itu. Haruskah dia berteriak penuh tenaga di telepon?
Teringat dengan pesan penuh cinta dan terkesan sangat bucin darinya beberapa saat lalu, membuat Casilda merasa semuanya hanyalah mimpi belaka! Pria kejam itu benar-benar tidak bisa ditebak!
“Baiklah. Aku minta maaf. Puas? Tapi, secara logika bukankah itu ada benarnya juga? Kamu menyiksaku sangat keterlaluan akhir-akhir ini. Kalau aku melapor ke dokter Ken, dia pasti setuju denganku.”
“KAMU! Awas kalau kamu berani menghubunginya!” omel Arkan marah, sudah seperti akan melompat keluar dari layar ponsel Casilda.
“Memangnya kenapa? Aku merasa perlu melakukan konsultasi kepadanya demi kebaikanku, kan?”
“Casilda!”
Sekalipun belum begitu kenal dengan dokter Ken, Casilda sudah berbicara dengannya melalui video call 2 hari lalu. Dokter itu memberikan peringatan tegas kepada Arkan, dan jelas-jelas mendukung Casilda dalam berbagai bentuk.
“Jangan marah-marah lagi. Mungkin juga karena tamu bulananku sudah mau tiba. Harusnya hari ini sudah datang, sih. Sepertinya aku perlu benar-benar mengecek kondisi tubuhku mulai sekarang.”
“Hah? Tamu bulanan?” ulang Arkan dengan suara bodoh dan linglung.
Wajah Casilda memerah, memejamkan mata menahan perasaan kesal mengetahui suaminya sungguh tidak peka!
“Ehem! Ma-maksudku masa haidku seharusnya sudah mau datang. Beberapa bulan belakangan ini sedikit tidak teratur, mungkin saja salah satu penyebabnya aku sakit badan sekarang gara-gara itu.”
“Oh, itu maksudmu. Kenapa tidak mengatakannya dengan jelas? Aku setuju kamu memeriksakan tubuhmu ke rumah sakit. Kalau kamu haid dalam waktu dekat, itu adalah kabar bagus untuk kita berdua. Artinya kamu tidak hamil, bukan? Baguslah. Aku juga tidak suka jika kamu hamil tanpa persetujuan dariku. Lain kali, kita harus lebih berhati-hati lagi jika sedang melakukannya. Aku akan mempertimbangkan untuk menggunakan pengaman, dan kamu juga harus rajin minum obat pencegah kehamilan mulai sekarang, meskipun aku belum tentu melakukannya sampai akhir denganmu. Mengerti?”
Casilda terdiam mendengar kalimat tegas dan dinginnya yang acuh tak acuh. Seolah-olah apa yang dikatakannya barusan adalah sebuah perintah dan kewajiban.
Apa itu artinya dia tidak mau memiliki anak bersamanya? Bukankah itu sudah jelas? Kenapa Casilda sangat bodoh berharap yang terlalu tinggi?
Meskipun Casilda belum pernah berpikir sejauh itu, tapi ketika mereka membahasnya sekarang, hatinya terasa seperti ditusuk duri mendengar nada lega dan tirani dari suara dingin Arkan.
Di awal pernikahan, pria itu memang tidak pernah membahas untuk memiliki anak. Di matanya hanya ada api untuk balas dendam, dan dia menyentuhnya selama ini semata-mata hanya dijadikan sebagai alat pelampiasan kebutuhan biologisnya agar Lisa tidak rusak oleh sikap sembarangannya itu.
Di sisi lain, kening Arkan mengerut dalam mendapati Casilda tiba-tiba terdiam.
“Halo? Kamu masih di sana? Casilda, kamu berani menutup panggilanku?!” koar Arkan jengkel, menatap bingung sekilas layar ponselnya.
“Aku tutup teleponnya dulu. Perutku sepertinya mulai tidak enak sekali. Aku akan mengopresnya dulu. Nanti kita bicara lagi, oke? Dadah!” ujar Casilda cepat dan terkesan terburu-buru.
“Halo? Halo?! Casilda? Kamu sakit perut bagaimana? Halo?!” seru Arkan tidak sabaran, segera menghubungi sang istri kembali. “Sialan! Kenapa dia malah menutup teleponnya tiba-tiba begitu? Bikin orang cemas saja!”
Sayangnya, meskipun Arkan sudah mencoba menghubunginya beberapa kali, Casilda tidak mau mengangkat panggilannya, dan baru setelah panggilan kelima, dia mengirim pesan pendek untuk menenangkan sang aktor.
Casilda: Aku sedang tidak bisa bicara. Perutku benar-benar tidak nyaman. Nanti aku akan meneleponmu balik. Jangan marah, ya?
Wajah Arkan memuram kelam melihat pesan tersebut. Dia mendecakkan lidah menahan amarah di hatinya. Jika tahu Casilda akan sakit perut, seharusnya dia membatalkan pemotretan hari ini, atau lebih baik lagi membawanya ikut bersamanya.
“Berengsek! Apa dia baik-baik saja sendirian di kamar seperti itu?” gerutunya berbisik kecil, keringat gelisah memikirkan Casilda yang suka sekali jatuh sakit mirip sebuah hobi atau bakat untuknya.
“Kak Arkan! Semuanya sudah hampir siap! Ayo makan dulu, baru setelah itu kita ke tempat pemotretan di lantai bawah,” ujar Garvin cepat, masuk dari pintu kamar hotel bersama seorang pelayan yang sedang mendorong troli makanan. Mata pria muda ini menatap pria tampan yang tengah berdiri tegak di depan jendela kaca tinggi.
“Beritahu semua kru untuk mempercepat semuanya. Aku tidak bisa berlama-lama di sini.”
“Hah? Kenapa begitu? Bukankah kita baru saja tiba?”
“Jangan banyak protes. Lakukan saja apa yang aku perintahkan. Sebisa mungkin semuanya sudah selesai besok sore dan kita segera kembali ke Jakarta.”
“Ta-tapi...”
Garvin tergagap linglung, menatap pria tampan berkemeja hitam itu berlalu dari hadapannya, sepertinya sedang melakukan panggilan baru di ponselnya.
“Halo? Ken? Ini aku. Kamu sudah membaca pesan dariku?” tanya Arkan dengan nada serius.
“Sebentar. Aku baru saja datang dari memeriksa pasien. Ada apa? Casilda sakit lagi? Apa yang kamu lakukan kepadanya, hah?” keluh dokter Ken di seberang sana, duduk di kursinya seraya melihat sekilas pesan notifikasi di layar pop up ponselnya.
Arkan gelisah tidak nyaman, berkata dengan raut wajah semakin cemas. “Casilda sakit perut. Masa haidnya sepertinya sedang bermasalah beberapa bulan belakangan ini. Coba kamu bawa dia ke dokter ginekologi terpercaya pilihanmu.”
“Hah? Siklus haidnya bermasalah? Apa karena itu dia belum hamil juga?”
“Hamil? Dia tidak boleh hamil! Sekalian kamu beri dia obat pencegah kehamilan yang paling mempan untuknya. Kamu pikir aku segila itu akan membiarkannya hamil? Aku tidak sudi! Jangan mimpi!” desis Arkan dengan wajah penuh penolakan.
Mendengar itu, dokter Ken tertegun kaget dalam diam.
Arkan tidak ingin Casilda hamil? Tidakkah itu sangat kejam? Lantas, untuk apa mereka menikah? Ken benar-benar tidak bisa memahami tingkah laku Arkan yang di luar nalar!
Garvin yang mulai sibuk mengunyah makanannya, menatap pucat sosok di seberang ruangan. Arkan berbicara dalam bisik-bisik yang sangat serius dan tampak sangat marah kepada seseorang. Hal apa yang kira-kira membuatnya semarah itu, ya?
“Aktor aneh. Benar-benar menyusahkan,” gumam Garvin dengan mulut penuh, mata mendatar malas melihat tingkah tidak masuk akal sang aktor.
Di saat Arkan dan dokter Ken berdebat soal anak dan perlakuan kejamnya kepada Casilda, wanita yang sedang menjadi topik pembicaraan itu malah sedang bergelung di atas kasur, mencoba tidur dan melupakan perkataan jahat Arkan di telepon.
Kalau Arkan serius tidak mau menceraikannya, apakah itu artinya Casilda tidak akan pernah bisa memiliki anak? Apakah dia hanya ingin memiliki anak dari Lisa?
“Aku benci. Aku benci pria itu...” gumam Casilda lemah dengan mata terpejam erat, terisak kecil menahan rasa sakit dan perih menyengat hatinya.