Suara tepuk tangan dan sorak sorai memenuhi lapangan basket setelah Yoga berhasil mengalahkan Zacky dalam pertandingan one on one basket.
Zacky tidak menduga kehebatan Yoga dalam basket, ia tidak menyangka dirinya yang selama ini tidak terkalahkan berhasil dikalahkan dengan cowok yang menurutnya tidak cocok menjadi ‘pacar’ Yuri. Baru sekali ini ia merasa harga dirinya jatuh di depan ratusan siswa yang menonton mereka, bahkan ia melihat kekecewaan dari mata para cewek yang biasanya memberi pujian kini beralih memuji Yoga. Termasuk Yuri.
Melihat Yuri yang tersenyum lebar dan memberikan tisu pada Yoga, membuatnya geram. Ia benci melihat adegan itu.
"Sudahlah, enggak usah lo pikirin. Sekali-kali jagoan kalah, Bro," ucap salah satu kawan Zacky, memberi semangat dan menepuk bahunya, tapi Zacky menepis.
Kedua kaki Zacky melangkah cepat dengan raut kesal ke arah Yoga yang dikelilingi cewek-cewek yang bersorak kagum meski mendengar kawan-kawannya berteriak memanggil namanya karena khawatir dirinya menghajar Yoga.
Zacky terus melangkah, mengabaikan panggilan mereka. Tiba di sana ia menarik tangan salah satu cewek. “Ikut aku.” Membawanya menjauh dari kerumunan cewek-cewek yang sibuk melontarkan pujian.
“Lepasin aku, Mister.”
Ternyata tujuan Zacky tak lain adalah Yuri yang kini meronta dan berusaha menahan langkah, tapi tak bisa. Zacky terus membawanya menuju tangga yang berada di ujung koridor gedung bangunan kelas mereka yang tepat berada beberapa meter di depan lapangan bola basket. Sementara itu di belakang mereka, Yoga berusaha mengejar, tapi ditahan oleh cewek-cewek dari kelas lain.
Sekali lagi Yuri mencoba melepaskan tangan dari eratnya genggaman Zacky. “Apa kamu enggak bisa lepasin aku?”
Tidak ada sahutan.
Zacky terus menaiki tangga yang kali ini menuju lantai tiga.
“Zacky?!”
Langkah kaki Zacky terhenti, menoleh ke belakang melihat Yuri yang berada dua undakan tangga di bawahnya sambil mengernyit. “Kenapa? Kamu senang Yoga bisa ngalahin aku, terus kalian mau ngerayain kemenangan dia?” Mengatakannya dengan nada ketus dan kesal. Terlebih lagi teringat dengan adegan gelak tawa mereka, membuatnya semakin geram. “Atau kamu sudah terpesona sama si Yoga? Mau pamer tentang hubungan palsu kalian itu?” tuduhnya lagi, napasnya naik turun melihat tatapan Yuri yang menatapnya tajam.
“Semua ini kamu yang mulai ‘kan?” Yuri tak mau kalah, mengingatkan asal muasal taruhan itu dimulai yang memang berawal dari tantangan Zacky sendiri. “Terus apa salahnya kalau aku senang lihat dia ngalahin kamu? Bukankah kamu pernah kalahin dia? Itu berarti kalian seimbang. Lalu kenapa kamu ikutan kesal ke aku?”
“Karena kamu taruhannya.” Zacky menjawab cepat. Ia benci terpaksa menjelaskan hal yang membuatnya kesal. “Aku…,”
Sebelah alis Yuri terangkat. “Jadi kamu enggak rela Yoga dekatin aku?”
“Ya.” Kaki Zacky turun dua undakan dan mereka berdiri beriringan. Genggamannya semakin erat begitu juga dengan tatapannya yang mengartikan berbagai makna. Sedih, marah dan cemburu menjadi satu. Ia mendekatkan wajahnya, sementara Yuri memundurkan wajahnya melihat bibirnya yang terlalu dekat. “Aku enggak rela karena kamu milik aku, Yuri. Selama aku masih di sini, kamu milik aku. Dan, Yoga…,"
"Berhak buat dekatin dia karena gue yang menang taruhan."
Yoga tiba dan berdiri di beberapa undakan tangga di bawah mereka. Ia berhasil membuat mereka berdua menoleh ke arahnya dan terkejut. Terutama Zacky.
Kehadiran Yoga, memicu Zacky menaikan sebelah sudut bibirnya. Kilau matanya memperlihatkan kekesalan. Terlebih lagi Yoga sudah menyela ucapannya, hal yang tidak ia sukai. "Jadi lo ke sini buat dekatin Yuri?"
"Enggak juga." Yoga tidak mengelak ataupun mengiyakan, tapi yang membuatnya tertarik sekarang tatapannya tertuju pada genggaman tangan Zacky. "Gue cuma nagih janji lo yang enggak akan menghalangi gue deketin Yuri dan lo...," Kedua matanya membulat dan terlihat penuh ancaman. "Berhenti ganggu dia dalam waktu sebulan."
Tawa Zacky pecah, meski Yuri meronta untuk bisa terlepas darinya, tapi yang terjadi Zacky semakin mengeratkan genggamannya. "Itu berlaku mulai minggu depan, Bro. Selama lima hari ini, dia masih milik gue." Ia membela diri, berkata sesuai kesepakatan.
"Apa?!" Yuri melirik Zacky, dahinya berkerut. "Kok lima hari sih?" Tampaknya tidak puas mendengar ucapan Zacky dan tidak setuju, mengingat Zacky selalu bertindak sesuka hati dan arogan, seakan dirinya benar-benar sudah dijadikan boneka.
Sekali lagi Zacky menyeringai. Ia yakin Yuri sadar dengan posisinya sekarang. "Jangan lupain hari minggu, kamu harus nunggu aku di…,"
"Ok, ok." Yuri tak ingin mendengar sambungan kalimat Zacky. Janjian bertemu di sebuah toko buku. Terdengar lucu untuk seorang Zacky, pentolan sekolah mengajaknya bertemu di toko buku. Bukankah pergi ke Mall atau taman hiburan lebih baik? Atau dia mau memberi buku sastra yang recomended untuk Yuri baca? Tapi itulah tempat yang sudah Yuri sepakati, meski terpaksa.
Mengingat hal itu memaksa Yuri mengembuskan napas cepat dan tak sabar terbebas dari suasana yang hanya membuatnya tak nyaman. “Aku akan datang. Sekarang jelasin ke aku, kamu mau bawa aku kemana?” Meminta jawaban pasti.
Bibir Zacky melengkung ke atas. “Selama beberapa hari ini, kamu harus menurut, Yuri. Kemanapun aku bawa, kamu harus ikut.” Untuk kesekian kalinya Zacky menegaskan kearoganannya terhadap Yuri, dan kali ini dilakukan di depan Yoga.
Kedua mata Yuri berputar cepat. “Oh Tuhan, sepertinya aku harus pindah sekolah.” Gumamnya terdengar jelas oleh mereka. Melirik Zacky yang tersenyum puas.
“Gue enggak setuju.” Yoga menanggapi ucapan Zacky. Kali ini ia angkat bicara lagi. “Dia pacar gue. Gue lebih berhak melarang Yuri dekat sama cowok lain apa lagi deketin lo.” Dagunya semakin terangkat, melihat tatapan Zacky selayaknya api obor yang siap menjilat dan membakar barang yang ada di dekatnya.
Seringai Zacky mengembang seiring kakinya menuruni tangga untuk bisa sejajar dengan Yoga. “Jadi lo nantangin gue lagi?” Memastikan arti tatapan Yoga. “Menurut lo, gue percaya kalian pacaran?”
“Stop!” Yuri menuruni tangga, meraih tangan Zacky dan memaksanya menatap matanya lekat. “Aku akan turutin apa kata kamu, tapi please … jangan libatin Yoga lagi dalam hubungan kita. Gimana? Deal?”
Dahi Zacky berkerut, bibirnya tersenyum kecut dan merasa aneh. “Libatin dia?” Lalu tertawa. Mengalihkan pandangannya menuju Yoga dan telunjuknya mengarah ke d**a cowok yang menyandang gelar paling tampan di kelas 1. “Dengar, Yuri. Aku enggak pernah melibatin dia dalam hubungan kita, tapi dia yang melibatin dirinya sendiri. Ngaku-ngaku jadi pacar kamu. Memangnya kamu kira, aku percaya kalian pacaran? No!” Melihat respon Yuri dan Yoga yang saling terdiam. Ia yakin mereka sedang memikirkan cara untuk menguatkan kebohongan yang sudah mereka buat. Sangat yakin.
Secara perlahan Yuri melepas cengkraman tangannya yang melingkar di pergelangan tangan Zacky. Ia mengembus napas pelan dan menatap mereka bergantian. “Apa kamu sama sekali enggak percaya kalau aku benar-benar pacar dia?”
“No!” sahut Zacky cepat. “Aku butuh bukti.”
“Baiklah.” Yuri menuruni dua undakan lagi agar sejajar dengan Yoga sedangkan Zacky terpaksa menaiki satu undakan mengetahui setiap anak tangga hanya cukup untuk dua orang yang berdiri sejajar.
Kepala Yuri menengadah melihat wajah Yoga yang tubuhnya jauh melebihi dari tingginya. Ia berharap Yoga memahami bahasa tubuhnya, meski tangannya terkepal dan tidak sanggup untuk melakukan tantangan Zacky, karena ini adalah yang pertama.
Yoga memahami bahasa tubuh Yuri, tapi ia ragu melakukannya setelah melihat kepalan tangan Yuri yang terlihat tidak nyaman. Namun, ia terpaksa harus melakukannya. Untuk memperkuat sandiwara mereka. Ia maju selangkah mendekati Yuri, memiringkan wajahnya lalu bersiap...
Yoga terlambat!
Sebelah tangan Zacky lebih dulu menarik lengan Yuri, memaksanya berbalik, mendekatkan wajahnya dan menekan kuat-kuat bibir Yuri dengan bibirnya. Ia melakukannya dengan baik, pelan dan lembut.
Ini apa?
Kedua mata Yuri terpejam merasakan bibirnya hangat, sesuatu yang lembut menarik bibir bawahnya dan aroma rokok menyeruak tajam. Jantungnya berdetak kencang, sama seperti dengan desir darahnya yang membuat tubuhnya hangat.
Bagaikan terhipnotis, ia hanya terdiam menikmati sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, di detik berikutnya angin membilas dingin bibirnya. Matanya terbuka pelan melihat senyum Zacky melebar seakan sudah memenangkan sayembara.
“Ini baru namanya pacaran,” kata Zacky yang segera menuruni tangga lalu tangannya menepuk bahu Yoga. “Sorry, gue duluan.” Kemudian ia berlari menuruni tangga meninggalkan Yuri yang tak lama berteriak.
“Zacky!!”
❤️❤️❤️
Suara dering bel menggema di seluruh ruangan kelas yang disambut sorak sorai bahagia siswa yang menandakan jam pelajaran hari ini sudah usai. Satu-persatu siswa keluar meninggalkan kelas, tapi Yuri dan Yoga masih berada di dalam.
“Kamu baik-baik aja?” Yoga berdiri di samping meja Yuri, menyandangkan ransel ke punggung dan melihat Yuri mengemasi semua buku ke dalam tas.
Gelengan kepala Yuri menjadi awal jawaban. “Bagaimana aku bisa baik-baik, kalau dia sudah mencium bibirku.”Menengadah ke samping melihat Yoga. “Di depan kamu lagi,” keluhnya sambil bangkit dan menyandangkan ransel.
"Sorry. Aku cuma bisa melihat kalian tanpa berbuat sesuatu. Aku kaget dia berani lakuin itu di depanku. Sial!" Sangat jelas Yoga kecewa dan menyesal. Tiba-tiba ia tersenyum kecut. “Kamu mau aku antar ke ruang guru BK? Atau apa perlu ke kantor polisi?” tawarnya serius.
Yuri menggeleng dan setengah tertawa, walaupun hatinya tidak karuan dan pikirannya bercabang. Ia melirik Yoga. “Dengan tuduhan sudah menciumku? Atau sudah menjadikan aku…,” Ucapannya terhenti. Ia sadar tak ingin melibatkan Yoga lebih jauh lagi. “Sudahlah. Aku malas bahasnya.” Dengan malas ia melangkahkan kaki menuju pintu diikuti Yoga dari belakang.
“Kamu yakin?” Yoga merasa Yuri sedang menutupi sesuatu, tapi melihat kepala Yuri terangguk-angguk, ia pasrah. “Kalau kamu berubah pikiran, aku bisa menghajar dia.”
“Jangan.” Yuri menoleh ke belakang ketika mereka tiba di depan koridor. “Sebaiknya kamu enggak usah bantuin aku lagi.” Melihat Yoga kini berdiri dan jalan beriringan melintasi lapangan basket untuk menuju pintu gerbang. Beberapa siswa terlihat masih berkumpul di area kantin, taman dan selebihnya satu arah dengan mereka. “Aku takut kamu kenapa-kenapa. Zacky itu enggak jauh beda sama preman. Dia pintar ngancam, ngatur-ngatur, ngomong kasar dan…,” Ucapan Yuri kembali terhenti melihat Zacky dengan teman-temannya menunggangi motor sport masing-masing di lapangan parkir yang berada sebelum pintu keluar gerbang. Ia bisa melihat Zacky menatap ke arahnya dengan kedua tangan berada di stang sambil memainkan gas motor hingga mengeluarkan suara deruman dan asap dari knalpot. Mereka juga membicarakan sesuatu yang tak lama tertawa terbahak-bahak. Pemandangan itu membuat Yuri menghentikan langkahnya dan kembali menatap Zacky yang pandangannya sejak tadi juga ke arahnya. Tak lama Zacky memberikannya blowing kiss lalu tersenyum lebar dan mengenakan helm full face.
“Dasar cabul.” gumamnya menatap sinis Zacky yang bersiap melajukan motor bersama teman-temannya yang lain.
“Ada apa?” Yoga mendengar samar-samar ucapan Yuri meskipun perhatiannya terbagi dua melihat beberapa cewek kelas dua berjalan ke arahnya dan memanggilnya sambil tersenyum lebar.
Yuri menggeleng. "Enggak ada apa-apa. Cuma … kayaknya aku harus pindah sekolah secepatnya."
“Apa pindah sekolah?!”
Suara Anna mengejutkan Ben Thomas, Wandy yang reflek meraih gelas karena tersedak begitu juga dengan Yuri yang sempat memejamkan mata meski mulutnya mengunyah bakso dari sayur capcay salah satu menu makan malam hari ini. Acara makan malam mereka berubah menjadi mengerikan setelah Yuri memulainya dengan hal yang sudah pasti tidak terjadi. Seperti yang Anna katakan sekarang.
“Kamu pikir pindah sekolah itu gampang? Pamit ke kepala sekolah terus masuk ke sekolah baru, begitu? Banyak dokumen dan uang buat masuk ke sekolah, Yuri. Semua itu enggak gratis. Semua butuh uang, waktu dan tenaga.” Anna menjelaskan dengan semangat dan pandangannya lekat ke depan menatap Yuri yang kini malas-malasan menyuap mulutnya dengan potongan ikan goreng balado. Ia akan terus bicara sampai emosinya reda. Ia pun kembali melanjutkan ucapannya lagi. “Yuri, Sayang. Susah payah Mami sama Papi masukin kamu ke sekolah itu biar kamu bisa buktiin kalau orang susah kayak kita bisa berprestasi. Kamu bisa lebih baik dari pada mereka dan mengangkat harkat derajat Mami dan Papi. Kamu paham?” Itu hanya jawaban selain menyekolahkan Yuri di sekolah yang sama dengan mereka. Sekolah tempat penuh kenangan bersama Ben.
“Yuri paham, Mi.” Kepala Yuri terangguk. “Tapi, aku enggak nyaman sekolah di sana karena…,” Seketika ia teringat dengan adegan ciuman yang membuat wajahnya merah padam. Ia tidak mungkin menjelaskan semua pada mereka, mengingat dirinya masih pelajar. Seharusnya tidak merasakan itu sebelum waktunya meskipun beberapa temannya bertindak lebih dari itu.
“Karena?” Kali ini Ben angkat bicara, tidak seperti biasanya yang hanya menyimak dan memperhatikan Anna dan Yuri berdebat di meja makan setiap makan malam.
“Karena…,” Yuri berpikir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Sekolah itu mahal. Semua yang sekolah di sana anak orang kaya. Aku enggak mau tabungan Papi habis cuma buat biaya sekolah aku. Apa lagi enggak lama lagi Wandy masuk SMP, Papi pasti butuh uang banyak buat Wandy. Aku enggak tega lihat Papi.” Wajahnya memelas menyebutkan alasannya yang terlalu dibuat-buat hanya untuk bisa menghindar dari Zacky.
Kedua tangan Ben menyeka mulutnya dengan tisu setelah menyudahi makan malamnya hari ini. Ia menatap lekat Yuri yang memasang wajah seperti anak kucing yang minta dikasihani. “Sayang, semua orang tua akan melakukan apapun demi anaknya termasuk hal yang terbaik. Papi sama Mami memang sudah lama sepakat menyekolahkan kamu di sana, selain sekolah itu menyandang Sekolah Swasta Terbaik se-Jakarta, kami yakin kamu berprestasi di sana. Mengenai biaya sekolah, baik itu buat kamu dan Wandy, enggak perlu kamu pikirin. Yang harus kamu lakuin hanya belajar dan melakukan yang terbaik sebisa kamu, karena Papi yakin kalau kamu besar nanti pada jadi orang sukses.”
“Amin,” timpal Anna cepat dan melirik Yuri lagi. “Pokoknya mulai sekarang enggak usah kamu mikirin pindah sekolah atau biaya sekolah, karena itu urusan Papi sama Mami. Kalau kamu masih ngeyel, nanti Mami kawinin sama si Dimas anak tetangga yang bujang lapuk itu, kamu mau?”
Ujung hidung Yuri mengerut. “Amit-amit deh. Mendingan aku sekolah dari pada kawin muda.” Menggoyangkan kedua bahunya lalu bergegas bangkit membawa piring kotor menuju kitchen sink sambil bergumam. “Kawin?” Tiba-tiba wajahnya merah padam dan teringat dengan seseorang.
Zacky.
❤️❤️❤️
Segerombolan anak muda yang masih mengenakan seragam sekolah, tapi melapisi bagian atasnya dengan jaket, baru saja keluar dari sebuah ruko yang bertuliskan ‘Game Center’ sambil tertawa dan berteriak mengolok-olok teman sesama mereka. Salah satu dari mereka adalah Zacky, bergegas melangkah menuju parkiran tempat motor sportnya terparkir. Ia merogoh saku jaketnya tapi tidak menemukan barang yang ia cari. Hanya sebuah macis saja. Ia melirik beberapa meter dari tempatnya berdiri, terdapat sebuah minimarket. Tanpa mengulurkan waktu, Zacky berjalan tanpa menunggangi motor mahalnya.
“Lo mau kemana, Zack?” Teriak salah satu temannya yang sudah menunggangi motor, melihat Zacky terus berjalan menuju gedung sebelah.
“Beli rokok! Kalian pulang duluan aja.” teriak Zacky yang mempercepat langkahnya walau mendengar ucapan ‘ok, kami duluan’ dari mereka yang disusuli deruman suara knalpot di jalan raya.
Tiba di minimarket, Zacky mengambil satu kaleng minuman bersoda lalu melangkah ke arah meja kasir yang di sisi sebelahnya kosong. “Rokok itu sebungkus.” Tangannya menunjuk etalase rokok yang berada di belakang kasir tepatnya pada sebungkus rokok yang berwarna merah dan putih.
“Bisa enggak anda ngantri?”
Sangat jelas itu suara perempuan yang berdiri di belakang Zacky.
Dahi Zacky berkerut, ia berbalik dan melihat gadis seumuran dengannya menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. “Sorry, apa gue enggak salah dengar?” Tangannya menunjuk meja kasir. “Gue ke sini karena di sini enggak ada yang ngantri. Kenapa lo nyuruh gue ngantri?” Memberi alasan dan membela diri.
“Itu…,” Tangan cewek itu menunjuk beberapa snack ringan dan minuman di atas meja kasir. “... Belanjaan gue. Gue cuma ambil barang yang ketinggalan, tapi lo nyerobot antrian orang.” tuduhnya menatap Zacky sinis.
“Mana gue tahu itu belanjaan lo. Lagi pula gue lihat kasir ini kosong. Apa gue salah antri di sini?” Zacky menyodorkan uang selembaran, membayar dua item lalu melangkah mendekati cewek di belakangnya berambut sebahu yang memang cantik dan seksi. “Semua ini salah lo, bukan salah gue. Bye.”
“Sial.” Cewek itu bergegas membayar. Setelahnya ia berlari mengejar Zacky yang sudah berada di luar minimarket. “Tunggu!” Melihat Zacky sudah berada di gedung sebelah dengan tangan memegang helm. Ia melangkah dan menghentikan langkahnya beberapa meter dari motor Zacky. “Lo harus minta maaf ke gue,” pintanya dengan nada menuntut.
Tawa Zacky pecah, kepalanya menggeleng. “Gue enggak ada alasan untuk minta maaf karena gue enggak salah. So, buat apa gue minta maaf? Kalau lo mau nyalahin orang sebaiknya lo salahin tuh kasirnya. Karena dia nerima transaksi gue sementara dia pending transaksi lo. Sampe sini lo paham?” Tanpa menanti jawaban Zacky mengenakan helm lalu menyalakan mesin motornya.
Cewek itu terdiam, setelah ditelaah apa yang dikatakan Zacky ternyata benar, tapi ia malu mengakuinya karena sudah terlanjur menyalahkan Zacky.
“Kalau lo enggak paham, sebaiknya belajar dari gue,” kata Zacky setengah berteriak dari balik helmnya lalu melajukan motornya kencang meninggalkan cewek itu yang masih terdiam.
Sebelah sudut bibir cewek itu melengkung ke atas. “Ok, gue akan belajar dari lo. Pengen tahu seberapa hebat diri lo.” Lalu tangannya merogoh ponsel dari saku cardigannya. Setelah panggilan tersambung ia pun bicara to the point. “Tolong Papa pecat kasir minimarket yang ada di cabang Suka jaya.” Pandangannya kini menjadi serius. “Karena dia sudah mempermalukan Tania di depan orang banyak.”