Perhatian atau hanya Kebiasaan?

2001 Kata
Kalau ada nominasi dalam kontes tahan nafsu setelah menikah, mungkin Yoga adalah salah satu orang yang terpilih. Pria itu sadar sepenuhnya bahwa Fani adalah cewek yang mempunyai bad attitude, otak sableng, dan sedikit banyak m***m. Tapi, untuk menyeimbangi semua itu, ia juga mempunyai wajah dan tubuh yang tidak main-main. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya cowok yang mengajak Fani kencan atau sekadar ingin makan bareng di kantin sekolah mereka masa SMA. Fani adalah primadona yang tidak bisa tergeser sampai mereka lulus. Sampai bangku kuliah pun, Yoga selalu bersyukur karena Fani masih menganggapnya sahabat disaat ketenarannya melejit. Gonta-ganti pacar adalah hal yang wajar, keluar masuk kelab bukan sesuatu yang asing di mata Yoga. Itu alasan mengapa Yoga mencari perempuan sekalem Helena, ia seperti menemukan dua dunia dan dua sisi yang berbeda saat melihat Fani dan Helena. Yoga sendiri juga heran, mengapa sampai hati orangtuanya menjodohkan dia dengan Fani. Sudah jelas Fani bobrok luar dalamnya, tidak kelakuan, tidak hatinya. Ia ingat saat ayah Fani menepuk pundaknya di pernikahannya kala itu. "Terimakasih ya Ga, kamu sudah membantu Om, dengan mengambil satu kewajiban Om. Om yakin banget kamu adalah orang yang tepat untuk Fani, tolong belajar cintai dia," pesannya kala itu. Dari situ sudah bisa ditarik kesimpulan, kalau orangtua Fani sampai bilang makasih saat kehilangan Fani, berarti Fani memang beban banget bagi keluarganya. Bocah sableng macam Fani itu harus diruqyah biar insaf. "Yogaaa, tolong ambilin handuk baru doong, aku lupa bawa handuk," teriak Fani dari dalam kamar mandi. Yoga mendesah pendek, kemudian beranjak dari duduknya. Membuka almari milik Fani yang sama sekali tak disentuhnya sejak awal keberadaannya di rumah itu. Mata Yoga dimanjakan dengan pemandangan segala bentuk t***k bengek milik perempuan termasuk yang paling mencolok dan tertangkap matanya adalah bra renda merah menyala milik Fani. "Astaghfirullah," pekiknya tertahan langsung menutup kedua matanya dengan tangan. "Jangan buka pintu yang kanan yaaa, handuknya di pintu kiriiii, warna biru gambar spongebob ya, Ga," seru Fani cempreng. Terlambat! Yoga menutup pintu sambil bergidik, ia cepat-cepat mengambil handuk yang dimaksud Fani, kemudian mengetuk pintu kamar mandi. "Apa?" Gadis itu membuka sedikit pintunya dan menemukan Yoga berdiri dengan wajah sebal. "Nggak mau? aku buang nih?" ancam Yoga yang langsung disambut tawa Fani. "Yaelaaahh, serius amat sih jadi orang. Siniin cepet, aku udah kedinginan." Fani menyabet handuk miliknya dengan cepat dan menutup kembali pintu kamar mandi. Yoga mengusap wajahnya lelah. Hanya Fani, cewek konyol yang sialnya jadi istri sah seorang Yoga Basudewa Prasti. Kiamat! Selang beberapa menit, Fani keluar dengan wajah fresh sehabis mandi, bibirnya merah ranum membuat pandangan Yoga tidak fokus pada laptop di pangkuannya. "Ga, ini kan weekend, gimana kalo kita ke mall, beli apa gitu, baju aku sekarang udah kecil-kecil," rengek Fani. Yoga menatap sekilas sebelum kembali fokus pada laptopnya. "Berarti kamu kudu diet, bukannya shoping." Fani mencebik. Ia memutar badannya menghadap Yoga sepenuhnya. "Lah, bajuku kan banyak di rumah Mama, masa iya aku angkut-angkut baju lagi. Malu ah." "Biar aku angkatin," jawab Yoga pendek. Gadis itu memutar bola matanya mencari-cari alasan lagi. "Tapi, aku kemarin nemu dress bagus banget. Aku pengen beli lah, mau ya Ga?" "Mall pas weekend padat mampus gitu. Nggak mau ah," tolak Yoga mentah-mentah. Fani cemberut, ia kembali menghadap cermin dan memulai memoles make up. Begitu tidak ada lagi suara yang terdengar dari Fani, pria itu melihat dari ekor matanya dan menemukan Fani mulai diam tanpa sepatah kata. Ada yang kecewa di hati Yoga begitu melihat Fani diam. Kenapa dia nggak protes lagi ya? Yoga menatap Fani dengan gemas. Kalau Fani sudah seperti ini, naluri kebabuan Yoga yang mendarah daging tidak bisa terelakkan lagi. "Oke, kita ke mall sekarang," putus Yoga mantap. Fani menghentikan aktivitasnya untuk sekadar membalik badan dan memeluk Yoga. "Makasih Babee, sayang deh. Sini aku cium." Fani meraih kepala Yoga dan mengecup bibirnya. Yoga tersentak. "Heh, jangan sembarangan nyosor ya." Cowok itu mengusap bibirnya dengan satu gerakan kasar. Fani cengengesan, tidak peduli bagaimana respon Yoga saat ini. Biar saja masalah antara Yoga dan dirinya ada diantara mereka, tapi Fani menutup mata seolah semua perjodohan ini, semua perilaku abai Yoga adalah hal semu. *** Ada dua hal yang membuat Fani tergila-gila di dunia ini. Satu, Yoga dan yang kedua adalah diskonan pada satu brand terkenal kebanggaannya. Yoga hanya bisa mengurut dadanya begitu melihat Fani yang liar berlarian kesana kemari untuk cepat mengambil barang yang disukainya. Masih baik Fani berlari kesana kemari daripada harus berjambak-jambakan dengan orang lain seperti kebiasaannya sejak dahulu. Sejauh ini masih aman, karena Fani tidak menyenggol emosi siapapun atau bisa jadi Fani sudah insaf tidak mau berantem seperti kebiasaannya. Bagi Fani, kancah peperangan bagi semua wanita yang sebenarnya adalah ini. Di saat mall membuka diskon besar-besaran yang di dalamnya bakal tumpah ruah cewek dari berbagai bentuk. Ada yang ganas, gercep, adu bacot dulu, sampai yang paling pasrah penting dapat yang murah. Mata Fani memindai cepat deretan dress di depannya. Begitu menemukan langsung saja ia menyabet dress tersebut, namun satu tangan dengan cepat menyahut sebelum jemarinya menggapai dress putih elegan yang ditaksirnya sejak lama. "Eh, Mbak, gue duluan yang nemuin," protes Fani gemas pada perempuan di depannya. "Eh mana bisa, situ yang lambat. Sportif aja napa sih, orang gue yang cepet ambilnya," bela perempuan tersebut. "Eh, Anjir, jangan nyolot dong jadi orang." Fani makin nanjak-nanjak. Hilanglah semua kesabaran Fani begitu dia mendapati cewek menor tersebut makin nyolot. "Lo yang lambat ngapain gue yang salah sih, Njir?" "Ya lo biasa aja dong, nggak usah ngegas!" "Heh, yang nanjak-nanjak tuh situ ya, ngapain gue ngegas segala. Buang-buang tenaga!" "Eh, b*****t!!" Bugh! Tak disangka Fani melayangkan tas miliknya dan tepat mengenai wajah sang lawan. Tak terima diperlakukan kasar oleh Fani, cewek tersebut balas menyerang dengan tasnya dan menjambak Fani dengan keras. "Lo yang b*****t, Anjing!" Melihat dua cewek bertengkar, kerumunan massa langsung terbentuk otomatis di sekitar mereka. Mulai memilih jagoan dadakan yang bakal memenangkan dress putih gading di tangan salah satu cewek tersebut. Yoga mengerutkan kening begitu melihat kerumunan yang terbentuk entah sejak kapan, firasatnya buruk saat terdengar lengkingan suara yang dikenalnya dalam intonasi tinggi. Bergegas ia berlari dan menerobos langsung ke baris depan dibawah ratusan pasang mata wanita di sana. Dan lebih shock lagi saat menemukan Fani tengah beradu omongan dengan satu cewek di depannya. "b*****t lo, b***h, gue yang pertama—" "Ayo, pulang!" Yoga menyeret Fani keluar dari kerumunan massa yang menyorot mereka dengan segala tatapan. Ada yang geli, kecewa, marah, dan mengumpat karena acara live mereka dirusak dengan datangnya Yoga. Yoga menyentak tangan Fani begitu mereka sampai di basement. Fani menunduk dalam, sadar hal apa yang membuat Yoga semurka ini. Pria itu melayangkan pandangan sinis pada Fani yang menunduk menautkan jari jemarinya. "Kamu tau nggak tadi tuh insiden paling malu-maluin yang pernah aku liat." "Maaf, maaf, maaf. Aku udah maluin kamu," cerocos Fani buru-buru dengan suara bergetar yang kentara. Pria itu sendiri tidak habis pikir dengan apa yang barusan dilihatnya. Fani tetaplah Fani yang akan terus menunduk saat ia merasa salah. Yoga paham sekali apa yang akan dilakukan Fani ketika mengangkat wajahnya nanti. "Kenapa nunduk? angkat wajah kamu kayak pas kamu berantem sama orang tadi," tantang Yoga gemas. Fani perlahan mengangkat wajahnya dan sesuai dugaannya, mata gadis itu sembab, masih terjejak air mata di sana yang sejak tadi tertutul oleh rambut panjangnya. "Sakiit, Ga, kamu tau kan tadi itu orang setan banget. Rambutku dijambak kasar banget. Mana rontok lagi," tangisnya sambil berusaha mengelap sendiri air matanya. Hati Yoga kembali terusik melihat Fani menangis. Sejak dari dulu, saat keadaan tidak seperti ini. Yoga akan mengomelinya lalu ia akan memeluk Fani setelah semua kekhawatirannya meluap. "Yang nyuruh berantem kayak anak kecil siapa?" "Nggak ada," jawab Fani polos sambil menggelengkan kepalanya. Yoga berdecak. "Masih berani jawab!" sentaknya. Gadis itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat sambil berusaha menahan tangisnya lagi. Yoga menggamit lengan Fani kembali masuk mobil. Pria itu menghela napas. Kenapa, ia masih merasa sakit saat Fani menangis seperti ini? Kembali diliriknya cewek di sampingnya. Cewek yang sibuk dengan tisu di pangkuannya. Make upnya sudah kacau, penampilannya apalagi. Senyumnya belum juga kembali. "Sinii, makanya jangan berantem kayak tadi. Kamu bisa beli dress kayak gitu tanpa nunggu diskonan bangsat." Dan seperti sebelum mereka menikah. Saat Fani menangis karena kesalahannya, Yoga akan melakukan hal ini. Merengkuh Fani dalam peluk hangatnya. Entah penuh perasaan atau hanya kebiasaan. *** Hal yang membuat Fani jatuh cinta setiap hari dan berjanji tak akan meninggalkan Yoga adalah, karena cowok itu mempunyai perasaan selembut kapas. Hanya saja ego Yoga yang terlalu ikut berperan, pun dengan luka akibat perjodohan. Tatapan Yoga tak pernah bisa membohongi, bahwa sebetulnya ia sangat mengkhawatirkan keadaan Fani saat ini. "Pelipis kamu luka tuh," ucap Yoga datar. Fani meraba pelipisnya dan meringis kecil saat ia merasakan perih di sudut sana. "Ini kayaknya kena tas cewek setan tadi deh," gumam Fani jengah. Ia masuk mengambil kapas dan obat merah. "Setan teriak setan," gumam Yoga yang masih terdengar Fani. "Apa, Ga?" "Enggak," sahut Yoga cepat. Fani kembali duduk di samping Yoga dan menyerahkan kapas beserta obat merah pada Yoga. Cowok itu menerimanya dengan kening berkerut. "Ngapain?" Fani senyum-senyum. "Obatin dong Ga, biar romantis gitu," pinta Fani manja. Yoga melengos kembali menyerahkan kapas ke tangan Fani. "Ogaaaaah! kamu yang berantem kenapa aku yang susah." Yoga bangkit meninggalkan Fani sendirian di ruang tamu dengan tatapan greget. "Yogaaaaa!" Pria itu menutup kedua telinganya tak mau tahu dengan seruan jengkel Fani. "Bodoamaat! siapa suruh berantem. Pake acara pukul-pukulan sama tas lagi, udah tau selempang tasnya besi. Masih buat berantem. Dasar cewek!" Fani mendelik kesal. Yoga beneran tidak menghiraukan seruannya. "Dasar jelek! cowok kaku. Nggak romantis. Nggak peka. Nggak nafsu. Lemah syahwat. Nggak perkasa di ranjang-" Suara bantingan pintu menjawab makian Fani sekaligus membungkam gadis itu. *** Malam semakin larut, pukul dua dini hari dan Fani belum juga bisa memejamkan matanya sedikitpun, masih di posisi yang sama sejak dua jam yang lalu. Suasana di sekitarnya sepi, tapi dalam benaknya ramai memikirkan berbagai hal tentang Yoga, perasaannya, dan perhatiannya pagi tadi. "Sinii, makanya jangan berantem kayak tadi. Kamu bisa beli dress kayak gitu tanpa nunggu diskonan bangsat." Itu perhatian atau hanya kebiasaan? Sebelum mereka terikat dalam pernikahan pun, Yoga akan merengkuhnya saat ia menangis seperti tadi dan bergumam, "Yaelah, jagoan gue koo nangis sih cuma dijambak doang gitu?" atau sekadar ucapan, "Udahan doong nangisnya, aku khawatir banget tau gak? sinii gue peluk lo aja." Yoga terlelap di sofa dengan dengkuran halus yang menggugah Fani untuk melihat pria itu tidur. Mempesona! Mungkin Tuhan sedang bersuka cita saat menciptakan Yoga, karena di posisi tidur seperti ini pun Yoga masih terlihat seksi. Apalagi suara dengkuran yang terkadang terdengar mirip desahan. Jangan salahkan Fani kalau dia selalu berangan dan basah dalam mimpi. Yoga terlalu tampan dan perkasa dalam benak Fani. Gadis itu berjingkat-jingkat menghampiri Yoga. Menatap intens wajah damai Yoga saat tertidur. "Kapan kamu bakal nyentuh aku Ga?" "Kapan kamu cinta sama aku Ga? Sekalinya itu lama, aku tetap menunggu. Karena aku yakin, cinta akan tumbuh dalam hati kamu, aku hanya butuh kesabaran sedikit buat menunggu," gumam Fani sedih. Jemari Fani menyusuri rahang tegas suaminya, hidung mancungnya, bibir Yoga yang mengatup namun menggairahkan. Tubuh Fani mendadak tegang saat tangan Yoga melingkupi tubuhnya, membawanya dalam rengkuhan hangat pria itu. Satu kecupan mendarat di kepala Fani. Yoga mengigau atau dia mendengar semua omongan Fani barusan? "Aku khawatir banget sama kamu." Pipi Fani merona. Ia tidak tahu seperti apa wajahnya saat ini jika Yoga benar-benar belum tidur saat ini. Fani mengecup bibir Yoga singkat. Apa Yoga mulai mencintainya? "Aku khawatir banget sama kamu ... Helena." Hati Fani mencelus. Jadi bukan, dia. Tapi, Helena. Fani mengangkat kuncian lengan Yoga dan beringsut kembali dengan langkah lunglai. Cukup di dalam mimpi saja Helena memenangkan pertandingan ini, cukup dalam mimpi Yoga saja Helena mendapat kasih sayang dan perhatian hebat dari pria yang telah berstatus sebagai suami sah seorang Fani. Jadi, tugas Fani kali ini adalah, membuat Yoga bertekuk lutut padanya dan membuat pria itu jatuh cinta sampai mampus dengan Fani. Dia pemilik Yoga, bukan Helena, bukan juga orang lain. Dia akan berjuang sekeras mungkin. "Nggak bakal gue biarin orang kayak Helena atau siapapun mengambil Yoga dari gue. Meskipun pake acara jambak-jambakan sekalipun. Gue bakal rebut Yoga," tandas Fani. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN