02 | Mas-mas Cungkring Jerawatan

1140 Kata
5 Bulan Sebelumnya Brak! Aku menaruh tumbler minumku di atas meja dengan penuh tenaga, membuat 4 orang rekan kerjaku yang sedang makan di deretan meja panjang kantin melirikku sebal. "Please, kalian mesti bantu cariin gue cowok. Jelek nggak apa-apa, yang penting kaya." Tiap jam makan, kantin ini selalu ramai dengan karyawan. Baik itu karyawan yang di office atau di pabrik. Tak heran kebanyakan adalah laki-laki dengan jaket seragam warna biru dongker dengan logo perusahaan Nitiharta di d**a kiri. Aku kebetulan bekerja di kantor, tepatnya di bagian marketing. Mbak Eli dan tiga temanku yang lain hanya melirikku sekilas, malas menanggapi dramaku siang ini. Melihat mereka lahap makan soto, aku jadi ngiler. Aku menitipkan tumblerku dan berpesan agar jangan ada yang duduk di situ sampai aku datang. Sepuluh menit kemudian, aku kembali ke meja. "Eh eh eh, masa udah mau udahan aja," ujarku melihat tiga temanku bangun dari duduk tepat saat aku menempelkan b****g ke kursi. "Salah sendiri tadi diajakin barengan nggak mau." "Galau mulu sih lo." Di sebelahku, Mbak Eli juga akan bangun, tapi buru-buru kutahan dia agar tetap duduk. "Tungguin lah, Mbak, sebentar aja." Mbak Eli mendesah, "ya udah buruan makan." Mbak Eli menyuruh tiga temanku yang lain duluan kembali ke kantor. "Kosong, kan?" Seorang lelaki berjaket pabrik bertanya pada Mbak Eli. Mbak Eli menegakkan punggung dan menaruh ponselnya lagi di atas meja, lalu menjawab sopan sekali. "Kosong, Pak, silakan." Aku melirik lelaki kerempeng itu sekilas, wajahnya terlihat asing, mungkin karyawan produksi baru di pabrik. Saat matanya tidak sengaja menangkap basah lirikanku, aku memaksa senyum, "makan yang banyak, Mas, biar gem-- eh biar semangat kerjanya." Aku bersungguh-sungguh menyuruhnya makan banyak. Di mataku dia terlalu kurus, tidak proporsional untuk tinggi badannya yang kuperkirakan 180 cm-an. Mungkin dia sebelumnya berasal dari keluarga kurang mampu jadi gizinya tidak terlalu diperhatikan, dan begitu sudah kerja, dia lupa memerhatikan penampilan. Sibuk cari uang. Dia hanya mengangguk sopan. "Mas-mas..." panggilku, dia mendongakkan kepala. "Kalau kerja jangan lupa pakai masker, kasihan kulitnya kena serbuk kayu terus." Mbak Eli memelototi aku. "Apa?" aku bertanya bingung maksudnya. "Orang aku cuma ngasih saran ke masnya, biar nggak jerawatan. Itu, kan penyakit." "Sonya..." "Apa..." "Cepet makan, deh." Kepala Mbak Eli lalu berpaling ke lelaki itu, "maaf ya, Pak." Aku menghendikkan bahu tak acuh, mencampur nasi ke dalam kuah soto dan mengaduknya jadi satu, uap panas kuah soto tercium nikmat sekali ke hidung. Sesaat aku lupa kalau beberapa saat lalu aku misuh-misuh sendiri, keheranan kok ya ada cowok belagu mentang-mentang ganteng. "Gue putus lagi sama Aldo tahu, Mbak," ungkapku sambil meniup-niup ujung sendok. "Udah tahu. Lo udah update di status." Aku mencicip sedikit kuah sotoku, sontak aku memaki, "Anjing," membuat Mbak Eli menoleh kaget ke arahku. "Sialan, pelit banget Bu Siti. Gue udah bilang banyakin sambel sama jeruk nipisnya. Ini nggak berasa apa-apa. Nitiharto juga nggak akan bangkrut kali kalau gue minta lebihin jeruk nipis doang." Kekesalanku mencapai puncak saat melihat potongan jeruk nipis di piring kecil di atas nampan makanan mas-mas kerempeng jerawatan di depanku. "Kok Mas bisa dapet jeruk? Tadi pas aku minta nggak dikasih." Dia menghendikkan bahu tak tahu sambil menyunyah kuah soto dan nasi yang terpisah wadah. "Dasar Bu Siti genit, cowok aja dikasi," rutukku kesal. "Jeruknya nggak dipakai, kan? Sini, buat aku aja." Aku sudah minta izin, jadi tanpa sungkan aku langsung mengambil potongan jeruk nipis dari nampan lelaki itu. "Nya, lo lima menit lagi masih ngomel dan nggak makan-makan. Gue tinggal, ya!" "Eh, jangan dong. Lagi patah hati nih, gue, masa ditinggal sendirian. Kalau gue nekat bunuh diri gimana coba?" "Bodo amat, Nya. Buruan makan nggak lo." "Iya, ini makan." Di bawah pengawasan ketat Mbak Eli yang kebetulan juga manajerku, aku makan terburu-buru. Sesekali membuka mulut untuk melepaskan uap panas soto yang tidak sempat kutiup. "Mbak, lo nggak ada kenalan cowok yang lagi nyari calon buat diseriusin apa?" tanyaku disela kunyahan. "b*****t banget si Aldo, gue ajak nikah, malah gue diputusin. Mana gue udah terlanjur bilang ke tetangga kalau akhir tahun ini gue mau nikah, lagi." "Nggak ada." "Pasti ada, temannya Mas Farid mungkin." "Temannya Mas Farid nggak ada yang ganteng buat ngikutin standar lo." "Nggak usah ganteng, udah empet gue sama mereka. Songong kebanyakan, ngandelin tampang doang." Ini berdasarkan pengalamanku, ya, bukan aku bilang semua cowok ganteng itu songong. Tiga kali pacaran sama cowok ganteng, mereka cuma nyenengin kalau diajak jalan gandengan ke kondangan sama pas lagi video call-an. Selebihnya kudu kuatin batin. "Duda tanpa anak gue juga mau, yang umurnya belum 40 tapi kayak Pak Dirga. Jelek juga nggak apa-apa, yang penting kaya." "Ya, biar jelek, cowok kaya standarnya bukan lo, Nya." Aku mendelik, penghinaan itu. Apa maksudnya coba. Mana ada cowok yang nggak mau sama seorang Sonya Reinita. "Mari." Lelaki di depanku sudah selesai makan duluan, dia mengemasi peralatan makannya dan membawanya ke tempat menaruh piring bekas. Mbak Eli mencubit lenganku hingga membuatku menjerit. "Apaan sih, Mbak?!" semburku sambil memegangi bagian bekas cubitannya. "Kalau habis ini gue turun jabatan atau dipecat karena nggak bisa didik anak buah, itu gara-gara lo." "Hah?" sebiji nasi keluar dari mulutku. Perlahan aku kembali mengunyah sambil menunggu jawabannya. "Nya, lo nggak tahu yang lo semangatin dan lo katain kalau jerawat adalah penyakit itu siapa?" "Karyawan pabrik, kan? Wajar dong, aku kasih saran buat Masnya lebih perhatian sama kulit karena lingkungan kerjanya banyak debu." Gigi Mbak Eli gemelatuk kayak pengen ngunyah aku. "Sonyaaaa, yang lo panggil mas-mas itu Pak Anggito Hartawan, anak tunggalnya Pak Hartawan yang selama ini ngantor di pabrik Malang dan sekarang dia yang akan ngantor langsung di pabrik ini." Uhuk! Aku tersedak oleh nasi yang baru sebagian tertelan. Mbak Eli kayaknya udah terlanjur kesal sekali sampai nggak peduli aku bisa saja mati kehabisan napas. Aku meraih minumku sendiri. "Yang bener lo, Mbak?" "Tahu ah, lo punya mulut beneran nggak bisa kontrol." "Yaa gimana, dong? Gue, kan, nggak tahu. Kalau muka gue ditandai gimana?" Aku minum beberapa teguk air lagi. "Mbak harusnya bilang, dong, kalau dia itu CEO baru kita." "Gimana gue bilangnya? Masa gue nyebut jabatan dia, sementara dia humble banget mau makan semeja sama cungpretnya." Sulit kupercaya kalau laki-laki tadi adalah CEO Nitiharta. Setahuku dia baru menjabat setahunan terakhir, menggantikan Pak Hartawan yang konon ingin bersantai menikmati masa tua. Anggito Hartawan ini cuma bergaung namanya saja, dia tidak terlalu menyukai publisitas. Lebih suka bersembunyi di pabrik Malang, dimana di sanalah Nitiharta pertama kali didirikan. Dari pabrik rumahan kecil, hingga menjadi perusahaan produksi furnitur kayu asli yang 70 persen pemasarannya ke Eropa dan Australia. Dalam benakku dan semua orang Anggito Hartawan ini seperti layaknya CEO muda dalam novel-novel romantis. Tinggi, gagah, ganteng, terawat, rambut klimis, pakai setelan jas dan sepatu kulit mengkilat. Kalau ternyata aslinya dia tinggi, ceking, kulit sawo matang, dan jerawatan, bukan salahku mengira dia pekerja pabrik, kan? Orang memang mirip kuli, kok.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN