Gerimis mengguyur kota Bandung. Bima berdiri mematung, berteduh di balik bangunan rumah sakit yang kokoh, di depan ruang IGD yang bersinggungan langsung dengan pos satpam. Selagi menunggu hujan reda, Bima membuka resleting ransel dan mengambil sepasang handsfree yang lantas dipakainya. Mulutnya bersenandung pelan.
Berdiri terus lama-lama rasanya pegal juga. Bima mendudukan bokongnya di atas bangku panjang yang bersebrangan langsung dengan farmasi IGD. Lalu lalang manusia dihiraukannya. Toh, ini sudah bukan jam kerjanya juga. Maka dari itu Bima memilih mengenakan hoodie-nya untuk berkamuflase.
Omong-omong soal hoodie, Bima merasa ngeri sendiri. Posisinya serba salah. Meminjamkan dikira selingkuh, tak meminjamkan dikira pelit. Begini rasanya menjadi laki-laki, ya? Selalu saja salah di mata perempuan. Kendati demikian, Bima amat menyayangi kekasihnya sekali pun sifat posesif Aluna berada di kasta tertinggi. Semoga perasaan itu konsisten sampai akhir.
“Nungguin yang sakit?” Seorang pria paruh baya secara tiba-tiba duduk di sampingnya, menepuk bahunya kencang. “Ibu saya juga sakit, tapi nggak bisa ditengokin. Sekarang beliau ada di ruang transit.”
Bima menoleh cepat. Mencopot handsfree dan menaruhnya di saku hoodie. Ia lantas menggaruk kepalanya seraya meringis kecil. “Sakit apa ibunya?”
“Engap. Kemarin habis di rontgen katanya paru-parunya kotor. Padahal emak saya dari dulu juga udah punya penyakit engap. Di sini malah di-covid-kan,” jawab bapak-bapak tadi. Sok tahu.
Air muka Bima mendadak merubah gurat menjadi sebal. “Di-covid-kan bagaimana?”
Pria paruh baya itu celingukan, memandang ke kiri kanan secara bergantian, lantas mendekatkan mulut ke kuping Bima dan berbisik, “Kemarin tetangga saya bisul, datang ke sini dikatain korona, sekarang meninggal gara-gara nggak dikasih makan di ruang isolasi.”
Informasi dari mana itu?
Bima tergelak, memundurkan badan, berbalik menatap bapak-bapak random di sebelahnya. “Sok tahu. Itu mah tetanggamu memang bisulan yang kebetulan terpapar virus korona.” Atau sebaliknya?
“Beneran nggak dikasih makan katanya.” Si bapak bersikukuh. “Lain kali kalau ada yang sakit nggak usah dibawa ke rumah sakit. Kasihan.”
Bima mendesis.“Apanya yang kasihan? Di sini dirawat, dikasih obat, dikasih makan, dikasih vitamin, dipantau juga.”
Si pria paruh baya itu malah geleng-geleng kepala. “Kacau. Endonesia udah kacau. Semua terjadi hanya karena kepentingan politik.”
Apa urusannya, Bambang? “Gak ada politik-politikan. Ini memang virus, penyakit yang dikirim dari Allah agar kita semakin waspada,” tutur Bima sok bijak, lantas menepuk bahu bapak-bapak random di sebelahnya.
Ya akhi. Belajar dari mana kau mengenai ketuhanan?
Bapak-bapak random tadi mangut-mangut kecil, lantas menegakan tulang punggungnya. “Sebenarnya, ya. Virus korona itu nggak pernah ada. Batuk pilek kayak ginian mah dari dulu juga banyak, tapi ya nggak digembar-gemborin kayak sekarang.”
Bima kira bapak-bapak random ini sudah insaf. Terus ngapain tadi mangut-mangut?
Bima mendesis bosan. “Pak ....”
“Hidung mendadak hilang penciuman dikatain korona. Ya, iya, lah. Orang lagi pilek ya pasti nggak nyium bau apa pun.” Si Bapak tadi berucap yakin.
Lo kira omongan tidak mendasar itu membuat lo kelihatan pinter? Batin Bima menggerutu.
Orang awam ini benar-benar membuat suasana hati Bima semakin ruwet saja. Bima menegakan tulang punggungnya, menyerong posisi menghadap pria paruh baya di sampingnya. “Gini lho, Pak. Covid itu berbeda dengan flu. Covid berasal dari coronavirus, sedangkan flu berasal dari rhinovirus. Sekilas memang tampak sama, gejalanya juga mirip, tapi mereka berbeda. Resiko penularan coronavirus jauh lebih tinggi. Kenapa? Karena imunitas belum ditemukan, dan masa inkubasi virus tersebut cukup lama. Empatbelas hari, Pak. Itu lah kenapa bapak dan kita semua disarankan melakukan vaksin. Karena orang yang terpapar covid tidak melulu memunculkan gejala, terlebih mereka yang mempunyai imun tubuh bagus.”
Buset. Ngerti kagak dia?
Bapak-bapak random itu mangut-mangut lagi. Entah mengerti atau sekadar pura-pura mengerti.
Bima tersenyum tipis. Bagus. “Jadi, jangan samain flu biasa dengan virus korona, ya, Pak. Mereka beda. Dan jangan menyebar kepanikan. Itu nggak bagus,” tuturnya lebih lembut dari sebelumnya.
“Iya, panik orang-orang di kampung saya. Mereka nggak mau ke rumah sakit katanya takut dibilang covid.”
Si anjir.
TUHAN, TOLONG BAWA AKU KE SURGA! Dewa batin Bima menjerit. Memanjatkan ribuan doa agar bapak-bapak random di sampingnya segera kembali ke jalan yang benar.
“Bapak ngerti nggak, sih?”
“Ngerti saya.”
Sudahlah, tak perlu ditanggapi.
Gerimis masih mengguyur. Bima mendesis di tempatnya. Menggosok telapak tangannya mengusir dingin. Bapak-bapak random di sampingnya kembali setelah mendapatkan obat yang ia tunggu di farmasi IGD. Syukurlah, akhirnya pergi juga. Bima tak bisa membayangkan untuk berada dekat dengan bapak random tadi dalam waktu yang lama. Ia takut gila.
Hari sudah semakin larut. Waktu menunjukan pukul lima sore dan hujan tak kunjung reda. Bima mencebik dalam hati. Menyesal untuk tak berangkat naik mobil ketimbang sok keren pakai motor gede tapi ujung-ujungnya takut kehujanan. “Sialan, sialan!”
Saat Bima sibuk mengumpat, seseorang dengan kaos putih pendek bercelana jeans hitam panjang datang menghampiri, duduk di sampingnya. “Belum pulang, Kak?”
Bima menoleh, sepasang alisnya bertaut lantas tersenyum tipis. “Masih hujan, Kal.”
Kalista menyibakan surai sebahunya ke samping hingga leher jenjangnya tampak terlihat jelas. “Hujannya kecil tapi nggak berhenti-berhenti, ya?”
Bima mengangguk kecil. “Makanya. Ngeureuyeuh kalau kata orang sini mah.”
Kalista terkekeh pelan. “Maaf, ya, Kak. Hoodie-nya belum kukembalikan,” katanya. Tangannya memegang lengan Bima sesaat hingga pandangan Bima turun untuk menatapnya. Sedikit aneh.
Bima mengibaskan tangan di udara. “Santai saja,” jawabnya.
“Kak Aluna pacar Kak Bima, ya?”
Bima mengangguk. “Kamu kenal?”
Aduh. Mendadak Bima menjadi gugup. Ia teringat kejadian di Bioskop malam lalu. Apakah saat itu Kalista mengenalinya atau tidak? Ya, pasti. Sekali pun saat itu Kalista tak menyadari, tapi sekarang dia pasti sudah tahu, kan?
Pasti, lah, bego!
Kalista mengangguk kecil. “Kenal. Kami bekerja di perusahaan yang sama.”
“Oh gitu?”
“Memangnya kak Aluna tidak cerita tentang itu?” Sebelah alis Kalista bergerak naik.
Bima hanya mengendikan bahu. “Enggak.”
Kalista terkekeh pelan. “Lagian, sepertinya kak Aluna tidak mengenalku.”
“Terus kenapa kamu kenal Aluna?”
Kekehan Kalista berubah menjadi sebuah senyum palsu. “Aku menyukainya. Dia cantik. Semua laki-laki di kantor sering membicarakannya. Aku juga sering menyapanya, walaupun ... kak Aluna jarang melirikku,” jawabnya. Senyum Kalista memudar berganti raut murung.
Bima mematung di tempatnya. “Serius?”
Kalista kembali memasang senyum palsu. “Iya, tapi nggak apa-apa. Aku tetap nge-fans sama kak Aluna, kok.”
Bima bergeming sesaat. “Maafin Aluna, ya,” ucapnya kemudian. Menepuk pelan bahu Kalista.
“Ih. Nggak masalah kok, Kak. Gak usah berlebihan.”
“Aku merasa bersalah ... sebagai pacarnya.”
Sebagai pacarnya? Senyum Kalista sedikit memudar. “Baiklah.”
Bima tertawa kecil di tempatnya. Hatinya jauh melalang buana mencari tepi. Aluna begitu? Benarkah? Ah, masa bodoh. Tapi masa, sih?
“Mama kamu belum dibolehin pulang sama dokter?” tanya Bima berusaha mengganti topik.
Kalista menggeleng pelan. “Mungkin besok.”
***
“Aku tuh paling malas makan pakai sumpit. Jadi kutusukin aja sekalian.” Aluna menyumpit—menusuk—sepotong sushi lalu mengarahkan ke mulutnya. “Begini lebih gampang, 'kan?” lanjutnya dengan mulut penuh.
Yudistira yang duduk berseberangan dengannya terkekeh pelan. “Yang penting masuk, ya?”
Aluna mengangguk. “Lagian garpu lebih efektif dari pada sumpit. Terus kenapa kebanyakan orang lebih memilih sumpit, sih?”
Yudi mengendikan bahu. “Ya nggak tahu.”
Aluna nyengir polos di tempatnya. “Salah nanya, ya?”
Yudistira tertawa kecil di tempatnya. “Tanyain, tuh, sama idola kamu, BTS.”
“Nggak nyambung. Sumpit berasal dari Tiongkok, kali.”
“Memangnya BTS bukan?”
“BTS mah Korea.”
Yudistira terkekeh. “Kukira dari China.”
Aluna mendesis, lantas menyedot jus jeruknya. “Sejak kapan BTS dari China?”
“Kan aku nggak tahu.”
“Makanya kukasih tahu.”
Lagi-lagi Yudistira terkekeh. Calon adik iparnya ini sangat menggemaskan, ya, ternyata? Yudi mengacak rambut Aluna asal, membuat gadis itu memberenggut kesal.
Saat ini mereka berada di sebuah pusat perbelanjaan besar di kota Bandung. Niatnya, Aluna ingin membeli primer make-up yang kebetulan hampir habis. Sayangnya, perut mereka berdua keroncongan sehingga memutuskan untuk singgah terlebih dahulu di sebuah restoran jepang. Dan di sinilah mereka saat ini.
“Gak ada sendok ini?” Yudistira menyeret mangkuknya mendekat, menyumpit isian sup.
Aluna tergelak. “Masa miso soup pake sendok?”
“Aku nggak biasa minum langsung dari mangkuk, Lun. Aku orang Indonesia.” Yudistira nyengir polos.
“Ya cobain aja. Lebih nikmat begitu, Kak.”
“Ya sudah ....” Yudi mengangkat mangkuk. “Aku cobain, ya,” lanjutnya, menyeruput pelan kuah sup.
Langsung dari mangkuk, nggak, tuh?
Aluna memperhatikan jakun Yudi yang bergerak naik turun dari tempatnya. “Enak?”
Yudi mengangguk. “Lumayan. Walau tak bisa menggeser posisi soto Lamongan dalam dalam daftar makanan kesukaanku,” jawabnya seraya terkekeh. Menaruh mangkuk sup di atas meja. “Mau nyoba?” tanyanya.
Aluna mengangguk polos. “Boleh.”
“Tapi mangkuknya bekas aku.”
“Ya nggak apa-apa selagi nggak rabies!”
Yudi tertawa lumayan kencang di tempatnya. “Ya enggak lah, gila.”
“Kali aja,” jawab Aluna lantas mengambil mangkuk sup di depannya kemudian menyeruputnya pelan. Ia mengangguk-anggukan kepala. “Enak menurutku.”
“Ya, syukur.”
Aluna menaruh kembali mangkuk sup di atas meja. Mengangguk kecil, mengacungkan jari telunjuk di udara. “Bima biasanya suka sushi, tapi dia makannya suka pake tangan, Kak. Suka malu-maluin emang dia.”
Yudistira terkekeh. “Katanya lagi sebel sama Bima. Kok masih bahas dia aja?”
“Nggak tahu, lah.” Aluna mencebikan bibir. “Capek banget, ya, jadi orang dewasa, yang dipikirin banyak. Enak jadi anak kecil, cuma mikirin makan enak sama uang jajan doang.”
“Enakan jadi orang dewasa,” celetuk Yudi berbanding terbalik dengan Aluna.
“Kok bisa?”
“Bisa ngerasain jatuh cinta.”
“Anak kecil juga bisa.”
“Mereka mencintai orang-orang yang mau ngasih jajan aja.”
Aluna tergelak. “Kata siapa?”
“Aku.”
Aluna menendang pelan kaki Yudistira yang terbalut sepatu. “Kakak ngaco, ah.”
“Sakit, ih.” Yudistira mengaduh. Sedikit menunduk untuk mengusap kakinya seraya terkekeh pelan. “Udah makannya belum?”
Aluna mengangguk. “Udah.”
“Yuk. Katanya mau beli premium.”
Aluna tergelak. “Premium?”
“Itu yang buat make-up kamu.”
“PRIMER!” Buset dah.
Yudistira menggaruk kepalanya yang tak gatal seraya cengengesan. “Iya itu pokoknya.”
Mereka beranjak meninggalkan resto menuju toko kosmetik. Aluna berjalan mendahului Yudistira sambil celingukan. Meneliti setiap produk yang terpajang di atas rak.
“Sephora produknya mahal-mahal, Kak.”
Yudistira mengendikan bahu tak peduli. Mengekori Aluna seraya menenteng keranjang belanja. “Mana kutahu.”
“Makanya aku kasih tahu.”
“Memangnya mahal berapa? Biar Kakak bayarin.”
“Primer-nya segini.” Aluna berbalik menatap Yudistira, lantas merentangkan kelima jarinya.
“Limapuluh ribu?”
“Lima ratus ribu.”
“ASTAGFIRULLAHALAZIM!” Yudistira beristigfar. Menepuk keningnya kasar. Mulutnya menganga lebar. “Bisa bikin wajahku mirip Shawn Mendes nggak?”
Aluna tergelak. “Bisa bikin wajah kakak mirip Suga.”
“Siapa itu?”
“Pacar virtualku.”
“BTS?”
Aluna mengangguk seraya nyengir polos. Kembali celingukan melihat rak kosmetik. Memilih produk yang diinginkan.
Yudistira geleng-geleng kepala. “Bisa-bisanya sekecil ini harganya mahal banget,” gumamnya. “Komposisinya di-import dari surga apa, ya?” Ia mengusap dagunya, menenteng keranjang belanja Aluna seraya celingukan.
Aluna menghentikan langkah, mengambil satu barang dan mencobanya. “Mumpung gratis,” celetuknya seraya mengoles eyeshadow di kelopak matanya. “Gilak, pakai barang mahal. Gratis lagi.”
Di tempatnya, Yudistira geleng-geleng kepala lagi seraya terkekeh pelan. “Udah ambil. Biar kakak yang bayarin.”
“Gak mau. Aku gak niat malak!”
“Siapa yang bilang kamu malak?”
“Aku sendiri.”
Lagi-lagi Yudi terkekeh. Mengekori Aluna yang menaruh kembali eyeshadow tadi ke dalam rak. Diam-diam Yudistira mengambil kembali eyeshadow pallet itu, memasukannya ke dalam keranjang belanjaan tanpa Aluna tahu.
Duh, baik banget si abang satu ini.
“Udah ah, pulang aja,” ucap Aluna pada akhirnya. Pusing sendiri melihat harga produk yang mahalnya berada di level langit ke tujuh.
“Kok pulang?”
“Belinya di toserba aja yang drug store. Lebih murah.”
“Drug store. Apa lagi itu?”
“Produk-produk yang hampir ada di setiap toko kosmetik. Biasanya produk lokal, sih.”
Yudistira mangut-mangut kecil. “Enak 'kan jadi orang dewasa?” tanya Yudistira tiba-tiba. Aluna mendongak, sepasang alisnya bertaut. “Bisa nyobain produk mahal di sephora. Gratis.”
Aluna tertawa keras. Omongan Yudi begitu menggelitik. “Anak kecil juga bisa.”
Cerita ini hanya fiktif belaka. Tidak ada niatan untuk menyinggung siapa pun, pihak mana pun. ?