"Sewa gedung udah beres, Bim?" Rosmala menghidangkan sajian makan malamnya di atas meja. Ia baru pulang siang tadi selepas berkunjung ke Cirebon yang katanya ada pertemuan keluarga. "Ke mana Yudi?" tanya sang Ibu seolah melupakan pertanyaan sebelumnya yang bahkan belum terjawab.
"Di kamarnya, Ma," jawab Bima tanpa menoleh. Pemuda itu malah cengengesan. Sibuk berbalas pesan dengan sang kekasih.
"Gak bisa diatur anak itu!" gerutu Rosmala seraya menaruh air kobokan berisi perasan jeruk nipis ke atas meja. "Yudistira! Ke mari kamu!"
Bima menaikan sebelah kakinya ke atas kursi. Masih sibuk dengan kegiatan berkirim foto selfie dengan sang kekasih. Mendengar gerutuan sang ibu yang tak kunjung berhenti, ia menoleh kilas kendati tanpa kontribusi. Yang dilakukannya hanya mengendikan bahu tak peduli.
"YUDISTIRA ANDROMEDA RESPATI!"
Hampir saja jantung Bima melompat ke luar. Dan untungnya si f*****g latah masih bertahan di habitatnya. Rosmala berjalan cepat-cepat. Menggedor pintu kamar Yudistira yang terkunci.
Sebenarnya ada apa, sih?
Bima mencium aroma-aroma keributan yang akan meledak di rumah ini dengan segera. Ia tak mau ikut campur. Lantas Bima berdiri, mengambil sepotong tempe goreng dan berlalu pergi menuju kamar.
Mengunci pintu, Bima masuk dan merebahkan diri di atas ranjang. Tempe goreng di tangannya sudah rampung memenuhi lambung. Ia kembali pada kegiatan berfoto selfie-nya. Mengirimkan salah satunya pada sang kekasih lewat aplikasi w******p.
Bimasena
Bruntusanku gak ilang-ilang, nih.
Mbak Bulan
Makanya skincare-an
Bimasena
Biar mulus, ya. Kayak jalan tol.
Mbak Bulan
Biar mirip Suga
Bimasena
Sagu siapa?
Mbak Bulan
SUGA!!!
Bima cengengesan. Membalik badan hingga menelungkup. Samar-samar ia mendengar keributan dari arah luar. Suara Yudistira dan Rosmala yang tengah saling meninggikan suara memenuhi kupingnya. Bima menaruh ponselnya sejenak kemudian berjalan mengendap-endap mendekati pintu dan menempelkan telinga ke dinding. Menguping.
"Sampai kapan lo mau ngumpet, Yud?" suara Rosmala terdengar serius. Bima semakin dibuat penasaran.
"Pokoknya Yudi nggak suka dijodoh-jodohin, Ma!" Yudistira menyahut. Wah ... perang, nih!
"Kenapa? Mau nunggu si Kiara bangkit dari kubur. Ha? Sadar, Yud. Kiara sudah nggak ada sementara hidup kamu harus tetap berjalan!"
"MAMA! Cukup. Yudi bilang nggak mau. Ya, nggak mau!"
"Kalau kamu nggak mau dijodohin sama Sofia. Angkat kaki kamu dari rumah ini!"
"OKE!"
Bima mematung di tempatnya. Masalah itu lagi. Meski begitu, tak ada yang bisa dilakukannya selain berpura-pura tak mengetahui apa pun. Dan ... Yudistira akan dijodohkan? Untuk masalah itu Bima benar-benar baru tahu. Ia berharap semuanya berakhir baik. Apa pun yang terjadi semoga menjadi pilihan terbaik untuk kelangsungan hidup sang kakak ke depannya.
Bima masih dalam posisinya saat suara bantingan pintu terdengar begitu keras. Bima yakin Yudistira tengah murka di luar sana.
***
"Yud ... Mama nggak ada maksud ngusir lo. Gue yakin itu. Lo pikirin aja baik-baik tawaran Mama. Minimal temuin dulu aja si Sofia-Sofia itu. Masalah lanjut atau enggak itu urusan nanti." Bima berusaha menutup kembali pintu lemari yang dibuka Yudistira. Mengikuti arah gerak kakaknya ke mana pun. Tak peduli betapa risihnya Yudi melihatnya yang kini seperti ... iron man? "Yut ... lo dengerin gue, nggak?"
Yudi mencebik kesal. "Risih gue lihat lo kayak setrikaan. Udah, lo nggak usah mikirin gue. Lagian gue udah gede dan bisa hidupin diri sendiri. Lagi pula, gue bukan pengangguran. Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Awas!" Yudi mendorong bahu Bima agar menjauh. Kembali membuka lemari baju dan membereskan satu per satu pakaiannya ke dalam koper.
Bima kebingungan. Mematung dalam keheningan selagi matanya tak lepas memandang setiap gerik Yudistira kendati secelah debu. Ia mengembuskan napas panjang. Seperti biasa, Bima hanya di anggap benda pajangan dalam keluarga ini. Tak mempunyai kontribusi.
Bima menggaruk kepalanya yang tak gatal selagi Yudistira sibuk dengan semua barang yang akan dibawanya minggat. Ekspresi wajah Yudi tampak tenang, seolah melupakan percekcokan yang terjadi beberapa menit lalu.
"Lo mau pergi ke mana?" tanya Bima penasaran. Duduk di ujung ranjang seraya membantu melipat celana dalam Yudi. Lah, dibantu juga, 'kan?
"Nyari apartemen mungkin."
"Udah nemu?"
Yudi menggeleng seraya terkekeh pelan. "Kan gue bilang mau nyari," ucapnya.
"Lo gila. Terus selagi lo belum nemu, lo mau tidur di mana? Ngegembel?"
"Nginep di hotel selama beberapa malam. Atau ... tidur di mushola or nginep di kantor juga gue siap. Gue cowok, Bim. Siapa yang mau merkosa gue?"
Bima tergelak. Kakaknya ini memang super santuy. "Kali aja ada waria ngajak one night stand."
Yudi menatap sang adik datar. "Gue masih normal."
Bima nyengir kuda di tempatnya. Ah, mau bagaimana lagi? Sekuat apa pun Bima berusaha menahan Yudi agar tetap tinggal, semua hanya akan berakhir sia-sia. Yudistira selalu menepati apa pun yang keluar dari mulutnya karena bagi Yudi, harga diri di atas segalanya. Dan semua berawal dari ucapan. Penting untuk selalu bertanggung jawab dengan apapun yang keluar dari mulut. Tadi dirinya sudah mengiyakan permintaan sang ibu untuk keluar dari rumah, dan kali ini Yudi harus menepatinya.
"Gue nitip Mama sama Papa, ya." Yudi menurunkan kopernya. Menepuk pelan bahu Bima. Tersenyum tipis padanya.
Sialan. Kok jadi sedih begini, ya? Dewa batin Bima bersahutan. "Kurang ajar lo!" Bima merentangkan kedua tangannya hingga mereka berpelukan singkat. "Lo jangan lama-lama, ya. Palingan besok lusa Mama udah nyuruh gue buat nyariin lo. Lo tahu 'kan, ngambeknya Mama nggak pernah lama?"
Yudistira terkekeh pelan. Menepuk punggung sang adik beberapa kali. "Udah. Gue mau berangkat dulu," ucapnya. Melonggarkan pelukan dan menarik kopernya menuju pintu.
"Yud!" panggil Bima. Di ambang pintu, langkah Yudi terhenti dan menoleh. Yudi menautkan sepasang alisnya skeptis saat Bima melangkah menghampirinya. "Lo hubungin saja Aluna. Siapa tahu dia bisa dapet informasi seputar unit apartemen yang kosong. Gue pernah dengar kalau temannya ada niatan buat sewain apartemennya. Lokasinya juga nggak jauh-jauh amat dari JB grup. Dijamin lo nggak bakal kesiangan saat berangkat kerja."
"Serius?"
Bima mengangguk yakin. "Tapi ... itu juga kalau belum disewa sama yang lain."
***
BHACOT SQUADD
Aluna
Ishaq. Apartemen lo yang di kawasan Dago itu belum disewa orang 'kan?
Sesha
Ngapain nanya soal apartemen? Lo mau tinggal berdua bareng Bima?
Aluna
Kagak. Enak aja.
Sesha
Terus?
Aluna
Yudi nanyain.
Sesha
Ha? Mau ngapain pangeran ganteng itu nanyain sewa apartemen?
Aluna
Mau nyewa, lah. Mau apa lagi?
Sesha
Butuh temen tidur nggak? Coba tanyain!
Aluna
Mlz.
Sesha
Anying.
Aluna
Ini penghuni grup pada meninggal apa gimana, sih?
Gery
Gue di sini, memperhatikan kalian sedari tadi.
Sesha
Ngapa nggak ikut ngerecokin. So sibuk amat lo!
Aluna
Yang gue butuhin sekarang cuma Ishaq. Ngapa malah rayap-rayap macam kalian yang muncul?
Kinan
RAYAP GAK TUH?
Ishaq
Masih kosong, Lun. Japri, ya.
Aluna
Ok.
Yudistira mengernyitkan Alis membaca deretan pesan grup w******p Aluna yang isinya begitu absurd. Ia tertawa kecil, terlebih setelah membaca pesan Sesha yang terlihat seperti ... penggemar rahasianya? "Ini Sesha yang pernah minta nomor aku, 'kan?" tanya Yudistira seraya menyerahkan ponselnya kembali pada Aluna.
Aluna mengangguk. Memasukan kembali ponselnya ke dalam tas. "Iya. Dia belum sembuh," celetuk Aluna. Yudistira kembali terkekeh mendengarnya.
Kali ini mereka tengah memasuki Grand House Residence, di daerah Dago. Tempat di mana Ishaq menyewakan unit apartemennya. Aluna dan Yudi berjalan memasuki lift menuju lantai sebelas. Sesuai arahan Ishaq, mereka harus memasuki unit 105. Setelah beberapa pertimbangan dan negosiasi, akhirnya Yudi memenuhi syarat untuk menjadi pihak penyewa. Dengan harga bayar yang telah disetujui kedua belah pihak—tentu saja dibantu Aluna—mereka sepakat untuk saling bekerja sama. Menyewa dan menyewakan.
Pintu lift terbuka, mereka berjalan beriringan menuju unit 105. Setelah berhasil menekan beberapa digit password, mereka pun memasuki ruangan. Syukurlah, perabotan utama di dalamnya terbilang lengkap. Ternyata Ishaq manusia sungguhan. Masih mempunyai hati yang membuatnya menyisakan beragam perabotan penting. Jadi, Yudi tak perlu repot-repot membeli baru. Pria itu cukup membawa badan, pakaian dan alat mandi saja.
"Untung perabotan utamanya masih lengkap, ya, Kak?" Aluna mondar mandir layaknya setrikaan. Mengubek seisi ruangan dengan meneliti setiap barang mulai dari lemari pakaian, kamar mandi, pantry, juga lemari es. "Kulkasnya ada telurnya, Kak."
"Telur jaman kapan itu?"
Aluna mengendikan bahunya seraya nyengir kuda. "Ya nggak tau."
Yudistira duduk di tepian ranjang dan menaruh koper di sampingnya. "Ruangannya lumayan juga, ya?" tanyanya seraya menyapukan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Ia mencopot ransel dan menaruhnya sembarangan.
"Lumayan lah. Deket juga 'kan ke JB grup?"
"Limabelas menit naik mobil."
"Cepet banget."
"Itu kalau nggak macet," ucap Yudistira seraya terkekeh pelan. "Kalau macet beda lagi ceritanya. Eh, itu telurnya dibuang aja, lah!" perintahnya saat melihat Aluna yang sibuk memainkan telur ayam dari balik kulkas. Sadar apa yang dilakukannya, Aluna nyengir, mengambil kantong plastik dan membuang seluruh telur ke tempat sampah.
"Beres." Aluna menepukan kedua telapak tangannya guna mengusir kotor. "Untuk makan siang nanti delivery go food saja, Kak. Dapurnya kan masih kosong. Nggak ada apa-apa. Jadi nggak usah masak," jelasnya. Yudistira hanya mengangguk pelan. Masih duduk di tepian ranjang.
"Kamu laper, nggak?" tanya Yudistira seraya bangkit dari posisinya, berjalan mendekati Aluna yang duduk santai di atas sofa.
Aluna menggeleng. Menggeser posisi duduknya untuk memberikan ruang bagi Yudistira. "Nggak. Aku udah makan tadi. Kakak lapar?"
"Nggak. Aku juga udah makan tadi di rumah Ishaq."
Sedikit cerita. Setelah Yudistira meninggalkan rumah kemarin malam, ia berniat untuk menyewa hotel sementara. Tapi ... kalau dipikir-pikir lagi, biaya sewa hotel lumayan juga. Terlebih tabungannya akan dikuras habis untuk pembayaran apartemen nanti. Yudistira pun memutuskan untuk tidur di mesjid atau pun mushola sebelum benar-benar diperbolehkan menghuni apartemen. Untung saja Aluna membantunya dengan meminta permohonan kepada Lord Ishaq si pengendali keadaan. Dan setelah beberapa pertimbangan, Ishaq memperbolehkan Yudi untuk menumpang tidur di rumah barunya. Hingga pagi hari tiba, perbincangan soal sewa apartemen terjadi dan berikutnya Yudistira bergegas meninggalkan rumah Ishaq untuk pergi menuju tempat barunya.
"Ishaq nggak ngapa-ngapain Kakak, 'kan?" tanya Aluna tiba-tiba.
"Ngapa-ngapain bagaimana?"
Aluna mendekatkan mulutnya ke telinga Yudi seraya berbisik, "Katanya dia nggak suka cewek!"
Yudistira tergelak sebelum kemudian tertawa samar. "Hush. Jangan ghibah. Semalam dia video call sama seorang wanita, kok. Kukira itu pacarnya."
Ha? "Palingan kamuflase. Biar nggak dikira macem-macem sama Kakak."
Lagi-lagi Yudistira tertawa kecil. Mengacak pelan rambut sang calon adik ipar hingga gadis itu mencebik kesal. "Kakak doyan banget ngacak-ngacak rambut aku, ya?"
"Masa sih?"
"Iya. Setiap kali bertemu, ada saja hal yang membuat Kakak ngacak-ngacak rambut aku. Dan setelahnya malah cekikikan tanpa dosa," protes Aluna tanpa tedeng aling-aling. Alih-alih tersinggung, Yudistira malah tertawa kencang mendengarnya.
"Sorry. Sorry!"
"Eh, Kak?" Aluna membetulkan posisi duduknya. Menyerong menghadap Yudistira yang menautkan sepasang alisnya skeptis.
"Kenapa?"
Aluna menggaruk kepalanya. Nyengir polos memandang Yudistira yang masih serius menatapnya. "Enggak jadi. Hehe."
"Serius?"
Alih-alih menjawab, Aluna malah menundukan pandangannya ragu-ragu seraya memainkan jemari. "Janji, ya, nggak bakal marah?" ucapnya. Masih enggan menatap manik Yudistira.
Yudistira semakin penasaran. Iyain aja lah. Marah mah urusan nanti. "Iya. Kenapa?"
Aluna menggigit bibir bawahnya. Ragu-ragu menatap manik Yudistira yang kini menguncinya. "Kakak kenapa minggat dari rumah?"
Yudistira mengerjap beberapa kali. Dia kira apa? "Karena ingin."
"Serius, Kak?"
Terjadi keheningan sesaat sebelum Yudistira membuka mulutnya. "Aku nggak suka dijodohkan," ucap Yudistira pada akhirnya.
Dijodohkan? Aluna mematung di tempatnya.
"Aku pergi untuk menata hidupku sendiri."
Aluna mengusap lengan Yudistira. "Aku mengerti. Maaf menanyakan hal yang tak seharusnya."
Yudistira menggeleng pelan di tempatnya. "Nggak apa-apa. Memang seharusnya aku membagi bebanku biar terasa lebih ringan."
"Hidup harus berjalan. Kalau Kakak tak menyukai gadis pilihan mereka, Kakak punya hak untuk menolak."
"Dan mereka tak mau mengerti itu."
Aluna mematung. Apa yang harus dilakukannya kalau sudah begini? Bodoh memang. Entah kenapa ia menyesali perbuatannya. Kenapa pula harus menanyakan hal yang tak seharusnya?
“Ada cara yang bisa menghindari perjodohan,” ucap Yudi. Atensi Aluna teralih seketika. Mereka duduk saling berhadapan bagai bidak catur.
“Apa itu?”
“Berpura-pura menggandeng seseorang.”
Aluna tertawa kecil. Kok malah mirip cerita di novel romance? “Menggandeng siapa?”
“Kalau kamu bersedia boleh juga.”