Mengiris hati

1484 Kata
"Yang kutahu cinta adalah jalinan kasih dengan tanda pengikat tak hanya janji suci untuk asma Tuhan yang maha kuasa segala maha kehendak. Tapi ketika cinta itu datang ia pun yang memetik tentang cinta itu sendiri," Ye-Rin duduk di sofa tunggu, menghampiri ranjang kasur dengan Yamada Hitachi yang masih tergulai di atas tempat tidur sementara ponselnya bergetar tanpa nada diatas nakas lemari kecil. Anosognosia merupakan kondisi ketika seseorang menolak atau tidak menyadari penurunan fungsi sarafnya. Hal ini bukan dampak dari sikap seseorang yang tidak peduli, tetapi akibat kerusakan otak yang memengaruhi persepsinya. Anosognosia bisa membaik bila penyebabnya ditangani. Tidak semua orang bisa menerima kenyataan bahwa dirinya menderita penyakit berat, bahkan ada yang sampai menolak diagnosis. Namun, hal ini biasanya berkaitan dengan faktor psikologis dan termasuk dalam fase berduka, yaitu fase menyangkal. Berbeda jika penolakan muncul karena kerusakan otak akibat penyakit yang diderita. Sebagai contoh, seseorang yang mengalami kerusakan otak akibat stroke menyadari bahwa terjadi kelumpuhan pada sebagian tubuhnya, tetapi ia terus menolak bahwa dirinya lumpuh. Kondisi ini disebut juga anosognosia. Orang dengan anosognosia mungkin tampak sangat keras kepala dan tidak mau menerima kenyataan. Namun, kondisi ini bukan termasuk respons psikologis dalam keadaan berduka, melainkan gangguan di bagian otak yang memproses persepsi. Apa Penyebab Anosognosia? Penyebab anosognosia belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa anosognosia terjadi akibat adanya kerusakan fungsi atau struktur otak, yaitu lobus frontal. Lobus frontal adalah bagian terbesar pada otak yang berperan penting bagi pergerakan tubuh serta mengatur emosi dan pengendalian diri. Tidak hanya itu, lobus frontal juga memiliki peran untuk menerima informasi baru. Oleh karena itu, saat lobus frontal mengalami gangguan atau kerusakan, seseorang akan kehilangan kemampuan untuk menerima informasi baru dan memperbarui persepsinya tentang diri sendiri secara keseluruhan. Kerusakan pada otak, terutama pada lobus frontal, dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: Aneurisma otak Tumor otak Stroke Cedera kepala berat Epilepsi Sleep apnea Keracunan karbon monoksida. Selain itu, penyakit Alzheimer, demensia, gangguan bipolar, skizofrenia, atau penyakit Huntington juga bisa menimbulkan gangguan pada lobus frontal dan memicu seseorang mengalami anosognosia. Bagaimana Cara Mengatasi Anosognosia? Tidak ada obat yang efektif mengatasi anosognosia. Namun, kondisi ini bisa membaik bila penyebabnya ditangani dengan tepat. Sebagai contoh, anosognosia yang dikaitkan dengan epilepsi perlu mendapatkan pengobatan dengan obat antiepilepsi. Untuk anosognosia yang disebabkan penyakit gangguan skizofrenia, dokter akan memberikan obat antipsikotik, seperti chlorpromazine dan clozapine. Sementara itu, penderita stroke umumnya memerlukan rawat inap di rumah sakit serta mendapatkan obat-obatan medis yang dibawa pulang ke rumah dan perlu menjalani fisioterapi. Selain penanganan medis untuk mengatasi penyakit yang mendasari anosognosia, berikut ini adalah beberapa perawatan yang juga diberikan untuk mengatasi anosognosia: Psikoterapi Salah satu cara untuk mengatasi anosognosia adalah dengan melakukan psikoterapi, seperti terapi perilaku kognitif (CBT).Terapi ini akan dijalani bersama dengan terapi obat-obatan untuk membantu penderita anosognosia menyadari dan menerima penyakitnya. Selain CBT, terapi peningkatan motivasi (MET) juga dapat menjadi salah satu cara mengatasi anosognosia. Terapi MET dapat memotivasi pasien untuk mendapatkan perawatan dan menerima kondisi penyakit yang diderita. Pendampingan Orang yang mengalami anosognosia sangat mungkin menolak minum obat atau menjalani terapi, karena ia memang merasa tidak sakit. Oleh karena itu, pendampingan dan dukungan dari keluarga sangat penting guna menjaga kelancaran pemulihan. Penderita anosognosia juga sangat mungkin mengalami hambatan sosial maupun aktivitas akibat dampak dari penyakit yang diderita, misalnya sulit berjalan dengan normal, tidak mampu membedakan sendok dan garpu, dan kesulitan mengingat letak suatu barang. Agar pendampingan berjalan dengan baik, pihak rumah sakit biasanya akan memberikan pelatihan khusus kepada keluarga maupun orang yang akan merawat pasien di rumah. Perlu diingat bahwa anosognosia terjadi karena gangguan fungsi pada otak, bukan karena respons alamiah ketika mendengar kabar buruk. Oleh karena itu, pendampingan dan dukungan dari orang sekitarnya serta pengobatan medis sangat diperlukan. Dengan terapi yang tepat dan dukungan dari keluarga terdekat, penderita anosognosnia dapat terus mendapatkan pengobatan dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Bila ada anggota keluarga Anda didiagnosis penyakit yang memengaruhi otak dan tampak mengalami anosognosia, Anda bisa mengonsultasikannya ke dokter secara online melalui chat. Dengan konsultasi ini, Anda bisa mendapatkan informasi mengenai penanganan yang tepat dan sesuai. Berdasarkan teori, saat sedang berduka atau mendapatkan berita buruk, setiap orang akan mengalami 5 fase berduka yang terdiri dari fase menyangkal, marah, tawar-menawar, depresi, dan menerima. Pada setiap orang, fase-fase ini bisa dilewati dengan cara, urutan, dan waktu yang berbeda-beda. Teori 5 fase berduka ini pertama kali dikemukakan oleh seorang psikiater bernama Elisabeth Kubler-Ross. Berkat teori tersebut, psikolog atau psikiater bisa membantu dalam membimbing seseorang ketika ia sedang menjalani situasi sulit dalam hidupnya. Perasaan sedih dan berduka merupakan respons alami ketika seseorang mengalami peristiwa atau kejadian yang buruk, baik itu meninggalnya anggota keluarga, perceraian, atau ketika didiagnosis penyakit serius, seperti kanker atau HIV. Meski normal dialami, nyatanya perasaan ini tidak selalu mudah untuk dihilangkan. 5 Fase Berduka yang Perlu Diketahui Setelah mengalami kejadian traumatis atau suatu peristiwa yang buruk, seseorang akan melalui 5 fase berduka berikut ini: 1. Fase menyangkal (denial) Penyangkalan merupakan tahapan berduka yang pertama. Pada tahap ini, seseorang cenderung akan meragukan atau menyangkal bahwa ia sedang mengalami peristiwa buruk. Misalnya, seseorang yang baru saja terdiagnosis penyakit berat mungkin akan berpikir bahwa terdapat kesalahan dalam diagnosis tersebut. Ini merupakan respons alami manusia untuk meminimalkan luka batin atau emosional yang sedang dirasakan. Dengan begitu, seiring berjalan waktu, ia akan mulai bisa menghadapi kenyataan tersebut. Fase denial ini sedikit mirip dengan kondisi anosognosia, saat penderita penyakit tertentu menolak atau tidak menerima kondisinya. 2. Fase marah (anger) Setelah melewati fase menyangkal, seseorang yang sedang berduka akan merasa marah dan tidak terima bahwa ia sedang mengalami peristiwa buruk. Hal ini juga bisa membuatnya menjadi frustasi, lebih sensitif, tidak sabaran, dan mengalami perubahan mood. Pada fase ini, ia mungkin juga akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti “mengapa harus saya?” atau “apa salah saya, sehingga hal ini harus terjadi pada hidup saya?”. Amarah ini bisa ditujukan kepada siapa saja, baik pada diri sendiri, orang lain, benda di sekitar, atau bahkan kepada Tuhan. 3. Fase tawar-menawar (bargaining) Layaknya api yang semula berkobar lalu padam, fase marah secara perlahan juga akan terganti. Setelah melalui fase marah, orang yang sedang berduka akan melalui fase tawar-menawar. Ini merupakan bentuk mekanisme pertahanan emosional seseorang agar ia bisa mengambil kontrol kembali atas hidupnya. Fase ini umumnya ditandai dengan rasa bersalah, baik pada diri sendiri atau orang lain. Selain itu, ketika memasuki fase ini, mereka juga akan mencari cara untuk mencegah terjadinya peristiwa buruk yang sedang dialami di kemudian hari. 4. Fase depresi (depression) Setelah upaya untuk menolak dan mengubah kenyataan pahit yang dialaminya tidak berhasil, orang yang berduka kemudian akan merasa sedih, kecewa, dan putus asa yang teramat dalam. Ini merupakan bagian dari proses terbentuknya luka batin yang normal terjadi. Fase depresi ini umumnya ditandai dengan rasa lelah, sering menangis, sulit tidur, kehilangan nafsu makan atau justru makan berlebihan, dan tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Fase ini bisa dikatakan fase terberat dan perlu diwaspadai. Pasalnya, rasa duka dan luka emosional yang dirasakan bisa saja menimbulkan ide atau percobaan untuk bunuh diri. 5. Fase menerima (acceptance) Penerimaan adalah tahapan akhir dari fase berduka. Pada fase ini, seseorang sudah bisa menerima kenyataan bahwa peristiwa buruk yang ia alami benar-benar terjadi dan tidak dapat diubah. Kendati mungkin perasaan sedih, kecewa, dan penyesalan masih ada, tetapi di tahap ini, seseorang sudah mulai bisa belajar dan menyesuaikan diri untuk hidup bersama kenyataan yang baru dan menerima hal tersebut sebagai bagian dari perjalanan hidupnya. Bahkan, jika orang tersebut bisa berpikir positif, mereka akan menjadikan pengalaman pahit yang dialaminya sebagai pembelajaran untuk bisa berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Tips untuk Bangkit dari Peristiwa Buruk Setiap orang akan melewati setiap fase berduka dengan cara dan waktunya masing-masing. Kamu bisa saja tidak mengalami setiap fase berduka di atas, atau justru bolak-balik dari fase berduka yang satu ke fase lainnya. Ini semua merupakan hal yang normal terjadi dan termasuk bagian dari proses penyembuhan luka batin. Nah, untuk membantu kamu atau orang terdekatmu berdamai dengan keadaan dan bangkit dari peristiwa yang tidak menyenangkan, cobalah ikuti beberapa tips berikut ini: Habiskan waktu lebih banyak dengan orang-orang terdekat. Namun, jika kamu ingin sendirian, kamu bisa meminta waktu untuk menyendiri hingga kamu merasa lebih baik. Hindari memendam duka mendalam seorang diri. Cobalah bercerita atau curhat dengan orang terdekat atau orang yang kamu percaya. Jika kesulitan untuk berbicara dengan orang lain, coba tuangkan isi hatimu dengan menulis jurnal harian mengenai emosi, perasaan, angan-angan, atau harapanmu. Kelola stres dengan melakukan aktivitas yang menyenangkan dan bisa membantumu menenangkan diri, misalnya dengan olahraga secara teratur, meditasi, atau berdoa. Konsumsi makanan bergizi seimbang dan istirahat yang cukup. Hindari coping mechanism yang kurang baik, misalnya mengonsumsi minuman beralkohol, menggunakan narkoba, merokok, atau menyakiti diri sendiri. Berduka memang bagian dari kehidupan yang sering kali tak bisa dihindari. Namun, jangan sampai ini terjadi secara berlarut-larut. Jika kamu atau orang terdekatmu merasa sulit untuk menerima kenyataan pahit setelah mengalami peristiwa buruk, terlebih jika sudah menimbulkan gejala gangguan kesehatan, seperti depresi, gangguan cemas, insomnia, atau gangguan psikosomatik, ada baiknya hal ini dikonsultasikan dengan psikolog atau psikiater, ya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN