5 - Dua Perempuan

1591 Kata
Dulu, Sherin menganggap Barra adalah rumah tempatnya pulang setelah dunianya yang bisa dibilang hanya bersinggungan dengan pasien di rumah sakit dan rumah saja. Barra selalu menjadi tempat ternyaman untuk bercerita dan menumpahkan lelahnya. Tapi itu dulu, sebelum Belinda muncul dan membuat kepercayaannya pada sang kekasih luntur seketika. "Ngelamun aja pacarku yang cantik." Sherin terperanjat saat Barra mengecup pipinya tiba-tiba. "Eh, nggak ... aku nggak ngelamun." Dengan gerakan perlahan ia mengusap pipinya tepat di atas bekas kecupan Barra. "Tuh, daritadi bengong aja sambil ngaduk sereal. Mau aku suapin, hmm?" tawar Barra langsung mengulurkan tangan. Namun Sherin gegas menarik mangkuk serealnya menjauh dari jangkauan pria itu. "Aku bisa makan sendiri, Bar." Sherin tersneyum miring lalu kembali menyuap makanannya. "Hampir dua minggu loh kita nggak ketemu, kamu nggak kangen apa? Kok malah cuek gitu? PMS?" Barra menarik kursi yang ia duduki mendekat dan langsung merangkul pundak Sherin. Sherin menggeleng tak bersemangat. "Lagi capek aja, tadi pasiennya membludak banget. Subuh-subuh udah operasi dadakan pula." "Nanti kalau kita nikah, kamu boleh berhenti aja biar nggak capek cari uang. Tinggal diam dan leha-leha di rumah, aku aja yang kerja keras buat keluarga kita." Terdengar manis bukan? Namun menjadi dokter sesuai dengan apa yang Sherin cita-citakan bukanlah perkara mengejar uang semata. Ada hal lain yang ingin ia capai dalam hidup, salah satunya menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa yang ia bisa. "Aku mau menolong orang sebanyak mungkin, Bar. Passion-ku bukan fokus di uangnya." Sherin meletakkan sendok di tengah mangkuk dan menatap Barra lekat-lekat. "Oke, oke ... aku nggak mau berdebat, Sayang," sahut Barra tersenyum lebar saat mengangkat kedua tangannya. "Aku punya kabar baik, by the way." Barra sengaja mengalihkan topik pembicaraan begitu menyadari suasana hato sang kekasih sedang tak baik-baik saja. "Kabar baik apa?" Sherin mendongak dan mengamati binar cerah di mata kekasihnya. "Kemarin waktu di Jakarta aku mampir ketemu opa, sekalian bawain bonsai kesukaannya." Sherin mengernyit sekilas, pantas saja kemarin saat ia melakukan video call dengan sang opa ia melihat ada satu bonsai baru yang diletakkan di sudut taman favorit kakeknya itu. Bisa jadi itulah bonsai pemberian Barra. “Kamu … nggak ngomong apa-apa ke opa kan?” Jujur saja Sherin tak siap jika Barra mencuri start menceritakan lamarannya beberapa waktu yang lalu pada sang kakek. Jangan dulu, karena Sherin sedang sibuk memutar otak untuk putus dari Barra dan membalas pengkhianatan pria itu. “Tentang lamaranku?” Ternyata Barra menangkap tebakan Sherin dengan baik. Sherin segera mengangguk lalu mengambil botol air dan meneguknya sedikit lebih banyak saat menunggu kelanjutan kalimat Barra. “Tadinya aku mau langsung kasih tahu opa tentang kemajuan hubungan kita. Tapi … akhrinya aku mutusin nunggu persetujuan dari kamu. Kita bisa kasih tahu opa bareng—” “Jangan dulu!” potong Sherin membuat Barra menautkan alisnya. “Kenapa?” Sherin memejam sejenak, tatkala pesan-pesan mesra antara Barra dan Belindan melintas di ingatannya. “Jujur saja … aku mulai nggak yakin dengan hubungan kita, karena itu aku nggak mau bikin Opa kecewa kalau nantinya hubungan kita berujung sia-sia.” ujarnya spontan. “Maksudnya?” Bukan hanya menampilkan raut wajah bingung, kali ini Barra justru terkejut dan sedikit tak terima. “Kita udah pacaran empat tahun, Sayang, dan kamu bilang apa? Nggak yakin sama hubungan kita?” Sherin menelan ludah susah payah. Ia sangat jarang berdebat dengan Barra, jadi wajar kalau ia terkesiap begitu kekasihnya itu menaikkan volume suaranya. “Lamanya sebuah hubungan nggak menjamin apa-apa, Bar. Aku hanya perlu meyakinkan diriku sendiri tentang hubungan kita ini. Dan … seharusnya kamu juga melakukan hal yang sama.” Sherin mengatakan hal tersebut tanpa membalas tatapan Barra. Bahkan gadis itu lebih sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, hendak mendahului Barra yang berniat mengantarnya ke rumah sakit. “Sherin … hei, kamu kenapa sih?” Barra menahan lengan Sherin yang hendak bangkit dari ruang makan. “Aku lagi banyak pasien hari ini, Bar. Ada operasi juga jam sepuluh nanti,” jawabnya sambil melirik arloji lawas pemberian dari mendiang ayahnya. “Kita obrolin lain kali ya?” Suasana hati Sherin memang sedang tak baik-baik saja belakangan ini. Apalagi memang hari ini kegiatannya luar biasa padat di rumah sakit. Dua jam lagi ada salah satu pasiennya yang akan melahirkan bayi kembar dan dijadwalkan menjalani operasi caesar. Lalu sudah ada puluhan ibu hamil lain yang menunggu jam praktiknya di siang hari dan biasanya baru berakhir tiga jam setelahnya. “Kita obrolin sekarang aja bisa?” Barra ikut bangkit berdiri sambil mengusap punggung tangan Sherin dengan jemarinya. “Aku serius sama kamu Sherin. Aku pengen kita menikah dan menua bersama,” suara Barra kembali mengalun manis. Namun tak semanis kenyataan di mana satu minggu yang lalu sebelum pria itu terbang ke Medan dan Jakarta, Sherin kembali mendapati Barra tengah berduaan dengan Belinda. Bahkan lagi-lagi keduanya bermalam di hotel dengan alasan yang sama. Lembur kerja. “Menikah dan menua bersama itu lama, Bar. Karena itu kita berdua harus sama-sama yakin, juga introspeksi sebelum melangkah ke sana,” tegas Sherin kali ini membalas tatapan Barra tanpa takut. “Sayang, bilang sama aku … aku salah apa sampai kamu kayak gini?” Barra mencoba bersabar. “Kalau begitu tanya ke diri kamu sendiri, apa sudah setia selama empat tahun ini?” Skakmat!! Barra spontan melepas tangannya yang semula menggenggam jemari lentik Sherin. Tak menyangka kekasih yang selama ini diam dan penurut mulai meragukan kesetiaannya. Bahkan saat dokter cantik itu melenggang melewatinya dan menghilang di pintu utama, Barra tetap bergeming di tempatnya berdiri sambil menerka-nerka. Sejak kapan Sherin mengendus hubungan terlarangnya dengan Belinda? *** “Jadi ada acara apa nih?” Belinda tersenyum lebar ketika Barra masuk ke unit apartment miliknya. “Kamu pasti kangen aku ya? duuuh, ngaku aja sih … padahal baru sehari nggak ketemu,” sambungnya sembari menjawil dagu pria yang selama ini menjalin hubungan dengannya. “Aku mau ngomong serius.” Bukannya menjawab Belinda, Barra langsung meraih pergelangan tangan kekasih gelapnya itu lantas mendudukkannya di sofa ruang tengah. “Hmm? Kamu mau kita main di sofa? Boleh…” Belinda terkikik ketika Barra malah melengos meliriknya. “Serius, Bel. Please, kali ini jangan potong ucapanku!” tegas Barra mengabaikan godaan tangan Belinda yang kini mengusap-usap rahangnya dengan gerakan agresif. “Ya udah buruan ngomong, nanti gantian yaa… aku ngomong, kamu jangan motong kalimatku.” Belinda mengedipkan mata manja. Lalu ia memposisikan diri duduk tenang dan memasang wajah serius saat membalas tatapan atasan sekaligus kekasih gelapnya itu. “Hubungan kita harus benar-benar berakhir kali ini.” Barra membuka suara sembari menyugar rambut tebalnya. Frustasi dengan hubungannya dengan dua perempuan yang sangat bertolak belakang ini. Belinda yang cantik dan agresif, atau Sherin, si cantik yang penurut dan tenang. Belinda urung buka suara saat Barra mengangkat satu telapak tangan, memberi isyarat agar ia tutup mulut dan menyimaknya dengan benar. "Aku mencintai Sherin. Sangat. Aku ingin menikahinya. Aku juga sangat menyayangi kakeknya yang begitu loyal membantu keluargaku, dan aku juga mau membantu beliau melebihi apa pun. Jadi yaa … aku ingin kita benar-benar putus karena aku mau memperbaiki hubungan dengan Sherin. Apalagi sepertinya dia … mulai curiga dengan hubungan kita.” Belinda masih memasang wajah datar. Kali ini tatapannya tak putus saat mendengarkan penjelasan Barra yang terlalu bertele-tele. “Kamu bilang sangat mencintai Sherin si manja itu, tapi … kenapa tidur berkali-kali denganku?” sindir Belinda begitu Barra diam menunggu responnya. “Khilaf? atau keenakan?” “Bel,” potong Barra nyaris hilang sabar. “Aku capek berdebat! Intinya cuma satu, aku mau kita putus!” Pria itu bangkit berdiri sambil mengangkat telunjuknya memberi penegasan. “Nggak akan pernah!” sambar Belinda tak mau kalah. “Besok aku siapkan surat tugasmu, buat pindah ke cabang Medan.” Belinda nyaris meledak. “Enggak, Barra. ENGGAK!!” Barra tak mau luluh lagi. Jadi ia menyambar jas yang tadi ia lepaskan lalu memakainya dengan cepat. “Cek juga rekeningmu, aku sudah transfer sejumlah uang. Rasanya cukup untuk membeli rumah atau apartment baru.” “Aku bukan p*****r, Bar!” sentak Belinda ikut berdiri dan menahan lengan Barra. “Aku nggak pernah anggap kamu seperti p*****r, Bel. Aku sayang sama kamu, tapi aku juga realistis. Ini buat kebaikan kita bertiga, aku, Sherin dan juga kamu sendiri.” Barra menangkup kedua pipi Belinda lantas memberi ciuman lembut di bibirnya. “Maaf, sepertinya ini terakhir kali kita bertemu, dan aku harap aku hidup dengan baik dan bahagia setelah ini. Please,” pungkas pria itu lantas pergi begitu saja dari apartment Belinda. Tanpa peduli dengan perempuan cantik yang sudah menangis tergugu di belakangnya. Cukup lama Belinda tergugu ditemani air mata yang menetes satu demi satu. Sampai akhirnya bisa tenang dan sadar kalau hidupnya mulai berantakan sejak detik ini. Detik di mana Barra yang ia puja bak seorang dewa ternyata begitu mudah mencampakkan dirinya seperti sampah. Belinda tak mau tinggal diam, dan hancur sendirian sambil melihat Barra dan Sherin berakhir bahagia. Beberapa menit setelah ia mengumpulkan kesadaran, jemarinya dengan gesit mencari nomor seseorang yang sekiranya bisa membantunya membalas patah hati yang disebabkan oleh Barra. “Hallo, mantan… tumben nih telepon malem-malem?” suara seorang pria terdengar begitu Belinda menempelkan ponsel ke telinga. “Di mana, Hel? sibuk nggak? aku punya permintaan terakhir karena sebelum pindah keluar kota.” Belinda mengusap ujung matanya yang masih basah. “Tinggal bilang aja, apa sih nggak buat kamu. Minta dunia juga aku kasih.” Itu suara Helga, mantan kekasih Belinda yang sampai saat ini masih berhubungan baik dengannya layaknya sahabat lama. “Aku mau kamu bikin hajar sampai mampus seseorang yang udah bikin aku sakit dan patah hati.” “Siapa nama b******n itu?” “Namanya Sherinta Ade Wiryawan, habis ini shareloc alamat rumahnya.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN