4. Setelah Mimpi

1000 Kata
Saya baru sadar piyama pasien lah yang kini menempel di badan saya. Juga ... ada selang yang tersemat di kedua lubang hidung saya. Apa yang terjadi sebenarnya? Saya berada di sini. Berarti saya sakit. Tapi bagaimana bisa? Yang terakhir saya ingat adalah menjadi peladen di rumah Bude Pangestutik, Lazuardi yang mengatakan hal-hal ngelantur, lalu saya pulang dan tidur. Kemudian saya mimpi bertemu Nina. Hanya itu. Lalu kenapa tiba-tiba saya ada di sini? "Kamu udah bangun, Le?" tanya Ibuk dengan nada khawatir yang kentara. "Kenapa aku bisa di sini, Buk?" "Kamu nggak inget?" Aku menggeleng. "Sama sekali nggak inget." "Ntar Ibuk ceritain, ya. Ibuk manggil dokter dulu, soalnya kemarin dokter bilang kalau kamu bangun, harus langsung memanggilnya." "Kemarin?" "Iya kemarin ...." Berarti saya cukup lama tidak sadarkan diri. Aneh, padahal rasanya saya baru tidur sebentar. "Emang udah berapa hari aku di sini, Buk?" Ibuk menghitung sampai jarinya mencapai angka lima. "Lima hari." Saya melotot seketika. Selama itu? Ibuk melenggang pergi tanpa pamit. Sementara saya masih bertanya-tanya dengan apa yang sudah terjadi. Pandangan saya menyapu pada beberapa tombol di dinding. Ada tombol emergency juga. Ya Allah ... ngapain Ibuk repot-repot keluar kalau di sini ada cara yang gampang? "Untuk saat ini kondisi pasien stabil. Hanya saja pemeriksaan lanjutan waktu itu masih belum selesai kami lakukan. Semoga hasilnya baik." Dokter itu menjelaskan dengan sabar. Sebenarnya tersirat keanehan di rautnya. Tapi saya tidak mau menerka-nerka. Lagipula saya sehat kok. Dari kecil saya jarang sakit. Sekalipun sakit paling hanya batuk, pilek, sembelit, dan kebalikannya sembelit. Dokter dan dua suster itu berpamitan, melenggang pergi meninggalkan kamar saya. "Duh ... kamu bikin Ibuk takut setengah mati. Hati Ibuk rasanya kayak ilang karena kamu nggak sadar-sadar." Seperti biasa, Ibuk jarang bicara dengan nada serius. Cenderung memarahi saya malah. Tapi kekhawatiran itu tersirat jelas. Membuat saya merasa bersalah, meski belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. "Emangnya awal kejadiannya gimana, sih, Buk? Aku bener-bener nggak inget." Ibuk menarik napas panjang sembari duduk di kursi plastik di samping brankar. "Kita semua nyampek rumah setelah dari rumah budemu. Kita semua capek, Ibuk, Bapak, Mbak Kinanti, Mbak Sakina, semuanya leyeh-leyeh rebahan di depan tivi. Kamu pamit tidur ke kamar. Kita semua ketiduran saking capeknya. Bangun-bangun udah hampir Maghrib. "Ibuk langsung bangunin semua orang. Ibuk juga langsung pergi ke kamar kamu buat bangunin kamu. Ibuk gedor-gedor kamar, tapi kamu nggak nyahut. Pengin Ibuk langsung buka pintu, eh, kamu kunci dari dalem. Ibuk bilang Bapak, katanya biarin dulu. Soalnya kamu kayaknya emang capek banget. Kami semua sholat Maghrib jama'ah. Selepas itu baru gedor-gedor kamar kamu lagi. Eh, kamu masih belum nyahut juga. "Sampai adzan Isya' berkumandang, kami semua mulai panik. Bapak langsung nyamber kunci motor di atas kulkas, ke rumah tukang buat minta tolong bukain pintu kamar kamu. Kami nunggu lama banget. Padahal suara tukang yang buka pintu itu super berisik. Tapi nggak berhasil bikin kamu bangun juga. "Hampir jam 9 ketika pintu akhirnya terbuka. Kami semua langsung deketin kamu. Kami makin panik lihat kamu pucet banget, mana keringetan banyak, padahal AC nyala. Kami berusaha bangunin kamu, nihil, kamu tetep nggak bangun. Akhirnya Bapak ngeluarin mobil, kami bawa kamu ke rumah sakit. "Diagnosa awal, kamu kecapekan. Soalnya kamu habis hujan-hujanan seharian sampai malem, disuruh makan nggak mau, bantuin angkat-angkat kursi, besoknya jadi peladen sehari semalem, besoknya lagi ikut unduh mantu. Tapi dokter memutuskan melakukan pemeriksaan lanjutan karena kamu nggak bangun-bangun." "Pemeriksaan lanjutan yang kata dokter belum selesai tadi?" Saya akhirnya memiliki kesempatan untuk bertanya. Ibuk mengangguk. "Kamu coba jujur, deh, sama Ibuk. Apa yang kamu rasain selain pusing dan sesak napas?" Saya menggeleng. "Udah itu aja, Buk. Sesuai jawabanku saat ditanya dokter tadi." "Ibuk masih bingung kenapa kamu bisa nggak sadar lama banget?" "Nah, Ibuk aja bingung, apalagi aku." Saya mengatakan yang sebenarnya. Karena saya benar-benar tak merasakan apa-apa sebelum pamit tidur waktu itu. Ya, saya memang lelah. Tapi toh semua juga lelah. Dan saya tak pernah sepayah ini, sampai tidak sadarkan diri hanya karena kelelahan. Apalagi dalam waktu yang relatif lama. sebagaimana mestinya. Benar-benar tidak asyik sakit saat libur total yang langka bagi mahasiswa--yang sehari-hari selalu dikerjai dosen. Sebagai informasi, setelah mimpi itu, Nina tak pernah lagi datang. Baik menampakan diri di dunia nyata ataupun dunia mimpi. Mungkin dia kasihan melihat saya sakit sampai berhari-hari karena diteror terus. Semoga saja ia tak pernah Saya merasa benar-benar pulih dua hari kemudian. Saya membuat rencana liburan akhir tahun dengan para sepupu. Saya mengajak sepupu-sepupu dari keluarga Bapak. Karena mereka semua lebih asyik, dibanding sepupu-sepupu dari keluarga Ibuk. Apalagi si Lazuardi. Pagi-pagi buta mereka sudah datang, Arsen, Diba, Fikri, Galih, dan Roje. Semuanya laki-laki. Mengingat jika mengajak sepupu perempuan, pasti akan merepotkan. Karena kami benar-benar akan melakukan sebuah trip yang sangat laki-laki. Para perempuan pasti akan rewel nanti. Membayangkannya saja sudah malas. Nanti saja ajak para perempuan itu saat acara barbeque malam tahun baru. "Habis sakit katanya?" tanya Fikri sembari menurunkan barang-barangnya dari motor. "Iya, nih," jawab saya sekenanya. Saya membantu menaikkan kembali semua barang para sepupu ke mobil Bapak. Mengingat kami semua nanti akan menggunakan mobil itu. "Udah baikan?" tanya Fikri lagi. Saya mengangguk. "Udah." Fikri memperhatikan saya dari ujung kepala sampai kaki. Membuat saya merasa tak nyaman. "Kenapa, sih?" "Nggak ... kok kayaknya kamu masih belum fit aja." "Nggak, tuh." Fikri mengangguk menanggapi jawaban saya. Ia kemudian mengambil alih barang-barang yang tadinya saya bawa. Saat mengambil barang barang itu dari tangan saya, Fikri berbicara kembali dengan sangat lirih, hampir seperti berbisik. "Banyakin rukyah mandiri, Ram. Baca Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, dan ayat kursi tiap habis sholat dan sebelum tidur." Fikri berlalu setelah mengatakannya. Membawa barang-barang tadi menuju ke mobil untuk dimasukkan ke bagasi. Kini gantian saya memperhatikannya. Fikri adalah salah satu sepupu yang paling dekat dengan saya sejak kecil. Sekaligus yang paling saya percaya. Banyak orang yang bilang kami mirip. Mulai dari garis wajah, tinggi badan, postur tubuh, dan juga pembawaan, semuanya hampir sama. Yang membuat saya percaya padanya adalah, ia laki-laki yang lurus. Maksudnya ... ia paham tentang ilmu agama secara mendalam. Dan ... ia juga paham mengenai kaum jin yang hobi berusaha menjerumuskan manusia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN