Bagian Sebelas

4028 Kata
Selena terbangun dengan rasa sakit di kepalanya. Dia tidak menangis semalam. Dan nyaris melupakan apa yang terjadi karena tidurnya benar-benar jauh dari kata nyenyak. Sejenak, dia menghirup oksigen dalam-dalam. Merasakan hembusan yang tidak lagi berasal dari pendingin ruangan. Melainkan dari balkon yang terbuka, menerbangkan tirai jendela dengan tiupan lembut. Selena bangun. Menyingkap selimutnya dan memegang kepalanya. Sebelum dia mencari obat pereda rasa sakit kepala, dia menemukan dua tangkai bunga di atas nakas bersama sepucuk surat berwarna emas. Morning Glory, bunga yang mempresentasikan perhatian atau kasih sayang. Selena mendengus. Meraih bunga itu, dan menyentuh pucuknya yang masih segar. Karena memang bunga ini mekar di pagi hari. Kelopak bunganya bermekaran indah. Selena menaruh bunga itu di atas ranjang, beralih meraih surat yang hadir di atas meja bersama dua tangkai bunga itu. Aku yang mengurus Dion pagi ini. Dia pergi bersamaku seperti biasa ke sekolah. Jangan cemas, dia bisa mengurusnya diri sendiri dan tidak mau merepotkanmu. Aku pergi pagi-pagi untuk terjun ke lapangan. Bunga ini aku berikan agar harimu berjalan lebih baik dari kemarin. Semoga kau suka. Dari, suamimu. ps: kalau tidak suka, taruh saja di laci ruang kerjaku. Jangan dibuang. Selena mendengus membaca pesan itu. Kepalanya meneleng, menatap datar ke arah bunga cantik itu. Sebelum dia mendekatkan pucuk hidungnya pada kelopak bunga, dan tersenyum. "Wah, dia belajar romantis ternyata." Selena beranjak bangun. Menaruh bunga itu bersama suratnya di atas meja rias. Memandang dirinya sendiri dalam pantulan cermin meja rias. Sebelum bergerak bangun, dan bersiap-siap membersihkan diri untuk melewati aktivitas selanjutnya yang sudah menunggu. *** Marcuss Damien mendengus masam. Pagi ini setelah melewati sarapan buatan tangan asisten rumah tangga dan mengantar putranya pergi ke sekolah, dia harus berhadapan dengan Berry Drian yang membawa kubu bernama WatsonGio untuk menginterogasi dirinya atas pemukulan Marcuss Regan secara sepihak dan tiba-tiba. "Tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian," ujar Damien dingin. "Memang tidak ada. Tapi, kau yang berani pada kakakmu sendiri luar biasa," gerutu Drian. Masih duduk mengitari meja Damien layaknya semut yang mengerubungi gula. "Saat aku bercerita pada Gio, dia juga sama terkejutnya. Benar, kan? Kalau Damien berubah garang sekarang." Damien kembali menekuk wajahnya lebih masam. "Selain karena masalah Regan, aku pun penasaran dibuat dengan kehidupan kalian. Istriku banyak bercerita tentang Selena yang terkadang hangat, dan terkadang terlihat tidak bisa tersentuh sama sekali." Drian hanya merespon dengan alis terangkat. "Aku bertanya-tanya. Apakah Damien menikahi manusia biasa atau tembok rumah?" "Ya Tuhan," Drian lantas bereaksi dengan menendang tulang kering Gio di bawah kursi. "Kalau bicara hati-hati. Belum tahu rasanya diamuk banteng datang bulan?" Gio meringis tanpa dibuat-buat. "Aku pernah mengalaminya. Saat Saphira hamil menginjak tiga bulan, dia agresif sekali. Tidak bisa dirayu. Salah ucap dikit, kau hancur lebur." "Heleh," gerutu Drian. "Buktinya, kau masih utuh sampai sekarang." Gio hanya mengulum senyum misterius. Damien menghela napas. Di antara kedua rekannya, yang punya masalah di dalam rumah tangga hanya dirinya. Tidak semua. Tetapi, bahtera itu hanya terguncang. Dan itu terjadi pada dirinya. Drian mungkin pernah mengalami keretakan di pernikahannya. Atau Gio yang harus tahan banting menghadapi kelakuan empat dimensi istrinya. Tapi, Damien di sini? Masih berselimut gelisah tentang Selena dan bagaimana isi hati wanita itu padanya. "Begini rasanya kalau lebih sayang. Harga diri sering terinjak-injak," kata Gio terselubung. "Heleh. Tidak hanya kau saja," dengus Drian tidak terima. "Cobaan setiap laki-laki di dunia ini sama. Harta, tahta, wanita. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Kalau kita salah-salah, mungkin ketiganya akan kita dapatkan." Gio meringis. "Aku tidak mau dicap sebagai suami sekaligus ayah yang buruk. Meskipun putra dan istriku begitu, aku menyayangi mereka." "Ini bukan sesi untuk curahan hati terselubung, bukan?" Damien menyela dingin. "Besok akhir pekan. Kalian ingin menghabiskan waktu di mana?" "Rumah." "Aku ingin hiking, tapi jelas memakan waktu. Saphira lebih mencintai heels dibanding sepatu. Jadi, coret itu semua. Aku akan tidur di rumah." Drian berpaling menatap rekannya. "Bagaimana denganmu, Damien? Ada rencana?" "Putraku mengajak jalan di akhir pekan. Kami belum merencanakan akan pergi ke mana. Aku juga tidak bisa meninggalkan perusahaan di saat aku nyaris kalah dengan Marcuss Regan kemarin." "Ah, jadi ini masalahnya? Kakak sulungmu kembali berulah?" Damien mendengus pelan. "Dia pembicara yang baik. Jelas, semua kalimatnya bernada ajakan. Yang ia tawarkan, terdengar nyata menggugah para investor. Aku bisa kalah." "Yang perlu kau cari, hanya kelemahannya." Damien menyipit pada Drian. "Dengan menyebarkan skandal? Aku bermain tidak adil. Tidak ada hubungannya antar pekerjaan dan masalah pribadi." "Begini rasanya kalau kau bekerja di satu lingkup perusahaan keluarga. Akan ada saling sikut-menyikut. Dan itu berbahaya," tukas Gio masam. "Aku sendiri pun sama. Bedanya, aku anak tunggal. Dan tidak ada peGiong mana pun selain pemegang saham itu sendiri yang terkadang semena-mena." "Beberapa orang gemar merubah kebijakan hanya untuk mengeruk pundi-pundi uang itu sendiri. Membuat rekening mereka gendut dengan digit yang tak lagi bisa dihitung," geram Drian. Atensi Gio berpaling pada Damien. "Bicaralah pada istrimu. Selena jelas berkompeten dalam bidang bisnis meski dia berasal dari kedokteran gigi." "Gio benar," Drian ikut menimpali. "Aku akan berusaha mengatasinya sendiri." Keduanya menghela napas dan Damien kembali larut bersama pikirannya sendiri. *** "Aku dengar, WatsonGio sempat punya skandal bersama sekretarisnya. Aduh, siapa namanya? Aster? Shio? Hah, tahulah." Lalu, suara tawa mencela menggema. Selena hanya duduk diam. Menatap semua kursi yang terisi penuh. Menyewa restauran di salah satu hotel berbintang, memang bukan hal biasa lagi. Sudah menjadi rahasia umum kalau mereka yang berasal dari keluarga konglomerat gemar mengundang sesamanya untuk duduk berbincang santai, tetapi di tempat yang berkelas dan mewah. Yamanaka Saphira hanya memberi senyum terbaiknya. Dia datang hanya untuk memenuhi undangan dari salah satu istri Perdana Menteri Jepang, Raymon. Bersama Selena yang menggantikan Kamara Kiara, mereka pergi bersama. Selama di perjalanan, Saphira menduga kalau acara makan-makan ini akan membosankan. Dan ternyata, benar. Membosankan. "Wah! Benarkah? Bagaimana bisa? Ah, para pria memang seperti itu, bukan? Mereka akan mudah terpincut dengan perempuan lain karena istri mereka tidak bisa melayani dengan baik di rumah." Salah satu dari mereka bersuara. Membuat beberapa yang duduk menyesap teh dan menikmati bolu cokelat yang lumer setiap kali potongan itu terpotong, terdiam. "Ups, maaf." Selena tiba-tiba menunduk. Mengusap pelipisnya dengan gerakan pelan sekaligus merebut atensi di meja temu. "Semua simpanan, juga akan bicara hal yang sama. Karena mendengar satu sisi dari pihak laki-laki yang memutarbalikkan fakta tentang bagaimana istri di rumah." Saphira mengerutkan kening menatap rekannya. "Para suami jelas akan bicara hal yang berbanding terbalik dengan kenyataan. Mereka akan bicara bahwa istrinya tidak bisa melayani mereka dengan baik. Istrinya sibuk dengan dunianya sendiri. Istrinya terlalu sibuk dengan anak, sampai-sampai melupakan dirinya. Kau bisa bicara seperti itu, kalau kau belum memiliki tiga anak yang masih butuh perhatian ibunya." Semua orang memandang Selena penuh terkesima. "Kau sadar apa yang kau bicarakan? Priamu sekarang, bukanlah pewaris tahta sebenarnya. Semua itu fana. Suatu saat nanti, suamimu bisa dibuang. Dan kau? Karena kau berhasil menjual tubuh dan aset pribadimu, kau mudah dikendalikan dengan uang." Tangan Saphira meremas satu sama lain di atas meja. Kilasan demi kilasan saat kenangan malam dimana sang suami mabuk bersama Aster, menghantam ingatannya. Saphira berusaha memaafkan, sesulit apa pun itu karena dia mencintai suaminya. "Kau duduk di sini, karena istri sah kekasihmu sedang ada di luar kota, bukan? Memenuhi panggilan ayahnya yang memiliki bisnis ritel makanan di Osaka. Dan kau? Seakan-akan mampu menguaGio segalanya, duduk dan berbicara seolah kau yang nomor satu." Perempuan itu mendesis. Bibirnya yang terpoles lipstik merah menyala bergetar. "Simpanan akan selamanya bergelar simpanan. Jangan bermimpi bisa duduk di posisi teratas. Kau sekarang boleh menang, tapi suatu saat nanti kau yang akan bergantian menjerit dan merasa terluka karena takdir berlaku tidak adil padamu." Selena menyesap tehnya dari cangkir. "Cih, menyedihkan." Kemudian, mendapat kedipan mata dari salah satu istri pemegang saham di Bank Tokyo miliknya. Perempuan berambut hitam itu berdeham. Menaruh cangkir tehnya dan menyela dengan kalimat permisi, sebelum dia izin ke toilet untuk mencuci tangan. "Sial. Bagaimana bisa simpanan berlagak ratu? Memang, pria di luar sana tidak tahu diri. Seolah-olah mereka memiliki uang, dan mereka bisa seenaknya?" "Ya Tuhan. Kalau saja suamiku benar bermain bersama p*****r di bar malam, aku akan membuatnya menjadi miskin." Yamanaka Saphira menghela napas panjang. Saat dia merasakan tepukan di bahunya, dan pelakunya adalah Selena yang menunduk guna memotong kue cokelat di atas piring. "Tidak usah dipikirkan. Semua sudah berlalu." Rahang Saphira mengeras. "Ada benarnya yang dikatakan perempuan tadi, Selena. Karena aku—," "Kau merasa seperti itu? Kurang memperhatikan suamimu dan menyalahkan dirimu sendiri karena dia bermain bersama perempuan lain?" Selena berdecak. Melipat lap bersih berjahit benang emas pada logo hotelnya dengan senyum ramah. "Tidak perlu berpikir jauh tentang masa lalu. Semua simpanan akan bicara kalimat yang sama. Itu lagu lama. Dan merasa kalau mereka adalah pahlawan kesiangan karena berhasil merebut perhatian para suami yang mengaku kurang kasih sayang." Saphira balas mengulas senyum. Ketika kepalanya terangguk, dan dia menuangkan air putih dari teko ke gelas miliknya. "Aku harap, suamimu memperlakukanmu dengan baik. Siapa yang bisa menandingimu kalau begini caranya?" Selena membalas dengan senyum yang sama. "Siapa tahu?" Dan Saphira hanya tertawa. *** Selena mendengar suara pintu kamar membuka, kemudian mereka saling menatap selama beberapa detik. Sebelum pintu itu kembali menutup. "Bagaimana acaranya?" "Membosankan," sahut Selena. Setelah memakai lotion di sepanjang lengan dan kakinya. "Aku tidak mau lagi datang. Biarkan Mama saja." "Setidaknya, kau tidak akan mati kutu di sana karena Yamanaka Saphira pastilah memecah suasana." "Tidak juga," balasnya ringan. Kembali menyisir rambutnya dan baru bergerak bangun saat dia melihat suaminya tengah mengecek ponsel. "Saphira diam saja. Beberapa orang bergosip tentang suaminya." "Gio?" "Skandal dia bersama Aster," Selena mengerutkan kening. "Menyedihkan saat harga diri istri terinjak-injak karena orang ketiga." "Bukankah, kasusnya sudah ditutup?" "Manusia terlahir bukan hanya memiliki mulut untuk berbicara, tetapi juga bergosip," Selena menarik selimut sebatas kakinya. "Kasihan dia. Kesalahan Gio rupanya belum benar-benar termaafkan." Damien menaruh ponselnya. "Gio belum tidur bersama Aster." "Hampir," ralat Selena. "Sebelum pria itu mabuk berat, dan Saphira menemukannya. Bagaimana perasaannya saat itu?" Damien menghela napas. Menarik bantalnya agar kembali di posisi semula. "Bagaimana denganmu? Kalau kau di posisi Saphira, kau akan tersinggung karena aku mabuk bersama perempuan lain?" Damien sebenarnya bertanya spontan. Tanpa bermaksud mengompori atau memprovokasi sang istri. "Berarti benar," ucap Selena lamat-lamat.  Damien menunggu dengan debaran antisipasi. "Kalau semua pria sama saja. Mereka akan kalah ketika bergelimang harta, memiliki tahta teratas, dan menyerah karena wanita." Damien tidak berkata. Bibirnya kaku sekedar membalas. Lidahnya terasa mati rasa. Yang Selena ucapkan benar adanya. Tapi, mengapa? Apa ada yang salah? "Kau sebelumnya pernah berkencan? Dan terdengar dari kalimatmu, sepertinya kau punya masalah dengan—," "Tidak ada. Laki-laki tidak ada dalam kamusku," Selena menarik napas. Mencari kemana guling sebagai pembatas di antara mereka. "Sempat berpikir ada, dan sekarang tidak lagi. Karena perempuan bisa berdiri tegak tanpa harus memiliki laki-laki di sisinya." Damien membeku. Istrinya menoleh padanya. Memberikan senyum hangat. "Tidak ada kalimat di balik istri yang sukses, ada suami yang hebat, bukan? Yang ada, di balik suami sukses, ada istri hebat di belakangnya." Marcuss Damien kali ini dibuat bungkam. Kalimat terselubung itu menyembunyikan makna yang membuat Selena sampai detik ini menutup hati. Istrinya tidak pernah memberi harapan, hanya Damien yang terkadang berhalusinasi kalau Selena bertahan karena punya rasa yang sama. "Aku—," Damien bingung bagaimana harus memulai. "—tidak akan berpaling." "Kenapa tidak? Aku pernah mengatakan padamu untuk lakukan apa pun yang kau mau. Selama itu tidak merusak citramu, dan tidak membuatku kerepotan, bukan masalah untukku." Hembusan napas itu terdengar lirih. "Selena, saat kita menikah, itu artinya aku membuat kesepakatan pada diriku sendiri untuk berkomitmen sampai mati. Aku sudah berjanji. Tidak hanya pada diriku sendiri, tapi di depan Tuhan dan keluargamu." Selena memainkan tangannya di atas selimut yang membungkus sampai dadanya. "Saat kita menikah, dan aku bicara tentang kehamilanku, aku membebaskanmu. Dalam arti, kau bisa mencari kesenangan lain." "Berselingkuh?" Kepala cokelat itu mengangguk. "Aku penasaran dengan apa yang akan suamiku katakan pada perempuan lain tentang istrinya. Para simpanan biasanya akan berani mengangkat dagunya karena merasa superior dan lebih berkuasa dari istri sah," gumam Selena. "Mereka merasa, kalau istri-istri di rumah tidak berguna. Dan hanya fokus pada anak, anak dan anak. Selama ini, yang aku lakukan juga sama. Aku lakukan ini demi anakku." "Kau mengizinkanku selingkuh? Mencari kebahagiaan lain di luar sana?" Damien membeo tak percaya. "Biasanya, pria dengan ego tinggi akan terusik jika perempuan di rumah lebih tinggi dan elegan darinya. Aku menyadari bagaimana diriku sejak dulu. Dan mendapatimu yang bukan apa-apa di margamu sendiri, bukankah dugaanku benar? Kalau kau tersinggung dan merasa kalau kau tidak bisa berkuasa atas diriku?" Selena menghela napas panjang. "Dalam arti, kau tidak bisa berdiri sendiri karena takut dengan kekuasaan istrimu yang melebihi segala-galanya." Damien mendengus masam. "Aku tidak tahu kalau kau punya pemikiran seekstrim itu. Orang terpelajar tidak seharusnya memikirkan hal yang bukan sangat dirinya, kan?" Selena menipiskan bibir. Berhenti bereaksi selama beberapa saat sebelum sudut bibirnya melengkung. "Yang tidak kau sadari, kalau aku juga manusia biasa. Tidak luput dari kesalahan dan luka. Aku tidak sempurna. Di balik cangkang yang sekiranya terlihat kokoh, ternyata rapuh dan mudah terkikis oleh waktu." "Tapi, tidak dengan memintaku mencari perempuan lain di luar sana." "Aku malah menantikannya," balas Selena datar. Matanya menatap lurus pada langit-langit kamar. "Jika kau melakukannya, aku punya alasan kuat karena membangun benteng pada diriku sekokoh ini." Damien tak lantas menjawab. Selama beberapa menit mereka habiskan hanya saling diam dan berpikir satu sama lain. Otak itu terus berputar. Mata tak barang terpejam. Gelisah bercampur ketakutan mulai merambat merasuk ulu hati. "Selamat malam." Selena bergerak memunggungi. Mengulurkan tangan untuk mematikan lampu, memeluk dirinya sendiri dan mulai memejamkan mata. Membiarkan pikiran Damien melalangbuana mencari jawaban yang tak pernah ia dapatkan selama sepuluh tahun berjalan. *** "Miniatur pesawat terbang!" Tangan Dion menunjuk benda yang tergantung di dekat jendela. Di sebuah toko yang menjual aneka miniatur di dalam pusat AEON Mall Tokyo. "Kau mau?" "Mahal," dengusnya. Melirik sang ibu yang hanya diam memandang miniatur pesawat terbang itu. "Kalau Mama bilang tidak, aku juga tidak akan memaksa." Selena menurunkan tangannya. Menatap sang anak dengan senyum terulas. "Kenapa harus Mama?" Damien menunjuk pesawat terbang itu. "Papa yang akan belikan." Dion tetap keras kepala. Dia malah melempar tatapannya ke arah sang ibu. Seakan-akan meminta izin. Dan Selena tidak bisa menahan gemas pada bola mata yang mencuri hatinya sejak pertama kali Dion menatapnya dan memanggilnya Mama. "Baik, baik. Kali ini, Mama biarkan." Dion langsung melompat. Anak itu tanpa banyak bicara lekas berlari masuk. Membuat pegawai yang semula berdiri di depan pintu, mengekori anak itu menuju rak yang menyimpan aneka miniatur pesawat terbang bersama harga yang tertera. Damien baru bangun. Melipat tangannya di d**a sembari memicing menatap sang anak di dalam. "Berjanjilah padaku untuk tidak membuang mainannya." "Mana pernah aku membuang mainannya?" "Kau hanya menyisakan lego, Selena," Damien berujar bosan. Melirik sang istri yang bergegas masuk ke dalam, dan dia mengikuti. Selena terkekeh. "Aku tidak membuangnya. Saat bazar amal, aku memilih menyumbangkan seluruh mainan putraku pada mereka. Daripada uang disalahgunakan?" "Dion uring-uringan karena itu?" "Apa dia mengadu padamu?" Selena menuding dengan tatapan tak percaya. "Dia mengadu padaku. Dan bilang agar aku membelikan mainan yang baru," balas Damien. Selena mendengus masam. "Benar-benar," tapi nada suaranya terdengar gemas bukan kesal. "Papa yang ini!" Menunjuk mainan di rak tertinggi. Sampai-sampai tinggi badannya belum mampu menyentuh miniatur pesawat terbang itu. "Hanya tersisa satu. Tidak ada lagi di dalam gudang," ujar pegawai itu dengan senyum saat Selena mendekat. "Tidak mau melihat yang lain?" Kepala Dion menggeleng. Selena menghela napas. Saat Damien meraih miniatur itu dan mengecek adakah yang cacat atau rusak di bagian sayap atau buntut pesawat. "Bungkuskan yang ini. Biar aku pergi ke kasir untuk membayar." "Baik," ujar pegawai muda itu membawa miniatur pesawat terbang yang Dion inginkan ke meja kasir untuk dibungkus. Selena tertegun menatap miniatur rubah kecil berbentuk robot mainan. Tidak sampai di sana, ada juga kotak pandora berisikan salju di dalam kotak. Saat dia menekan tombol hitam di belakang, pandora itu akan mengalunkan instrumen menenangkan. "Mau membelinya?" "Bagus, tidak?" Selena mengangkat kotak pandora itu. Mendekatinya pada Damien. "Lucu, kan?" Kepala Selena lantas mengelilingi ruangan toko. Melihat putranya masih sibuk melihat satu-persatu mainan yang tersusun rapi. Bersama salah satu pegawai yang dengan sabar menjawab semua pertanyaannya. "Kau mau belikan ini untukku?" Damien mengernyit. "Tentu. Kalau kau mau, silakan. Berikan pada kasir. Aku akan membayar itu untukmu." "Oke," Selena mengedipkan sebelah mata. Berjalan pergi membawa kotak pandora itu saat Damien kembali berpaling. Melihat robot berbentuk rubah yang tidak lebih besar dari mainan miniatur pesawat milik putranya. "Papa!" Damien menoleh. Menghampiri Dion yang memintanya untuk mendekat dengan lambaian tangan. "Bisakah, aku mendapatkan dua kotak pandora ini?" "Anda butuh dua lagi, Nyonya?" "Ya," Selena mengangguk. "Pisahkan bungkusnya. Aku akan membayar dua itu dengan uangku sendiri." "Sebentar, Nyonya." Selena mengintip apa yang Dion lakukan saat Damien berjalan-jalan bersama putranya sembari melihat-lihat mainan yang lain. Harganya jelas bukan sembarangan. Selena tahu berapa yang akan Damien keluarkan karena menawarkan anaknya memilih mainan apa pun yang dia suka. "Bagaimana dengan yang ini?" Selena menyentuh kotak pandora lain dalam kardus. Kepalanya terangguk. Dan dia mengeluarkan uang tunai dari dalam dompetnya. "Bisakah kau menyimpan ini? Aku akan mengambilnya nanti. Tasku tidak muat memasukkan kedua barang itu," tunjuk Selena pada bungkusan berisi pandora yang ia beli. "Bukan masalah, Nyonya. Kami akan menjaga barang ini sebaik mungkin." Selena bergumam dengan senyum tipis. "Terima kasih." "Mama!" Selena menunduk. Melihat Dion yang datang ke kasir tanpa membawa mainan apa-apa lagi. Sebelum Selena bertanya, sang suami telah menjawab. "Dia tidak mau apa pun lagi." "Oke, cukup. Setelah makan, kita akan pergi ke toko buku." Kepala Dion terangguk. Kali ini, Damien yang bergerak maju untuk mengeluarkan dompetnya. Memberikan kartu kreditnya pada petugas kasir. "Ini belanjaannya. Terima kasih banyak telah berkunjung." Selena membawa putranya berjalan ke luar. Setelah mereka melewati toko mainan, dan berhenti di lantai tiga untuk mencari tempat makan. "Kau mau apa?" Selena bergumam pada sang suami. Saat mata Dion melihat-lihat ke lantai tiga, dan mencari-cari tempat makan mana yang akan mereka kunjungi untuk mengisi perut. "La Carte Cafe's, Mama." "Oke." Sebelum Selena beranjak, tangan sang suami menahan tangannya. Damien baru berjalan setelah eskalator mengantar mereka sampai benar-benar di lantai tiga. "Kau serius mau makan malam dengan itu?" Selena mengernyit. "Kenapa memangnya?" "Jangan penuhi apa mau Dion," Damien berdeham. "Aku akan menuruti apa maumu untuk makan malam sekarang." Selena mendengus menahan senyum. "Apa mauku tidak penting. Yang terpenting anakmu, kan?" Selena mengendik pada Dion yang sedang melihat buku menu di depan pintu masuk. "Lihat? Dia sudah tidak sabar." Damien menghela napas. Tidak ada gunanya berdebat di saat dia juga sedang berusaha menahan lapar. Selena membiarkan putranya melihat ke dalam sembari menunggu. Saat sang suami menarik tangannya bersama masuk ke dalam restauran, meminta pelayan berseragam hitam merah untuk menunjukkan kursi kosong bagi tiga orang. "Selena?" Selena menoleh. Begitu pula yang tanpa sengaja pegangan tangan Damien terlepas. Kedua mata Selena menyipit menemuka Rola berjalan ke arah mereka. "Kau di sini?" Damien terdiam melihat interaksi keduanya. "Aku membeli sesuatu," balas Rola dengan senyum. Dia mengangkat bungkusan dari tangannya. "Sepatu baru untukku mengajar." "Ah, kau guru barunya Dion?" Damien menyambar, memotong percakapan di antara mereka. "Benar, Tuan Marcuss. Selamat malam, aku Rola Mizuki. Guru Bahasa Inggris Dion yang baru." Rola mengulurkan tangannya guna menjabat tangan Damien. Dan pria itu menyambut tangannya, tidak berlangsung lama. "Mau bergabung?" Selena tersentak tak percaya. Dia menoleh menatap suaminya, dan Damien hanya mengangkat bahu. Sembari berjalan masuk ke dalam, menyusul Dion yang telah duduk dengan kedua tangan tersembunyi di saku celana. "Aku terkejut saat kau bersama keluarga kecilmu berbelanja tanpa perlu menutup mall. Biasanya, kelakuan ibumu begitu, kan?" Selena mendengus masam. "Ayo, masuk." Rola mengekori di belakang. Dengan sepatu baru yang ia beli, senyumnya melebar tatkala melihat Dion melambai ke arahnya. Anak itu tersenyum lebar. "Hai," sapa Rola. Damien hanya mengamati dalam diam. Saat Selena mengambil tempat di samping sang suami, dan Rola di sebelah Dion. "Mrs. Rola di sini?" "Sedang berjalan-jalan," balas Rola dengan senyum. "Apa Dion lapar? Menikmati akhir pekan bersama Papa dan Mama?" Kepala anak itu mengangguk. Selena berdeham. Menyodorkan buku menu pada Rola dan pada Dion. "Pesan sesuatu," katanya datar. Rola mengintip sekilas ekspresi Selena. Sebelum senyum itu pudar, dan Damien yang belum lepas menatap sosok misterius itu, beralih pada buku menu. "Jangan melamun," tegur Selena. Mendorong buku menu ke hadapan sang suami. "Pesan sesuatu." Pelayan berseragam menghampiri meja mereka. Menunggu dengan senyum ramah sembari memegang buku catatan. "Alice's Grilled Salmon Salad," kata Rola menyebut salah satu menu. Dion ikut bersuara. "Abelle's Nachos dan Liam's Popcorn Chicken." Selena memiringkan kepala menatap putranya. "Yakin dihabiskan?" Dion mengangguk mantap. Selena hanya menggeleng dengan senyum. Saat Damien mendongak, mengucap menu yang ingin dia pesan. "Marsch's Potato Pancake." "Untukku, Janice's Meatball Brown Sauce Cheesey," Selena menutup buku menunya. "Untuk minumnya, empat lemon dingin dan teko medium untuk empat gelas air." "Baik, pesanan sudah dicatat. Mohon menunggu." Selena mengangguk. Matanya menyapu menatap Dion dan pada Rola yang tidak berhenti menatap putranya. "Di Halim menyenangkan?" Damien mengerutkan kening. Bukan begitu cara berbicara dengan teman lama, kan? "Aku lebih suka Mrs. Rola dibanding Nyonya Kurenai," sela Dion. Saat dia menatap mata cokelat madu Rola. "Mrs. Rola sangat menyenangkan. Pelajaran menjadi lebih muda dipahami." Rola hanya terkekeh. "Kau teman sekolah Selena?" Rola berpaling pada Damien. "Benar. Aku dan Selena ada di masa menengah atas. Kami ada di kelas yang sama selama tiga tahun berturut-turut," ujar Rola dengan senyum. Damien hanya mengangguk. Mengusap tangannya sendiri dan beralih memangku dagu saat dia melirik sang istri, dan menatap bagaimana ekspresi Selena benar-benar datar sekarang. "Baguslah kalau kau merasa cocok di Halim," Selena melepas satu dengusan dengan senyum tipis. "Berharap kau ada di sana untuk waktu yang lama." Rola terpaku sebentar memandang betapa dinginnya ekspresi Selena saat in padanya. Saat dia berdeham, dan mengangguk canggung. "Aku juga berharap hal yang sama, Selena." Damien menghela napas. Memainkan tangannya di atas meja saat dia kembali memecah percakapan. "Apa dia sekaku ini sewaktu SMA, Rola?" Sudut bibir Selena melengkung kala mendengar sang suami memanggil nama Rola dengan nada canggung. "Selena yang aku kenal, tidak sedingin sekarang, Tuan Marcuss. Dia hidup di keluarga serba ada. Tapi, sosoknya sekarang mengingatkanku pada sosok lain. Yang telah—," "Kau bisa menceritakan masa-masa menyenangkan itu lain waktu, Rola," kata Selena sinis. Dan Rola lantas mengatupkan bibir, menatap Selena dengan tatapan bersalah. Damien mendesah. Lagi-lagi Selena dan tembok baja itu. Tidak mampu tertembus. Empat gelas lemon dingin bersama teko air mendarat di meja mereka. Rola membantu Dion menuangkan air di saat anak itu meminum lemon dari gelas kaca. "Anakmu menyenangkan, Selena. Aku menyukainya. Dia juga pintar dan penurut." "Terima kasih untuk pujiannya," balas Selena datar. Rola kembali berdeham. "Apa Selena punya mantan kekasih di masa SMA dulu?" Rola terkesiap. Begitu pula Dion yang mengangkat kepalanya dari Hot Wheels kesayangannya. Menatap sang ayah dengan tatapan bingung. "Kekasih?" Selena mendengus. Bersandar pada sofa dan melipat tangan di depan d**a. "Aku tahu kau berusaha membuat percakapan. Tapi, bertanya di saat kau sedang makan malam sama sekali tidak lucu." Damien meringis. "Berarti kau memiliki pacar dulu," tebaknya asal. Dan Rola tiba-tiba merespon dengan tawa. "Kekasih? Apa itu mantan?" Selena menatap putranya. Dan Damien melihat ke arah dapur yang chaos. Sebelum dia bangun, meminta putranya untuk ikut bersamanya sebentar. Selena hanya diam, membiarkan keduanya pergi dari meja. Senyum Rola perlahan memudar. Sinar matanya berubah saat dia mengitari bibir gelas dengan telunjuknya. "Selena, berhenti membentengi dirimu sendiri. Damien tidak bersalah. Jangan buat dia tertekan." "Aku sedang tidak meminta pendapatmu sekarang." "Jangan menjadi egois, Selena. Aku tahu, kau bersikap begini hanya untuk membuktikan bahwa suamimu b******n atau tidak," sungut Rola dengan tatapan pias. "Karena kau takut, takut kalau suatu hari kau kalah dan kau takut kehilangan keluarga kecilmu, kan?" Selena menghela napas panjang. "Mengenalku selama belasan tahun, kau tahu benar siapa aku, Rola." "Setidaknya, Marcuss Damien tidak akan berakhir menjadi sampah, Selena. Dia pria baik-baik. Dia pria yang bisa mendampingimu sampai kau tua nanti." Rola kembali menarik napas berat. "Selena, takdir setiap individu tidak pernah sama. Kau tidak boleh memukul rata antara dirimu, dan rasa bersalahmu dengan dia yang pergi meninggalkan kita." Selena memilih menatap gelas lemonnya daripada manik cokelat yang penuh keseriusan di depan sana. "Aku membiarkanmu bahagia, kenapa kau tidak lakukan hal yang sama padaku?" Iris teduh itu terlihat penuh luka sekarang. "Atau kalau tidak, izinkan aku merebut Marcuss Damien darimu. Dan kau baru bisa bicara jelas pada dunia siapa dirimu, dan siapa aku. Bagaimana?" Bibir Rola bergetar saat dia menangkap getir di mata Selena. "Apa kau ingin merasakan kehilangan untuk kedua kali, baru kau mengaku kalah dan bertekuk lutut?" Selena kali ini benar-benar dibuat bungkam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN