Part 2 : London

1080 Kata
Dua pria yang saat itu melihat Vania sedang membuang sampah beberapa hari lalu, kerap mengganggu kenyamanan Vania dengan terus mendatanginya, meminta nomor ponsel yang tidak pernah ia berikan, sehingga Vania meminta sang ayah untuk mencarikan apartemen baru, yang keamananya lebih ketat lagi. Karena Burhan tidak ada di sana, akhirnya ia pun meminta bantuan kepada Devan untuk mencarikan putrinya apartemen baru. Devan mulai mencari, bahkan dalam waktu beberapa hari saja ia langsung mendapatkannya, lalu Vania pun akhirnya berpindah tempat tinggal ke apartemen baru. Karena mendapatkan amanah dari sahabatnya Burhan, hampir setiap hari Devan mendatangi kediaman Vania hanya untuk memastikan kalau putri dari sahabatnya itu dalam keadaan baik-baik saja. "Maaf ya, Om. Gara-gara aku, Om harus sering datang ke sini buat ngecek keadaan aku doang." Sebetulnya dia merasa tidak enak hati, tetapi sang ayah yang sangat mengkhawatirkan dirinya, harus meminta bantuan Devan untuk menjaga keselamatannya. "Nggak apa-apa. Om nggak keberatan kok," ucapnya sambil memeriksa ke sekeliling ruangan, khawatir ada seseorang yang sedang bersembunyi di dalam sana. Selesai berkeliling, Devan menghampiri Vania, lalu duduk di sebelahnya. "Om rasa, sudah aman." "Terima kasih ya, Om. Ayo diminum dulu kopinya." Kebetulan di atas meja sudah tersedia secangkir kopi panas yang dibuat sendiri oleh Vania. Mereka mengobrol cukup lama, lalu Devan pun pamit pulang karena akan menjemput putrinya Sofia di sekolah. Hari berganti, sudah lebih dari satu bulan Vania tinggal di apartemen itu, semua terasa aman, hingga akhirnya Devan pun mulai jarang mengunjungi Vania di apartemennya, dia hanya mengontrol keadaan Vania melalui ponsel, sesekali dia menelepon, tidak jarang juga dia mengirim pesan hanya untuk memastikan kalau Vania dalam keadaan baik-baik saja. "Nanti Om mampir, kamu mau Om bawakan sesuatu?" tawar Devan dalam sebuah pesan yang ia kirim untuk Vania. Tidak lama Devan mendapat balasan pesan dari Vania yang berisi. "Makasih, Om. Kalau Om nggak keberatan, aku mau pizza." Di akhir pesan Vania menyelipkan gambar wajah sedang tersenyum. Devan yang membacanya pun ikut tersenyum. "Nia, Nia." "Siap. Nanti Om bawakan," balas Devan. Vania ikut tersenyum senang mendapat balasan dari pria paruh baya yang sering ia panggil dengan panggilan Om Dev itu. Bukan karena ada rasa terselubung, tetapi karena Devan bersedia membawakan pizza untuknya, dan hal itu lah yang membuat Vania senang. "Kenapa senyam-senyum sendiri?" tanya teman Vania yang bernama Angel, yang saat ini sedang duduk menikmati secangkir kopi panas, sambil menunggu kelas berikutnya yang akan tiba lima belas menit lagi. Vania menggelengkan kepalanya. "Tidak." "Om Dev?" tebak Angel. "Yes!" saut Vania. "Om Dev itu siapa kamu sih?" tanya Angel penasaran, pasalnya ia sering mendengar cerita dari Vania tentang kebaikan Devan kepadanya. "Dia sabahat ayahku," jawab Vania biasa saja. "Sahabat ayahmu? Kok masih muda sih? Berapa usianya? Dia sudah menikah? Sudah punya anak? Apa pekerjaannya?" tanya Angel secara beruntun. "Banyak banget pertanyaannya? Aku harus jawab yang mana dulu, nih?" "Semua." "Hhmm..." dia bersandar di kursi sambil menjawab pertanyaan Angel. "Aku nggak tau persis berapa usianya, mungkin sama seperti ayahku." "Masa sih? Ayah kamu juga semuda om Dev?" tanya Angel yang merasa tidak percaya sekaligus penasaran. "Aku gak tau, Angel. Yang pasti mereka itu berteman dari mereka masih SMA." "Terus, statusnya?" Angel semakin penasaran dengan status Devan, Vania pun menjawab apa adanya. "Udah nikah, udah punya anak malah. Cantik loh anaknya." "Pasti lah, Daddy-nya aja ganteng banget." Angel mengetahui kalau Devan adalah pria paruh baya yang sangat tampan, karena Devan pernah mengantarkan Vania ke kampus. Sebelum Devan menemui Vania di rumahnya, Devan menyempatkan diri menjemput sang istri di studio tempat ia bekerja. Tiba di tempat tujuan, Devan melihat Megan masih sibuk pemotretan, yang kebetulan sedang mengusung tema outdoor, sehingga kegiatan sang istri bisa ia lihat dari kejauhan. "Megan. your husband is there," kata salah satu teman Megan yang baru saja memarkirkan mobilnya di samping mobil Devan. "Yes i see. Thank you!" kata Megan dengan senyum. "You're welcome," dia pun pergi ke dalam, untuk bersiap-siap. "Today's photoshoot for Megan is enough," kata Salah satu fotografer, kepada Megan. "Thank you, Jack." Selesai pemotretan, Megan menghampiri sang suami setelah berganti pakaian. "Sayang," Megan menyapa setelah masuk ke dalam mobil, lalu duduk di sebelahnya. "Lama banget sih?" "Aku kan udah bilang, gak perlu jemput." "Kalau bukan aku yang jemput, lalu siapa yang mau antar kamu pulang? si Leo yang suka ada di samping kamu itu?" "Honey come on, kita cuma temen," kata Megan coba meyakinkan. "Aku nggak suka kamu berteman sama dia." "Dev, cukup! Aku nggak mau berdebat lagi, ya. Aku capek!" keluh Megan. Devan menghela nafas dalam, coba menahan emosinya. "Ok." Megan memalingkan wajahnya ke arah lain. "Lusa kita akan pergi ke Paris. Aku mau kamu sama sofia ikut." Megan terkejut lalu menoleh ke arah Devan yang sudah mulai menginjak pedal gas melajukan mobilnya secara perlahan keluar dari area parkir. "Paris." Keninganya mengerut. "Iya, kenapa?" "Aku gak bisa." Ajakan Devan mendapat penolakan keras dari sang istri. "Kenapa?" tanya Devan. "Jadwalku padat, aku nggak bisa santai-santai kayak kamu." "Jadi kamu nolak ajakan aku lagi." "Iya, Aku sibuk." Pasti, dan sering kali Megan menolak ajakan Devan yang ingin sekali pergi berlibur dengan anak dan istrinya. Akan tetapi, Megan selalu menolaknya bahkan dengan alasan yang sama karena kesibukan. Bukan hal yang aneh lagi memang, tetapi penolakan Megan membuat Devan geram, bukan hanya menolak diajak berlibur. Sesuai dengan janji, Devan saat ini sedang memesan Pizza yang akan ia berikan kepada Vania. Devan masih mengantri, dia menyempatkan diri mengirim pesan kepada Vania, untuk memastikan kalau hanya pizza lah yang gadis itu inginkan. "Nggak ada yang lain?" tanya Devan dalam sebuah pesan. "Nggak, Om. Itu aja," balas Vania. Dia yang saat ini sedang berjalan dari area parkir, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh dua pemuda yang menggodanya tempo hari. Vania tidak menyangka kalau mereka masih mengejar dirinya sejauh ini. "Kalian?" "I got you." Vania coba melarikan diri dengan berlari sekencang mungkin agar tidak tertangkap oleh mereka yang terus mengejarnya. "Help!" Terus ia meminta pertolongan dengan berteriak sambil berlari yang entah jalan mana yang bisa menyelamatkan ia dari kejaran mereka, hingga akhirnya ia terjebak di jalan buntu membuat Vania ketakutan setengah mati. "No." Ia menangis, melipat kedua tangannya di d**a, memohon kepada pemuda itu untuk tidak berbuat jahat kepadanya. Mendengar ada mobil yang baru saja berhenti, kedua pemuda itu langsung membungkam mulut Vania, agar tidak menjerit. Namun, dia yang tau harus memanfaatkan keadaan, langsung menggigit tangan pria itu, lalu ia pun berteriak meminta tolong. "Help!" "Help me!" Terus ia berteriak sehingga mobil yang baru saja menepi itu mendengar suara teriakan Vania, lalu berlari ke arah sumber suara yang mana, suara itu sudah tidak asing lagi di telinganya. "Vania? "Om Dev." Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN