Nilam menghampiri suaminya yang saat ini duduk di sofa kamar, Nilam membawa secangkir kopi hangat untuk sang suami. Nilam lalu duduk disebelahnya dan melihat apa yang sedang suaminya baca.
Pernikahan seperti ini lah yang ia impikan, tanpa ada campur tangan siapa pun, namun siapa sangka jika ternyata nasibnya tak seperti yang ia harapkan, ia malah menjadi istri kedua.
“Minum kopi, Tuan,” kata Nilam.
“Berhenti memanggil saya dengan sebutan itu.”
Nilam tersenyum karena sudah sering sekali suaminya menyuruhnya untuk berhenti memanggilnya dengan sebutan Tuan. Namun, Nilam tidak melakukannya.
“Tuan, apa yang terjadi pada Mbak Eren? Kenapa dia tidak pulang?” tanya Nilam.
“Jangan tanyakan itu pada saya, lebih baik tanyakan langsung kepadanya,” jawab King. “Dan, saya tidak ingin membicarakan orang yang tidak ada.”
Nilam mengangguk, lalu bangkit dari duduknya hendak melangkahkan kaki menuju ranjang, namun ketika melangkah, ia malah menginjak sesuatu dan membuatnya terjatuh ke atas pangkuan King.
Nilam membulatkan mata, namun tatapan mereka menghujam lembut, wajahnya merah merona karena merasa jantungnya akan copot. King juga terpancing dan mengecup bibir Nilam.
“Manis,” ucap King.
“Heem?”
King kembali merapatkan bibirnya ke bibir ranum Nilam, merasakan manisnya bibir itu, Nilam memejamkan mata, sementara itu King hanya tersenyum menggoda melihatnya.
Ciuman mereka berubah menjadi liar, namun di hentikan oleh ketukan pintu kamar, Nilam menoleh melihat ke arah pintu, namun King menyuruhnya untuk tidak perduli.
“Tuan, itu siapa?” tanya Nilam.
“Tak usah perdulikan,” jawab King.
“Tapi—”
Bibirnya kembali dicium oleh King, membuat Nilam tidak bisa lagi bertanya.
***
Sidney.
Sore yang indah dengan pemandangan yang indah, membuat kedua insan itu tengah berbincang dengan tubuh yang terlihat jelas tak mengenakan sehelai benang pun.
“Kita pulang lusa,” kata Eren seraya memainkan ponselnya.
“Kenapa? Kamu khawatir pada Nilam?”
“Ada yang mengganggu pikiranku,” kata Eren.
“Apa itu?”
“Aku hanya percaya kepadamu, Rai,” kata Eren lagi.
“Ya katakan saja jika kamu percaya kepadaku,” sambung Raikal menyesap wine di depannya. “Kamu takut jika Nilam merebut King darimu? Apa kamu lupa masih punya aku?”
“Aku tak akan pernah lupa,” jawab Eren.
“Sayang, ayo kita bersama-sama, aku sangat mencintaimu,” kata Raikal menyentuh b*******a Nilam.
“Ada apa denganmu? Aku sudah lelah.”
“King tidak pernah menyentuhmu lagi, bukan? Apa dia bosan padamu?”
“Sudahlah. Jangan membahas itu,” kata Eren bangkit dari duduknya dan memperlihatkan tubuhnya yang terekspos tak mengenakan sehelai benang pun. Ia memungut pakaiannya di lantai dan mengenakannya kembali. “Aku memiliki kekhawatiran beberapa hari ini, aku juga tak tahu apa penyebabnya.”
“Siapa yang ada dipikiranmu?”
“Semua hal,” jawab Eren meraih gelas berleher tinggi dan menuangkan wine di dalamnya.
“Jika sesuatu membuatmu khawatir, tinggal katakan saja kepadaku, aku pasti akan selalu ada di sisimu.” Raikal melanjutkan.
***
Indonesia.
Nilam dengan perasaan bahagia masuk ke kantor, menyapa beberapa orang yang melintasinya, pagi ini ia begitu percaya diri untuk menunjukkan pekerjaannya kepada Darma.
Namun, ketika ia hendak masuk ke lift, sebuah tangan menariknya lembut.
Nilam menoleh dan melihat Diana—ibunya Eren.
“Tante?”
Nilam tahu betul apa yang membawa Diana menemuinya, ini sudah pasti tentang King dan Eren, tentang hubungan mereka yang mengganggu semuanya. Tak ada orangtua yang akan diam saja jika itu berkaitan dengan anak kesayangannya.
“Boleh Tante bicara?” tanya Diana.
Nilam melihat jam yang ada dipergelangan tangannya, masih ada 10 menit kantor mulai, Nilam mengangguk, dan berkata, “Tapi saya punya 10 menit.”
“Tidak apa-apa, yang penting kamu mau menyediakan waktu.”
Nilam mengangguk.
Mereka lalu duduk berhadapan di salah satu kursi kafe yang ada di lobby kantor, Nilam menyesap kopi hangat yang sudah menjadi favoritnya. Nilam tersenyum dan mendongak menatap Diana.
“Tante mau ngomong apa?” tanya Nilam.
“Tante boleh tanya?”
“Tante mau menanyakan tentang hubunganku dengan Tuan King?”
“Salah satunya itu,” jawab Diana.
“Lalu yang lainnya?”
“Kamu masih punya orangtua?”
Pertanyaan yang tiba-tiba mengejutkan itu membuat Nilam bingung, atas dasar apa Diana menanyakan hal itu.
“Ibu saya masih hidup dan kini sedang sakit, Ayah saya sudah lama meninggal,” jawab Nilam.
“Kamu punya saudara?”
“Iya. Tapi saudari saya lagi di Kalimantan.”
Diana mengangguk, ada rasa sedih yang tak bisa ia jelaskan kepada Nilam tentang pertemuan mereka beberapa hari yang lalu.
“Ma, kenapa Mama di sini?” Terdengar suara menghampiri mereka.
Ternyata Handoko Rajendra—ayah Eren.
Nilam bangkit dari duduknya dan tersenyum melihat Handoko.
“Jadi, Mama menyuruh Papa mengantarkan kemari karena mau bertemu dengannya?” tanya Handoko.
“Iya, Pa. Tapi sudah selesai kok,” jawab Diana bangkit dari duduknya.
“Ayo kita pulang,” ajak Handoko.
“Maaf ya, Tante jadi ganggu waktu kamu.” Diana mengelus lengan Nilam.
“Tante baik-baik saja, ‘kan?” tanya Nilam.
“Tante baik-baik saja,” jawab Diana.
Diana tersenyum lalu melangkah pergi meninggalkan Nilam sendirian, Diana berbalik lagi melihat Nilam yang masih dengan seulas senyumnya.