DREAM COMES TRUE

3042 Kata
Namaku Margosha Ivanov, lahir dan besar di Kazan, sebuah kota di bagian Rusia yang begitu tentram serta rukun antar agama, membuatku tumbuh menjadi sosok yang berpikiran postif. Hidup di dalam keluarga yang beranggotakan 4 orang, yang terdiri dari ayah, ibu, kakak laki-laki dan aku, si bungsu, membuatku mendapatkan limpahan kasih sayang. Terutama dari kakakku, Dimitri. Keluargaku menganut Katolik dan taat. Namun kami, -aku dan kakak laki-lakiku-memiliki banyak teman dari kalangan muslim, dan orang tua kami tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Seperti yang dilaporkan dari badan statistik negara Rusia, Kazan memiliki 45% penduduknya beragama Islam. Bisa ku katakan bahwa ini adalah kota yang aman dan sangat rukun. Kami tidak pernah memiliki batasan dalam apapun, baik dalam beragama maupun bergaul. Semuanya sama dan aku selalu bangga berada di sini, di kotaku, tetapi aku memiliki sebuah mimpi yang besar. Aku mengenal dunia fotografi sejak di usia belia. Ketika itu aku berusia 10 tahun dan melihat sebuah kamera berlensa panjang tergeletak di atas meja belajat kakakku, Dimitri Ivanov. Dia merupakan siswa kelas 12 dan mengambil jurusan fotografi. Aku mengambil kameranya dan mulai bereksperimen dengan benda itu. Aku memotret apa saja yang kulihat dan ketika Dimitri melihat apa yang kulakukan, dia merampas kamera itu. Dia memarahiku dan berkata aku seharusnya tidak menyentuh barangnya. Tentu saja aku menangis. Dimitri tidak pernah memarahiku. Dia nyaris selalu memanjakanku. Usia kami terpaut 7 tahun.  Tetapi kali ini dia marah besar padaku. Ibu muncul dengan tergopoh-gopoh dan bertanya apa yang terjadi. Kakakku mengatakan bahwa aku nakal dan memainkan kameranya. Aku membela diri dan mengatakan bahwa aku hanya memotret seisi rumah dengan kameranya. Aku berharap ibu membelaku dan memarahi Dimitri. Tetapi ibu justru tersenyum padaku dan mengatakan bahwa aku harus meminta ijin kakakku jika ingin menggunakan kameranya. Setelah itu yang ku dapatkan adalah sebuah kamera polaroid berwarna pink keesokan harinya. Dimitri mengatakan bahwa benda itu untukku dan aku bebas melakukan apapun dengan kamera imut itu. Aku menerima kamera pertamaku dan mulai melakukan pengambilan gambar apapun melalui benda itu. Karena itu adalah polaroid, maka aku dapat melihat langsung hasilnya. Di luar dugaan, semua objek yang ku foto menghasilkan sesuatu yang indah. Dimitri begitu terkesan dan mulailah dia mengajariku cara memotret dengan menggunakan sudut pandang tertentu. Sejak itu aku telah jatuh cinta dengan fotografi. Pada saat aku SMA, aku mengambil jurusan fotografi, persis seperti Dimitri. Aku seakan menemukan pilihan hidupku.  Aku ingin menjadi fotografer terkenal. **** Kini aku sudah berusia 22 tahun, aku lulus dari jurusan fotografiku setahun yang lalu dengan nilai sangat memuaskan.  Aku sudah pernah mengadakan pameran fotografi bersama teman-temanku, pameran kami sukses dan ku pikir aku akan segera mendapatkan pekerjaan dengan kemampuan fotografiku.  Namun kenyataan tak seindah bayangan.  Mendapatkan pekerjaan begitu sulit bahkan Dimitri hanya berhasil membuatku bekerja di sebuah majalah bisnis. Waktu itu usiaku 19 tahun, masih seorang mahasiswa dan magang di sana.  Tahun berlalu dan aku masih dipertahankan oleh pemimpin redaksi sebagai salah satu reporter.  Tugasku hanya meliput berita dan menyortirnya ke editor sebelum dipublikasikan.  Pekerjaan itu membuatku sengsara dan sudah berulang kali berniat untuk berhenti.  Tetapi Dimitri selalu menahanku. "Bertahanlah sebentar lagi,  Margo." "Sampai kapan?" aku merajuk.  Ku lihat Dimitri hanya tersenyum. Aku memeluk lututku dan menilai saudaraku.  Dimitri sangat tampan dan memiliki rambut keemasan yang halus sama seperti ku.  Aku tidak mengerti mengapa dia belum ingin menikah di usianya yang matang. "Sampai kapan?" aku mengulang pertanyaanku, kali ini dengan nada menuntut.  Ku dengar dia menghela napas dan menatapku dengan lembut. "Apa mimpimu?" "Fotografer!" sahutku cepat.  Saat ku lihat dia mengerutkan dahi,  ku sambung lagi, "aku ingin memotret objek bergerak." Saudaraku menatapku lebih lama.  Kemudian dia menepuk kepalaku. "Tunggu kabar dariku.  Aku akan mencarikan apa yang aku inginkan." Dia beranjak dari kamarku.  Aku menatap punggungnya dan melontarkan pertanyaan yang selalu ku pendam selama ini.  "Mengapa kau tidak berusaha mencari kekasih?" Aku dapat melihat tubuh Dimitri lebih tegak. Dengan menoleh sedikit, aku mendengar dia menjawab dengan halus.  "Aku memiliki pacar." "Aku tidak pernah melihatnya," bantahku. Aku melihat senyum kecil kakakku.  Entah mengapa, aku tidak suka melihat senyumnya.  Senyuman itu persis cengiran kuda sakit gigi. "Aku tidak bisa memperkenalkannya." "Mengapa? Apakah Ayah dan Ibu juga tidak bisa?" Kakakku bergeming.  Aku tidak ingin menyerah.  Aku mulai ngotot.  "Kau boleh mengenalkannya padaku." Dia masih diam.  "Kau tidak percaya padaku?" aku merasa airmata mulai berkumpul di ujung mataku.  Dimitri memutar tubuhnya menghadapiku.  Dia tersenyum penuh sayang padaku.  "Tentu saja aku percaya padamu." Ketika aku mulai ingin membuka mulut,  dia terlihat mengangkat tangannya,  "Nanti,  Margo sayang. Aku pasti mengenalkannya padamu dan kau akan tahu alasan mengapa aku belum bisa memperkanalkannya pada ayah dan ibu." Akhirnya aku hanya bisa diam saja.  Aku yakin pada saat itu sebuah pikiran buruk melintas di benakku.  Aku berpikir bahwa kekasih kakakku adalah seorang pria. Tapi ternyata aku salah.  ***** Pagi itu salju turun dengan lambat di Kazan. Aku cukup menikmati kopi hangatku di meja kerjaku di redaksi ketika ponselku bergetar. Aku melirik ponselku yang tergeletak di mejaku dan melihat nama kakakku terpampang. Aku segera menyambut panggilan itu dan mendengar suara Dimitri yang tenang. "Aku sudah menemukan pekerjaan yang sesuai dengan mimpimu." Aku merasa jantungku berdebar dan menjawab pernyataannya dengan berbisik. "Sungguhkah? Kapan kau bisa bertemu denganku?" aku harap-harap cemas dia tidak bisa menemuiku segera. Di luar perkiraanku, kakakku dengan cepat menjawab bahwa dia sedang menungguku. Dia menyebutkan tempat di mana dia berada dan aku mengerutkan dahiku. "Aku saat ini di Ulitsa Bauman. Tepatnya aku di Dom Tataraskoii Kulinartsi. Kau bisa kemari segera." Aku ingin melontarkan rasa heranku saat mendengar Dimitri menyebutkan nama tempat di mana dia berada saat itu. Itu adalah salah satu restoran makanan khas Tatarsan yang artinya Rumah Kuliner Tatar. Aku meraih jaket buluku dan melontarkan pertanyaan ringan padanya, "Kau di sana?" Aku mendengar suara kakakku, "Tepatnya aku di kafe Barokah. Tak jauh dari restoran itu. Aku hanya memberikan gambaran agar kau mudah menemukanku." Kali ini alisku terangkat demikian tinggi tapi aku memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Aku menutup percakapan kami dengan, "Aku akan segera ke sana." Aku keluar dari boks mejaku dan memberikan isyarat pada Olga bahwa aku akan keluar sebentar. Selama dalam perjalanan menuju Ulitsa Bauman, otakku terus bekerja dengan bermacam-macam pertanyaan. Tentu saja aku sangat penasaran jenis pekerjaan apa yang ditawarkan kakakku, namun rasa penasaranku adalah pilihan tempat di mana aku akan bertemu Dimitri. 15 menit kemudian aku sudah memarkirkan mobilku di area parker Ulitsa Bauman dan setengah berlari menuju sebuah belokan kecil yang tidak terlalu ramai. Aku merapatkan kerah jaketku dan menarik semakin dalam topi buluku. Saat itu salju mulai turun cukup deras, aku bisa merasakan ujung-ujung jariku mulai dingin. Aku meniup satu persatu jemariku dan menatap dengan seksama pada plang nama kafe yang disebutkan Dimitri. Aku melihat menu makanan dan harga yang tertulis di papan menu dan aku membaca sebuah tulisan HALAL di sana. Dengan ringan aku menuruni tangga, menuju kafe yang terletak di bawah tanah dari sebuah gedung tua. Udara hangat segera menyambutku di dalam kafe yang terlihat sedikit pengunjung. Sejenak aku berdiri canggung di tengah kafe, mencari-cari sosok kakakku di sana. Tiba-tiba aku dihampiri oleh seorang gadis cantik berkulit putih, bermata biru khas suku Tatar. Gadis itu tersenyum manis padaku, terlihat amat cantik dengan seragam biru mudanya yang senada dengan hijabnya. Dia membungkuk sedikit di hadapanku dan menyapaku dengan ramah, "Assalamu'alaikum." Aku mengangguk dan balas tersenyum. Gadis itu tampak mengerti siapa diriku. Dengan halus dia mulai bertanya, "Anda ingin memesan makanan?" Mataku mulai menelusuri kafe yang berukuran sedang itu dan menemukan sosok kakakku yang duduk di samping sebuah jendela. Aku segera menjawab gadis berhijab itu, "Saya akan menemui kakak saya," aku menunjuk Dimitri. "nanti saya akan memesan." Gadis itu mengangguk dan aku segera berlari di mana kakakku duduk. "Dimitri!" seruan girangku terhenti sejenak ketika aku menyadari bahwa kakakku tidak sendirian. Aku berdiri di tepi meja dan melihat seorang wanita muda cantik berhijab warna cokelat muda duduk di samping kakakku. Wanita itu menatapku dengan matanya yang berwarna hijau yang dinaungi bulu mata lebat dan lentik. Dalam hitungan detik aku tahu bahwa wanita itu adalah wanita dari tanah Arab. Sangat cantik. "Margo, kau sudah datang?" Suara Dimitri menyadarkanku dari kekagumanku akan sosok cantik bercadar di hadapanku. Aku segera menjawab sapaan kakakku dan menarik kursi di depannya. "Ya. Aku sudah datang." Aku mencoba tersenyum wajar namun rasanya cukup sulit karena sebuah situasi aneh yang ku rasakan. Aku tidak asing dengan wanita muslim, aku memiliki banyak teman dari kalangan muslim. Namun aku merasakan sebuah atmosper lain ketika melihat kakakku bersama wanita di hadapanku itu. Aku mendapati tatapan memuja dari sorot mata kakakku padanya. Ku rasa Dimitri menyadari kecanggunganku. Dia menunjuk wanita Arab yang cantik di sebelahnya. "Ini Fateeyah Tesettur. Dia berasal dari Turki dan dia menawarkan sebuah tawaran besar untukmu." Gadis berhijab biru datang menghampiriku dan menanyakan pesananku. Aku menunda kalimatku untuk Dimitri dan fokus pada menu. Aku memilih Saurma, makanan Timur Tengah berupa daging atau ayam yang diiris-iris kemudian dililit dengan roti. Tentu saja aku memilih daging. Setelah itu aku menatap kembali kakakku dan Fateeyah. Tatapanku jatuh pada sepasang mata hijau yang indah milik Fateeyah dan bertanya-tanya bagaimanakan bentuk mulutnya. Dari balik cadarnya, aku bisa melihat bayangan hidungnya yang mancung dan bentuk wajahnya yang bujur telur. Merasa aku menatapnya dengan seksama, ku dengar Fateeyah berdehem dan matanya terlihat tersenyum padaku. Aku melihat dia membuka tasnya dan menyodorkan dua buah berkas dengan map merah. Aku masih tidak mengerti. Kemudian aku mendengar suaranya. Suara Fateeyah sangat halus dan fasih dalam berbahasa Rusia. "Ada dua lowongan sebagai fotografer di majalah Vogue. Satu di Moskow. Satu lagi di Dubai. Kau bisa memilih salah satu atau mencoba keduanya. Tetapi aku hanya bisa menjanjikan salah satu saja dari dua pilihan ini." Aku menatap dua berkas yang terbuka di depanku, sebuah logo Vogue yang terkenal menerpa pupil mataku. Aku menatap Dimitri dengan tidak percaya. Dimitri tersenyum bangga pada Fateeyah, -yang terpaksa ku abaikan- dan berkata padaku. "Fateeyah adalah salah satu editor fashion di Vogue Moskow. Dia bisa merekomendasikanmu pada CEO Vogue." Aku menutupi rasa kagetku mendengar jabatan yang di pegang oleh Fateeyah. Aku meraih kedua berkas itu dan mencoba membandingkan keduanya. Jika aku memilih Vogue Moskow, tentu saja aku tidak berada jauh dari keluargaku. Aku bisa kembali ke rumah seminggu sekali. Tetapi tatapanku tidak lepas dari logo Vogue Dubai. Ada ketertarikan tersendiri saat aku melihat logo negara itu. Ku rasa Fateeyah menyadari di mana pilihanku jatuh. Aku bisa mendengar tawa kecilnya dan dia mengambil kembali berkas Vogue Moskow. "Ku rasa adikmu sudah memilih majalah mana yang diinginkannya, Dimitri." Aku mendengar suara halusnya dan aku merasa wajahku panas karena malu. Aku seperti anjing kelaparan saat menatap berkas lowongan yang ditampilkan oleh Vogue Dubai. Aku menatap Fateeyah. "Apakah aku bisa memenuhi syarat lowongan ini." Aku melihat sepasang matanya tersenyum lembut padaku. Dia mengangguk. "Buatlah surat lamaran ke alamat emailnya. Setelah itu tunggulah dalam waktu 3 bulan. Aku berjanji akan memuluskan jalanmu." Pesananku tiba tetapi aku masih menatap Fateeyah lekat. Tiba-tiba saja aku percaya padanya dan segera mengangguk. Sekali lagi sepasang matanya tersenyum padaku. Dia menoleh pada kakakku, berbicara sangat pelan, kemudian dia menatapku. "Aku duluan." Dia berkata halus padaku. Kemudian pada kakakku, dia berkata lirih. Aku masih memiliki pendengaran yang akurat. Aku mendengar dia mengucapkan Assalamu'alaikum pada Dimitri dan kakakku itu menjawab dengan fasih Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakaatuh. Fateeyah sudah berlalu dari hadapan kami dan aku menatap kakakku penuh tuntutan. Ku lihat Dimitri memahami tatapanku. Dia menghela napas dan menjawab tanda tanya yang ku pendam sedari tadi. "Ya. Fateeyah adalah kekasihku. Walaupun aku masih dengan agamaku, tetapi aku sedang mempelajari agamanya pula." Saat itulah aku mengerti alasan mengapa kakakku belum bisa memperkenalkan kekasihnya kepada orang tua kami. **** selama tiga bulan aku menanti surat balasan dari Vogue Dubai atas lamaran yang ku kirim melalui email 3 bulan sebelumnya.  Hatiku cemas menanti kabar sehingga aku nyaris tidak fokus dengan pekerjaanku.  Selama aku menanti,  aku melihat hubungan serius yang dijalani oleh kakakku bersama Fateeyah.  Kakakku terlihat begitu mencintai Fateeyah yang bahkan tidak bisa disentuh dan diciumnya seperti kekasih-kekasih sebelumnya. Tentu saja aku tahu alasannya.  Itu karena dia dan Fateeyah belum menikah.  Wanita itu merupakan seorang muslimah yang taat,  dia memakai cadar untuk tidak memperlihatkan wajahnya yang cantik, mempersiapkan semua keindahan itu demi pria yang akan menjadi suaminya. Secara otomatis aku mengunci rapat mulutku dan hanya menanti kapan kakakku akan berterus terang pada orang tua kami.  Dalam hal itulah aku baru menyadari penampilan Dimitri yang berangsur berubah.  Kakakku sudah menanggalkan cara berpakaian ala koboinya dengan jaket kulit dan sepatu bot.  Kini yang kulihat adalah dia lebih sering menggunakan kemeja lengan panjang ataupun baju pria khas Timur Tengah dengan warna warna kalem ataupun putih. Dimitri benar-benar sudah jatuh cinta. **** Kemudian apa yang ku nanti akhirnya tiba. Aku berteriak kegirangan ketika Olga menggoyangkan surat jawaban atas lamaranku. Tidak berusaha menutupi rasa senang, aku berkata dengan penuh semangat pada ketua editorku. "Aku akan menulis surat pengunduran diriku," bisa ku lihat wajah pria itu membeku. Sebelum aku mendengar nada protes darinya, segera ku sambung. "Besok. Aku akan segera menulisnya ke meja dewan redaksi." Tanpa menunggu reaksinya, aku segera membalikkan tubuhku, meraih jaket buluku serta tasku. Aku bersenandung sepanjang perjalanan menuju tempat pertemuanku dengan kakakku dan Fateeyah. Kami bertemu kembali di Kafe Barokah, duduk di meja yang sama dan memesan menu yang sama. Hanya saja kini Fateeyah tidak berusaha kembali lebih dulu. Wanita itu duduk bersamaku hingga kami memutuskan untuk mengakhiri pertemuan. Aku menggenggam erat tangannya yang halus dan ramping, menatapnya dengan sungguh-sungguh dengan rasa terima kasih. "Terima kasih Fateeyah. Aku akhirnya mendapatkan mimpiku." Fateeyah terdengar tertawa padaku, dia menepuk punggung tanganku dengan lembut. Melalui cadarnya, dia berkata dengan nadanya yang halus. "Bersyukurlah kepada Allah, kau mendapatkan apa yang kau impikan. Ku harap kau melakukannya dengan baik di Dubai." Aku mengangguk dan melirik kakakku yang terlihat diam saja. Aku beralih padanya dan menendang tulang keringnya di bawah meja. Dia tampak tersentak kaget dan menatapku dengan tajam. Aku sumringah dan berkata manja. "Kau tidak mengucapkan selamat padaku?" Aku melihat Dimitri berusaha menahan emosinya. Dia menggerakkan bibirnya dan mengucapkan kata selamat dengan lirih. "Selamat." Aku merasa tidak puas. "Mengapa seperti itu nadamu?!" "Dimitri merasa sedih. Kau akan berada jauh dari orangtua dan dia. Dia mencemaskanmu, adik kecil." Suara lembut Fateeyah membuatku terdiam. Barulah aku menyadari raut kecemasan di wajah kakakku. Tatapannya padaku lebih terlihat sangat sedih. Aku merasa sangat buruk. Aku begitu bahagia bisa meraih mimpiku tetapi aku tidak menyadari bahwa orang terdekatku merasa cemas akan diriku. Aku menyentuh tangan kakakku dan berkata lirih. "Oh, maafkan aku." Akuku menyesal. Ku lihat dia tertawa kecil. "Kadang aku merasa menyesal telah memperkenalkanmu pada kamera Polaroid pink itu." Aku tertawa dengan sudut mataku yang berair. Aku melirik Fateeyah yang tengah menatapku. Aku melepaskan peganganku pada tangan kakakku. Aku menatap Fateeyah dengan lekat. "Ku mohon, jagalah kakakku." Dan aku mendapat anggukan tanpa ragu dari Fateeyah, dewi yang dicintai kakakku. **** Ketika aku mengatakan lamaranku diterima oleh majalah Vogue Dubai sebagai fotografer mereka dan akan berangkat dalam beberapa hari ke depan, aku melihat air mata membanjiri mata Ibuku. Wanita itu menangis sedih bercampur rasa senang. Bahkan Ayahku yang merupakan pensiunan militer Rusia, tampak menyeka ujung matanya. Aku balas memeluk Ibuku yang menangis di dadaku. Aku bertubuh jangkung dan ramping untuk ukuran gadis seusiaku, maka Ibuku yang mungil hanya berada tepat di dadaku. "Oh, Margo. Bagaimana nanti kau hidup sendirian di negara asing? Kau tidak pernah sekalipun pergi dari kami. Bagaimana dengan makanmu? Bagaimana dengan lingkunganmu? Kau akan berada ribuan mil dari kami, berada di sekitar para orang-orang Timur Tengah. Bagaimana mereka akan menerima keyakinanmu." Aku menepuk bahu Ibuku dengan pelan. "Mom, aku tidak pergi ke ujung dunia. Kau dan Dad bisa datang padaku dengan pesawat. Dan jangan khawatir dengan lingkungan baru yang akan ku hadapi. Kazan adalah kota rukun agama begitu juga dengan Dubai." Aku berusaha meredakan ketakutan Ibu. Dengan tersenyum, aku menambahkan, "Aku tidak pergi untuk berperang." Ibu terlihat menatapku dengan lekat, di antara airmatanya, dia bergumam pelan. "Bagaimana jika kau nanti jatuh cinta dengan pria Arab di sana? Keyakinanmu berbeda dengan mereka." Aku terdiam dan tanpa sadar melirik kakakku yang duduk di salah satu sofa di ruang keluarga. Aku bisa melihat bahwa tubuhnya menegang dan mencoba mencari rokoknya. Seketika aku merasa prihatin akan situasi yang akan dihadapi kakakku kelak. Aku kembali pada Ibu dan membelai wajah tuanya. "Mom, bukankah kau sudah tahu aku memiliki banyak teman muslim dan kita hidup rukun dengan mereka. Kau menerima semua temanku dengan tangan terbuka." "Tapi aku akan berpikir ulang jika mereka adalah kekasih anak-anakku." Aku menggigit lidahku. Melalui ekor mataku, aku melihat kakakku beranjak dari duduknya, berjalan pergi menuju tangga. **** Beberapa hari kemudian, aku dan keluargaku berada di Bandara Internasional Kazan. Olga, sahabatku juga datang untuk mengantarku. Aku sedikit sedih karena Fateeyah tidak datang untuk mengantarku. Aku menggenggam erat tangan kakakku. Ku lihat dia berjuang keras untuk tidak menangis. Aku mengerti perasaannya. Kami tak pernah terpisahkan selama usiaku hingga 22 tahun. Kakakku selalu ada untukku kapanpun dan mulai hari ini aku harus bisa tanpanya. "Teleponlah aku jika kau punya waktu. Aku tahu kau sibuk dengan pekerjaan arsitekmu." Aku meminta dengan berusaha tegar. Dimitri tersenyum dan mengusap kepalaku. "Ketika aku melihatmu pertama kali memotret, aku tidak pernah menyangka bahwa kau akan membawa mimpiku bersamamu. Baik-baiklah di sana, Margo. Jaga kesehatan dan jika ada kesempatan, pulanglah ke Kazan." Aku mengangguk. Aku merasakan airmata mulai menggenangi pelupuk mataku. "Aku berjanji." Aku menatap kakakku. Aku ingin mengatakan bahwa aku menunggu kabar bahagianya bersama Fateeyah. Dia terlihat mengerti apa yang ku pikirkan. Dimitri menunduk dan berkata lirih. "Tunggulah dengan sabar, aku pasti membawa kabar bahagiaku bersama Fateeyah untukmu," janjinya. Aku tersenyum. Olga memelukku dengan erat. Aku memeluk sekali lagi ayah dan ibuku. Memberikan ciuman panjang di pipi Ibu dan memeluk Ayah dengan seerat-eratnya. Panggilan untuk penerbanganku dengan menggunakan FlyDubai terdengar dengan keras. Aku menarik koperku dan mencoba tersenyum meski di dalam hati aku menangis. Tiba-tiba rasa takut menyerangku. Aku memegang erat tangkai koperku, mencoba menjadi kuat dan mengepakkan sayap impianku. Aku melambai keluarga dan sahabatku. Ketika aku akan melangkah, aku melihat sosok bercadar di balik sebuah pilar bandara. Aku terpaku dan masih saja terpesona dengan kecantikannya. Aku memberikan senyum sayangku pada Fateeyah yang secara diam-diam mengantar keberangkatanku. Aku menggerakkan bibirku mengucapkan ucapan terimakasih dalam bisikan. Fateeyah terlihat tersenyum melalui matanya yang hijau. Dan tanpa ragu aku menyerahkan boarding passku pada gadis penjaga pintu. Angin dingin menerpa wajahku serta kulit di bawah jaket buluku. Aku menapaki tangga pesawat dan berkata pada diriku sendiri. Aku akan mendapatkan seluruh mimpiku di Dubai. Mimpiku akan menjadi kenyataan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN