Merindu Di Bawah Sinar Bulan

1350 Kata
"Sudah lama bertahta, t’lah mengakar di dalam raga. Tiada lagi kemampuan merasakannya, mati rasa mungkin sebutnya, atau semua sekedar ketakutanku belaka. Takut tuk merasakan lara, takut untuk kecewa. Takut tertinggal begitu saja, tak ingin terus seperti ini. Walau berat terus ke berlari, mencari penyembuh hati. Hingga semua resah terhenti, walau tak semudah melangkahkan kaki. Sedikit demi sedikit, aku harus mampu membasuh rasa sakit. Bertarung dengan waktu yang menjepit, sebelum kesempatan semakin terhimpit, atau terus menjalani hidup yang pahit." Happy Reading Wajah Aurora memucat seiring dengan bertambahnya kekuatan cengkraman Darren di lehernya. Matanya terbelalak semetara dadanya penuh ingin pecah karena kesulitan untuk bernapas. Jemari tangannya yang mencengkram tangan Darren seolah ingin melepaskan pun mulai melemah, hendak terlepas karena telah kehilangan kekuatan. Aurora memejamkan matanya, membuat lelehan deras dan hangat mengalir dari sana. Kesadaran Aurora semakin menipis, pasrah untuk segera terjatuh dalam kegelapan, ingin terbebas dari rasa sakit ini. Aurora mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya, bersusah payah membuka kelopak matanya yang terasa sangat berat. Di detik selanjutnya, Aurora sejenak tertegun ketika mata coklatnya bertemu dengan mata biru itu. Jarak mereka hanya seinci, membuat wajah Darren begitu dekat, tepat berada dihadapan wajahnya. Aurora merasakan jantungnya seperti diremas ketika melihat mata biru itu berkilat dengan penuh kebencian, namun bukan kebencian itu yang membuat hatinya seolah tertusuk, melainkan luka dalam yang terselip lama di balik tatapan mata mengerikannya. Entah apa yang terjadi padanya, hanya saja Aurora bisa merasakan itu, rasa sakit yang tersimpan di mata Darren. “Apa yang kau lakukan!” Seruan dengan suara panik bercampur kemarahan yang tiba-tiba langsung membuat Darren tergeragap dan menarik tangannya dengan cepat dari leher Aurora. Sedetik itu pula Aurora terbatuk-batuk dan wajahnya terlempar ke samping sementara napasnya terengah-engah. Aurora memanfaatkan kesempatan itu untuk meraup udara dengan rakus, mengisi paru-parunya yang sempat kosong. Aurora memegangi lehernya yang masih saja menyisakan perih, seluruh energinya terkuras habis dan tubuhnya melemas tak terkendali. Tangan Aurora berpegang di sisian kursi, menjaganya sebagai penopangnya. Sedangkan Darren refleks menarik tubuhnya dari Aurora dan langsung beridiri tegap. Darren menelan ludah ketika melihat Cleo sudah berada diantara mereka. “Cleo, ayah bisa menjelaskan. Ini tidak… Perkataan Darren seketika terhenti ketika Cleo mengangkat tangannya sebagai isyarat. Mata biru putranya itu tampak terluka, ada kesedihan yang sangat terlihat jelas disana. Darren terdiam dengan punggung membeku, hanya bisa mengawasi langkah Cleo yang semakin mendekat padanya. Bibirnya kelu seolah suaranya tercekat di tenggorokan, bahkan ketika Cleo telah berada tepat di hadapannya pun Darren hanya membisu. “Ayah… kau sudah sangat melewati batas. Aku kecewa padamu.” bibir Cleo gemetaran ketika berucap, matanya memerah hendak menangis, “Kali kedua kau menyentuhkan tanganmu padanya dan seperti tanpa perasaan kau berulangkali melukai hatinya dengan penghinaan. Aku tidak pernah menduga bahwa kau mampu melakukan hal itu pada seorang perempuan. Aku membencimu.” Sesaat setelah itu Cleo memalingkan wajahnya, kemudian beranjak dari hadapan Darren, melangkah mendekati Aurora. Pandangannya langsung terjatuh pada Aurora, Cleo menahan diri untuk tidak menangis melihat penampilan Aurora yang sangat kacau. Rambut panjangnya berantakan, mata coklat beningnya memerah karena menangis sementara wajahnya pucat pasi seolah seolah tidak ada darah yang mengalir disana. Cleo membawa matanya ke bawah wajah Aurora, memandangi seksama leher Aurora yang kini telah berubah membiru dengan sedikit menghitam. Cleo melangkahkan kakinya dalam diam lalu membungkuk sedikit, membantu Aurora untuk duduk bersandar lalu mengambil duduk disampingnya. Cleo menatap Aurora dengan rasa bersalah, jika dia tahu akan seperti ini, dia sudah pasti mengurungkan niatnya bertemu Aurora apalagi meminta perempuan itu menikah dengan ayahnya. “Ibu, kau baik-baik saja?” Cleo berucap lembut, bibirnya mengulas senyum tipis. Aurora mengangguk lemah, menyetuhkan tangannya ke pipi Cleo. “Jangan cemas, aku baik-baik saja.” “Tetapi ibu terluka? Dan semua ini karenaku?” air mata Cleo menetes, membuat suaranya serak. Aurora menggelengkan kepalanya dengan tegas, “Tidak. Ini bukan salahmu, jangan katakan itu. Semua yang terjadi hanya karena kesalahpahaman saja, sama sekali tidak berhubungan denganmu.” Sambungnya kemudian. Mendengar itu, tangis Cleo langsung pecah, dia melemparkan tubuhnya kedalam pelukan Aurora, menyembunyikan wajahnya disana sebelum kemudian menangis tersedu-sedu. Aurora mendekap Cleo dengan erat berusaha untuk menenangkan, jemarinya bergerak untuk mengusap lembut punggung Cleo. Tatapan Darren menajam, alih-alih dirinya terenyuh melihat pemandangan itu yang dirasakannya malah dadanya bertambah panas, cemburu terhadap kedekatan Aurora dengan puteranya. Dia bersusah payah untuk membangun kedekatan yang sedikit intim dengan Cleo, melakukan berbagai hal tetapi tetap saja tidak berhasil. Sementara Aurora, yang hanya orang asing, menjelma menjadi sosok perempuan yang seolah penuh kasih sayang berhasil meraih kerasnya hati Cleo. Tidak boleh. Cleo adalah putranya, tidak seorangpun yang bisa merebut perhatiannya. "Ayo pulang." Darren meraih tangan Cleo, menariknya kuat supaya terlepas dari pelukan Aurora. Mata Aurora membelalak, tidak percaya bahwa Darren sanggup berlaku kasar pada putranya sendiri. "Apa yang kau lakukan! Kau menyakitinya!" teriak Aurora tanpa sadar, beranjak dari duduknya lalu menggertakkan tangannya hendak meraih tangan Cleo namun lelaki itu sudah terlebih dulu menghalanginya dengan menyembunyikan Cleo di balik punggungnya. Darren tersenyum meremehkan, "Dia putraku. Terserah padaku apa yang ingin aku lakukan padanya. Semua itu bukanlah urusanmu." "Dasar gila! Meskipun Cleo adalah putramu tidak seharusnya kau bersikap kasar seperti itu. Kau memperlakukannya seperti seorang bawahan rendah yang harus tunduk pada setiap perkataanmu. Aku tidak memahami bagaimana sebenarnya cara berpikir mu." suara Aurora sedikit merendah, tetapi sikap arogan dan kegelapan melingkupi wajahnya. Ekspresi Darren menggelap, perempuan dihadapannya ini selalu saja memiliki kata-kata yang bisa membangkitkan sisi gelapnya. Darren menggertakkan gigi, sekuat tenaga membisikkan ketengan supaya dirinya tidak lepas kendali. Ada Cleo yang harus diperhatikannya terlebih dulu, putranya itu akan mengamuk jika dirinya sampai menyakiti Aurora lagi dan pastinya membuat hubungan mereka semakin renggang. Tatapan mata Darren lekat ke dalam mata coklat Aurora, memakunya dalam. "3 hari Aurora. Aku memberimu waktu 3 hari untuk berpikir. Pertimbangkan baik-baik dan juga dengan kepala dingin, jika kau memiliki jawaban lain diluar yang ku inginkan, maka sedetik itu pula kehancuran yang nyata akan terjadi di hadapanmu." Darren menggaungkan kalimat penuh ancaman itu dengan nada mendesis, membuat bulu kuduk berdiri karena ngeri. Aurora terdiam membeku, menelaah perkataan Darren dengan hati-hati. Aurora mengamati Darren dari ujung kaki hingga ujung kepala lalu tatapannya berhenti tepat di mata biru Darren. Kesadarannya kembali ke tempat ketika Aurora melangkah maju dan berdiri tepat di depan Darren. "Coba saja. Aku ingin melihat seberapa besar pengaruh kekuasaan Light hingga berani melakukan sesuatu diluar nalar manusia. Aku sangat penasaran dengan kehancuran yang kau maksud. Segera tunjukkan padaku supaya aku bisa mengambil langkah selanjutnya." Aurora berdiri dengan kedua ujung kakinya kemudian membawa wajahnya di sisi wajah Darren, berbisik pelan dan lambat-lambat disana. "Jangan cemas, jawabanku akan tetap sama. Aku tidak sudi menikahi seorang lelaki kejam dan menjijikkan seperti mu. Camkan baik-baik tuan Light." _______________________________________ "Kenapa kau selalu memandang pada bulan jika sedang bersedih?" Ken langsung mengalihkan wajahnya ke arah Shasa sesaat setelah anak perempuan itu bersuara. Ken memandangi wajah Shasa sebentar lalu kembali menengadah menatap langit malam. "Hanya ketika menatap bulanlah hatiku tenang. Aku seperti melihat sosok seorang ibu dengan anak lelakinya disana." sahut Ken dengan suara lirih. Shasa mengerutkan dahi, tidak berhasil menemukan maksud perkataan Ken. Lalu dia menggarukkan kepala pertanda kebingungan. "Seorang ibu dengan anak lelaki? Apa maksudmu?" tanyanya dengan nada bersungguh-sungguh ingin tahu. "Coba perhatikan?" Ken mengarahkan jari telunjuknya ke langit, menunjuk sang bulan. "Bukankah disana terlihat sepasang ibu dan anak?" sambungnya menoleh kepada Shasa. Shasa semakin mengerutkan dahinya, berusaha untuk mencari tahu apa yang berada didalam bulan itu. "Kau melihatnya?" Ken akhirnya berucap lagi setelah membaca raut wajah Shasa yang masih kebingungan. Shasa menggelengkan kepalanya lalu menoleh ke arah Ken. "Tidak. Aku sama sekali tidak menemukan siapapun disana." jawab Shasa setengah menggumam, masih tidak yakin dengan dirinya. Ken tersenyum kecil, melangkahkan kakinya mendekat kepada Shasa. Ken membawa wajahnya ke wajah Shasa dan mengangkat tangannya untuk membelai kepala anak perempuan itu. "Cobalah menatap bulan saat kau sedang merindukan seseorang. Disana, di langit yang kau tatap dia pun pasti merindukan mu. Percaya padaku, meskipun bulan membisu di malam yang dingin tetapi sinarnya membisik kerinduan yang membawa kehangatan. Simpan baik-baik di kepalamu, supaya kau tidak terbendung sakitnya rindu jika nantinya aku tidak berada disisi mu lagi." sambungnya penuh arti lalu mengulas senyum misterius yang tidak dimengerti oleh Shasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN