Sebelum pergi dari ruangan Leonathan, ia menyempatkan waktu untuk coba lagi menelepon Brielle. Karena kekhawatiran masih merayap di d**a, Leonardo segera menghubungi sang kekasih dan beruntungnya tak menunggu lama, Brielle menjawab. Binar bahagia berbalut kecemasan mengitari wajahnya. “Bagaimana kondisimu? Apa perutmu sudah mendingan, Sayang?” tanyanya begitu sapaan ramahnya mendapat jawaban, namun penuh dengan nada cemas dari kalimat lelaki itu.
Brielle mencoba untuk menenangkan sang kekasih serta membalas, “aku sedikit lebih baik. Tetapi, kemungkinan besar aku kelelahan. Bisa aku undur diri dari tokomu?” dengan suara begitu lembut nan halus.
Pria yang semula menyandarkan punggung pada sofa pun duduk tegak dan ekspresinya berubah. Tampak sekali dia mencemaskan wanita di balik ponselnya ini. “Apa penyakitmu terlalu serius? Kau sampai mau mengundurkan diri,” sahut Leonardo terkejut bukan main.
“Aku kelelahan, dan pola makanku kurang teratur.” Leonardo mengangguk paham. “Aku rasa aku harus berhenti bekerja denganmu dan mengelola toko bunga bersama Naomi saja.” Brielle mengatakannya dengan sangat hati-hati, Leonardo tahu itu meski dia hanya mendengarnya melalui gawai. “Apa kamu keberatan?” tambahnya yang membuat Leonardo tak bisa menahan bibirnya untuk tersenyum.
“Kalau itu yang terbaik untukmu, tidak masalah. Lakukan apa yang terbaik, Sayang.”
Dari seberang Brielle sangat bersyukur, bahkan ia tak menyangka dengan jawaban yang diberikan Leonardo, begitu bijak baginya. “Kamu yakin tidak apa?” tanyanya sekali lagi memastikan kesungguhan Leonardo mengenai keputusannya yang diambil sejak semalam.
Leonardo mengulas senyum sekali lagi. “Untuk apa aku melarang kekasihku? Kalau bekerja di satu toko sudah cukup untukmu dan Elnathan, tidak masalah. Sebentar lagi kita juga akan berumah tangga.”
“Terus? Apa hubungannya?”
“Semua kebutuhanmu akan kutanggung, Sayang.” Terdengar dari seberang bahwa Brielle hanya berdeham dan tertawa kecil, sangat amat pelan sampai Leonardo mendengarnya samar-samar. “Omong-omong, kamu sudah makan?”
“Sudah, kamu sendiri?” Leonardo menjawab dengan jawaban yang tidak beda. “Selamat bekerja,” pesannya yang membuat Leonardo mencegah Brielle untuk mengatakan kalimat penutup tambahan.
“Aku mencintaimu,” ucapnya yang membuat Brielle membalas seperti yang dikatakan Leonardo. “Kalau sudah, aku yang tutup teleponnya. Oh, iya ... aku akan menjengukmu nanti malam, bersama kakakku. Selamat siang, Say—“
“Tunggu dulu!” sela Brielle memotong. “Menjengukku? Kamu dan kakakmu?”
“Iya. Mengapa? Apa ada yang salah?” Leonardo yang tadinya sudah tenang kembali cemas begitu mendengar pekikan Brielle yang begitu panik. “Sayang? Apa ada masalah?” Leonardo berdiri dari sofa dan menajamkan telinga begitu Brielle menarik napas dalam-dalam. “Ada apa, Sayang?” imbuhnya lagi karena sang kekasih tak kunjung memberi balasan terhadap pertanyaan penuh penasaran.
“Aku butuh istirahat, lagi pula tidak mungkin aku bertemu kakakmu dalam keadaan sakit. Besok aku yang akan datang ke tokomu untuk berpamitan. Begitu saja bagaimana?” tawar Brielle setelah didesak Leonardo. Tentunya ia memutar otak dulu sebelum melontarkan kalimat itu. “Jujur saja, aku malas keluar kamar ... tidak mungkin kakakmu masuk ke kamarku.”
“Baiklah, cepat sembuh, Sayang.”
“Sampai jumpa,” lirih Brielle dan panggilan ditutup oleh Leonardo. Lelaki itu langsung keluar dari ruangan sang kakak dan menemui pria itu sesegera mungkin. Sampai di lantai bawah Leonardo pun menyampaikan permintaan Brielle yang masih belum sehat sepenuhnya pada Leonathan dan mengatakan pula bahwa Brielle tidak bisa menemui Leonathan hari ini.
“Kekasihmu aneh.” komentar pria yang berdiri di hadapan sang adik. Leonardo yang tak ingin memperpanjang lantas menggeleng dan mengangkat bahu. “Tapi kau akan menjenguknya? Tanpa aku?”
“Tentu saja, dia kekasihku.”
Belum sempat Leonathan protes, ponsel di genggaman adiknya berdering. Fokus pada mesin kopi, ia menoleh ketika Leonardo memanggilnya. Sang adik pamit pergi setelah ia menerima telepon, “ada pesanan mendadak.”
“Baiklah, hati-hati kau di jalan.” Leonardo menepuk salah satu pundak sang kakak setelah itu berbalik badan. “Rasa curigaku makin bertambah pada kekasihmu, Nard,” gumamnya sembari melihat punggung Leonardo yang kian menghampiri pintu keluar, hingga pria tersebut benar-benar beranjak dari kafenya.
Di toko bunga milik Naomi dan dikelola oleh dua wanita bersahabat, Brielle mondar-mandir sambil meremas-remas jarinya. Jam istirahat yang biasanya dipakai untuk makan dan berleha-leha justru sekarang digunakan untuk memutar otak. Wanita yang mengenakan gaun sebetis motif bunga-bunga itu tak berhenti bolak-balik. “Apa yang harus aku lakukan sekarang? Secepat mungkin aku harus memutuskan hubungan ini,” lirih Brielle yang ternyata didengar perempuan yang baru masuk ke ruangan serba hijau itu. “Kira-kira kalimat apa yang pantas? Aku ingin putus padamu, Leonardo ... atau, aku ingin mengakhiri hubungan kita ... huh, mana yang cocok?”
Naomi mendehem, yang ternyata bisa membuat wanita cantik di hadapannya sontak menoleh, memutar kepala menjadi menengok ke belakang. “Kau yakin? Putus dengan Leonardo cuma karena dia adik dari Leonathan?”
“Aku justru tidak yakin melanjutkan hubungan ini.” Brielle terlihat masih cuek. Bahkan wanita anak satu ini tidak menatap Naomi lama-lama. Kembali memikirkan kalimat mana yang cocok ia lontarkan agar hubungannya dengan Leonardo berakhir tanpa pertikaian dan tanpa tanda tanya besar.
“Pikirkan perasaan Leonardo, Brielle.”
Sontak saja Brielle memutar badan hingga tubuh dan tatapannya mengarah tepat ke hadapan sahabatnya yang tampak sendu. “Pikirkan perasaanku, perasaanmu juga, Naomi!” sembur Brielle yang langsung memegang dua lengan Naomi, kiri dan kanan dipegangnya erat-erat. “Sadarlah! Kalau ini aku teruskan, hatimu pun akan terluka!”
“Leonardo lebih terluka.”
“Kau jangan cuma memikirkan perasaannya yang begitu mencintaiku. Kalau kau memang kasihan, pikirkan lagi kalau hatiku ternyata belum menerima cintanya sedalam perasaannya padaku! Mengertilah, aku belum sepenuhnya mencintai Leonardo.”
“Tapi aku ingin melihatnya bahagia.”
“Dengan cara melihatku dan dia menikah?!” sentak Brielle yang langsung mendorong tubuh Naomi. “Gunakan otak dan hatimu! Apa kau mau cinta tulusnya cuma untukku? Untukku yang belum mencintainya sedalam yang dia tahu?!” Lucunya Naomi mengangguk, mengiyakan ucapan Brielle itu.
Naomi mendongak dan menatap Brielle, mendekatkan wajahnya dan melihat Brielle lekat-lekat. Tatapannya seakan memohon, dan itu membuat Brielle sangat tidak nyaman. “Menikahlah dengannya, hanya kaulah yang bisa membuat Leonardo bahagia dan Leonathan hancur sehancur-hancurnya. Bukankah kau mau Leonathan mendapatkan pelajaran yang setimpal?”
“Aku bukan setan yang mau melihat banyak orang menderita,” putus Brielle sebelum ia keluar dari ruangan itu. “Bisa-bisanya kau bicara seperti itu, Naomi.” Tak habis pikir dengan sahabatnya sendiri, Brielle membuang napas panjang dan segera mengikat rambut panjang nan hitam karena hawa panas mengitarinya. Tiba-tiba saja ada pesan masuk, terdengar dari dalam tas.
Seperginya Brielle, Naomi menangis sejadi-jadinya. “Leonardo pasti sedih, Elle! tolong pikirkanlah sedikit perasannya!” pintanya berteriak yang masih sampai di kuping Brielle.
Di luar, Brielle bersorak begitu mendapati pesan Leonardo yang katanya akan pergi ke Jogja sekitar tujuh hari lamanya. “Mungkin kesempatan inilah yang bisa aku jadikan alasan. Maafkan aku,” ucapnya sebelum kembali ke toko, bergabung bersama pelanggan dan satu karyawan di sana.