“Baru saja kita membicarakan hubunganmu, beberapa menit sebelum kau mengirim pesan.” Meletakkan secangkir kopi ke tempatnya semula, lalu menatap lagi ke orang yang ia ajak bicara secara virtual. “Aneh. Sudahkah kau bertanya baik-baik padanya?”
Leonardo menggelengkan kepalanya. “Aku memintanya untuk berpikir ulang. Kau tahu sendiri, kami sudah membicarakan pernikahan, hal semacam ini seperti candaan bagiku. Konyol.” Leonathan mengerti, ia hanya menatap Loenardo. “Takdir lucu sekali, Nath,” balas sang adik yang ada di balik layar laptop Leonathan. Leonathan tersenyum sangat tipis sebelum memberikan komentar akan ucapan Leonardo tersebut.
“Bukan cuma kau yang menganggap takdir sangat lucu.” Menarik sudut bibir lagi hingga membentuk ulasan senyum manis di mata Leonardo dan melipat tangan di depan dadanya. “Aku pun merasakan kelucuannya.”
Dua hari setelah Leonathan mendapatkan kabar bahwa adiknya diputuskan oleh calon istri, ia mengajak Leonardo untuk bertatap muka melalui dunia maya seperti sekarang. Karena Leonathan tahu, adiknya butuh waktu untuk tenang dan memikirkan semua yang terjadi pada dirinya sebelum membahas hal itu bersamanya. Benar saja, kini adiknya tampak lebih tenang meski raut kesedihan sangat tampak di wajahnya.
“Tapi Nath, aku masih berharap kalau apa yang terjadi dengan hubunganku ini cuma iseng saja. Aku yakin dia masih mencintaiku, Nath.” Menahan rasa sakit di dadanya, Leonardo membuang muka, ia menunduk sejenak. Menyeka air mata yang sudah berada di sudut mata, Leonardo baru berani melihat ke arah saudara kandungnya itu. “Mungkin dia hanya mengerjaiku, bisa saja, bukan?” Leonathan yang mengerti kesedihan sang adik pun terdiam. Cukup mengerti rasanya, dia sendiri pernah ditinggalkan walau kasusnya sedikit berbeda. Membungkam mulutnya sejenak, ia setia memerhatikan Leonardo sembari menggapai cangkirnya lagi yang isinya minuman pahit agak manis itu. “Apa menurutmu dia benar-benar memutuskan hubungan kami, Nath? Menurutmu ini tidak gurauan?”
Sebelum menjawab Leonathan tampak menghirup udara di sekitarnya dalam-dalam. “Apakah sebelumnya dia pernah mengerjaimu?” tanya Leonathan di sela-sela meminum kopinya. Dilihatnyalah wajah serius Leonardo tengah menerawang. Ia pun meletakkan kembali gelasnya sembari bertanya, “kira-kira pernah atau tidak? Jika selama kalian menjalin hubungan dan dia pernah mengerjaimu, kemungkinan besar dia tengah membohongimu. Tetapi, sebaliknya, jika dia jarang bercanda mengenai apa pun ... kemungkinannya kecil kalau ini semua hanya gurauan.”
“Maksudmu dia benar-benar berniat untuk mengakhiri hubungan kami?” Leonathan menganggukkan kepala. “Apakah ini rasanya diputuskan oleh wanita, Nath?”
“Coba kau ingat-ingat lagi saat sebelum kita makan malam, bukankah dia yang mengulur waktu sampai kau tidak jadi memperkenalkannya padaku?” Di situlah Leonardo baru menyadari sesuatu. “Bukankah itu sesuatu yang janggal?” tambahnya lagi yang membuat Leonardo mengepalkan tangannya kuat-kuat dan matanya berkaca-kaca, ingin marah sekaligus meluapkan tangisannya. “Menangislah jika kau ingin, aku pun menangis saat wanitaku pergi. Ini tidak mudah.”
“Sampai di sini saja kita berbincang. Aku harus kembali bekerja, Nath.” Leonathan mengiyakan dan mematikan sambungannya dengan adiknya. Layar laptopnya kembali ke semula, menampilkan puluhan gambar kursi yang cocok ditaruh di kafenya lantai dua dan toko es krim miliknya di bagian balkon dan halaman belakang.
“Aku harap kau bisa bangkit dari kesedihanmu,” gumam Leonathan sebelum pikirannya kembali fokus ke pekerjaan. Kakak mana yang tidak ikut merasa sedih jika saudaranya sedang dilanda masalah? Terlebih lagi dia dan Leonardo hanya hidup berdua di dunia ini. Sebisa mungkin keduanya harus saling bercerita meskipun ada beberapa cerita yang tak bisa dibagikan sepenuhnya. Terutama Leonathan, karena dia tak ingin tampak menyedihkan ataupun lemah di mata adiknya sendiri.
Siang hari ini Leonathan tidak terlalu sibuk. Bahkan dia sudah memutuskan untuk membeli bunga segar. Karena dia pernah melihat toko bunga yang tak jauh dari toko es krim dan wafel miliknya, Leonathan pun memutuskan untuk ke sana langsung. Kebetulan juga, dekorasi rumah makan yang pernah disinggahinya bersama Leonardo membuatnya terinspirasi untuk membuat toko es krimnya berwarna. Terlebih lagi, banyak perempuan yang datang ke tokonya ini, dengan begitu Leonathan semakin percaya kalau bunga bisa menarik pembeli terutama wanita.
Memilih jalan kaki, dia dengan santai memijak jalanan beraspal. Membiarkan rambutnya tersengat matahari, ia tetap berjalan tegak dengan kacamata hitam serta dua tangan masuk ke saku celana. Begitu pintu kaca sudah ada di hadapannya, Leonathan mendorongnya. Tepat ketika lonceng berbunyi, dua perempuan menyapanya secara bergantian.
“Le-Leonathan?” tanya Naomi dengan muka terkejutnya memandang ke arah pria berkulit putih yang juga tampak kaget menatapnya. “Ka-kau, em, ada apa ke sini?”
“Kau bekerja di sini?” tanya Leonathan yang semakin mendekat dan Naomi segera menggerakkan kepalanya ke atas bawah dengan cepat. “Kebetulan sekali.”
“I-ya. Ak-aku sampai tidak percaya kalau kau datang ke toko milikku,” balasnya dengan senyum teramat kaku dan itu bisa dilihat Leonathan, sangat jelas.
“Toko bunga ini milikmu?” Naomi menggerakkan kepalanya lagi. “Baguslah, aku jadi bisa meminta saranmu untuk dekorasi di toko es krim milikku.”
“Boleh, memangnya kau butuh bunga apa?” tanya Naomi yang maju beberapa langkah dan menunjukkan bunga mawar aneka warna seperti merah muda. “Bunga mawar? Biasanya mawar identik dengan keceriaan, terutama kalau mawar merah muda dan ungu.”
“Bukan, aku tidak mau yang terlalu mencolok.”
“Lalu?”
“Adakah bunga aster?”
“Ada, kau mau yang warna apa?” Naomi berjalan lagi, kali ini ke sisi kanan dan terus maju. “Ini, ada putih, kuning, biru, ungu, merah.” Menunjuk ke kumpulan bunga aster yang begitu memanjakan mata bagi pecintanya.
Leonathan pun sedikit terpukau sampai kacamata hitamnya ia lepas. “Warna putih, kuning, dan biru.” Naomi lantas mengambilkannya. “Masukkan di keranjang besar, jadi satu.” Naomi menurut saja, lagi pula dia tahu kalau dompet Leonathan tidak sepi.
“Biasanya bisa tahan sekitar tujuh hari kalau kau merawatnya.”
“Tidak masalah, aku bisa kembali ke sini kalau layu.” Naomi mengangguk ramah, tersenyum dan membawa bunga dalam keranjang itu ke kasir. Leonathan yang paham pun menyelesaikan transaksinya di depan karyawan Naomi yang berdiri menghadap ke arahnya. “Sampai jumpa!” pekik Leonathan seraya memasang kacamata hitamnya, Naomi melambaikan tangannya dan bernapas lega.
“Beruntung kau belum datang,” lirihnya sangat pelan begitu pintu tertutup dan sosok Leonathan pergi dari toko bunganya. Lega karena Brielle sedang tak ada, tengah mengajak Elnathan makan siang.
Namun, berbeda jauh dari Leonathan yang sudah di jalan dan sebentar lagi hampir masuk ke toko es krimnya. Pandangannya tesita begitu saja karena melihat sosok Elnathan yang digandeng oleh seseorang dan keduanya tampak tengah buru-buru. Di saat ia memerhatikan dengan sangat teliti, barulah ia sadar bahwa itu Brielle.
“TUNGGU! ELNATHAN! BRIELLE!” teriaknya begitu saja dan membanting keranjang bunga di tangannya sembarangan. Ia berlari menyusul kedua sosok yang langsung menoleh ke arahnya. “TUNGGU!” Terus berlari mengejar keduanya. Kini Brielle pun terus melangkah cepat, sampai menggendong Elnathan susah payah. Melihat Elnathan dan Brielle, ia menyadari sesuatu. Terutama nama dari bocah berumur tiga tahun itu. “Terlihat seperti anak berumur tiga tahun, ya, umurmu sama seperti waktu Elle pergi dariku.”
Sampai akhirnya Leonathan kembali melihat toko bunga Naomi, toko bunga itulah yang menjadi tujuan utama Brielle lari darinya. Leonathan tidak berhenti menggerakkan kaki demi mengejar perempuan yang selama ini dia cari. “Bicarakan ini baik-baik, Elle. Dia juga membutuhkanku untuk tumbuh. Jangan bersikap egois, aku juga orang tuanya.”
Brielle memutar badan ke belakang, lalu menatap pria keturunan Amerika itu dengan mata tajam. Kepalanya mendongak, lalu menyahut, “tiga tahun ini dia sudah hidup tanpa sosok ayah. Jadi, untuk apa kau hadir di dalam hidupnya? Bagiku, kau sudah tiada.” Brielle kembali melanjutkan langkahnya. Dia harus segera masuk toko jika tidak ingin gajinya dipotong.
Namun, baru beberapa langkah, Leonathan kembali menjawab, “aku tidak akan pergi sebelum membawa kalian. Itu adalah tekadku setelah menemukanmu, dan anak kandungku.”