Jalannya Beda. Tujuannya Sama

1038 Kata
Nuna tersenyum lugu. Tidak merasa permintaannya beban buat Mamat. Inilah tujuan utamanya. Ia meneruskan sekolah formal bukan demi mendapatkan ijasah atau simpatik orang lain. Tanpa itu pun, Nuna sudah bisa hidup dengan kekayaannya. Ia berada di sini, tak lain karena ingin mendapatkan teman dan merasakan kehidupan orang biasa. Mamat terbelalak dalam hati ia meruntuki diri, 'Mampus udah. Apa kata mulut tetangga kalau membawa Nuna ke rumahnya yang RSSSS itu. Rumah sangat sederhana sekali sampai selonjoran saja susah. Terlebih, apa tanggapan Nuna tentang rumahnya.' Tidak, Mamat tidak ingin dipermalukan begitu saja. Bisa jadi, setelah melihat rumahnya Nuna akan risih padanya. Malu dengan kondisi orangtuanya adalah hal paling biasa yang Mamat rasakan sejak dulu. Bukan karena ia tidak menyukuri dan mencintai emaknya. Justru karena rasa sayangnya itu. Mamat gak mau kalau sampai ada orang yang menyakiti hati beliau biarpun lewat tatapan sinis saja. Mamat langsung panas dingin. Spontan ia berteriak. "Jangan!" Mamat memekik dan menggebrak meja. Membuat Nuna melompat kaget dengan reaksi Mamat. "Hah," gumam Nuna ngeri. Karena merasa berdosa, Mamat jadi menyentuh tangan Nuna. "Eh, maksudnya Non gak bakal betah di sana. Jadi, kita makan di sini saja. Gado-gado di sini juga enak, kok!" lanjut Mamat jadi merevisi ucapan dengan kekehan yang tak jelas. Ia lakukan agar Nuna tidak lagi merengek ikut ke rumahnya. Ah, semoga gadis manja itu paham dan gak punya ide macam-macam lagi. Nuna melirik ke lengannya yang masih setia dipegangi Mamat. Menyadarinya.., Mamat langsung menarik tangan dengan tergesa. Ia menyimpan kepalan tangan seraya cembetut. Mamat gak sadar,ya kalau tingkahnya yang kayak gitu imut di mata Nuna. Lantas Nuna mengeleng. Dia gak mau cobain gado-gado di sini. Baginya, kata pertama itu selalu benar. Jadi ngapain juga dia cobain gado-gado kualitas biasa kalau di rumah teman barunya, katanya ada yang enak pake banggettt! "Aku gak jadi makan deh!" rajuk Nuna sembari cemberut. Selain model, ia berkali-kali casting sandiwara. Nuna juga pernah belajar di sanggar teater. Dan ia sangat pandai memainkan peran juga gasture tubuhnya. Nuna yakin, sedikit saja ia ngambek. Mamat pasti akan memperboleh,'kannya ikut ke rumah. Lagipula, tidak ada kan yang bisa menolak cewek cantik. Namun Mamat malah diam. Ia melirik ke arah Nuna, sedang berfikir rencana meninggalkan Nuna. Kabur aja apa,ya. Eh, tapi suatu saat ketemu lagi kan?! 'Duh, kenapa jadi gini sih. Tadi kan katanya mau temenin makan doang sekali. Tapi kenapa auranya jadi panas gini. Minum dulu deh!' Mamat menyeruput es teh yang memang langsung disediakan. Nuna mendelik, ia jadi kesal lalu mengetuk meja merasa diabaikan. Baru kali ini, cara halus yang dia pakai gak berhasil. Dari dulu Nuna selalu mendapatkan apa saja yang ia inginkan. Ayahnya, Robby cuma bisa memanjakannya dengan semua itu. Karena setelah kepergiaan mamanya Nuna- yang juga seorang penyanyi terkenal. Robby tidak punya lagi pemasukkan selain mengharapkan Nuna bekerja giat. Sehingga uang yang dihasilkan tidaklah sedikit. Yah, selama ini gadis itulah yang menjadi tulang punggung keluarga. Sedang reward-nya Nuna bisa berbuat semaunya. "Bang Mamat. Aku mau ke rumah Bang Mamat... ." Nuna merajuk pada akhirnya. Tapi Mamat menggeleng. "Iih.., Bang Mamat." Selama ini. Sikap manjanya, merasa dirinya superior dan kariernya yang cepat melejit adalah alasan mengapa Nuna merasa ia tidak layak untuk ditolak. Namun, Mamat malah melakukan itu. Hancurlah harga diri Nuna di depan Mamat. Penolakan pertama dalam hidupnya membuat Nuna tidak tau harus melakukan apa selain memaksakan kehendak. Ia tidak menyadari. Karena sifat-sifatnya itulah makanya Nuna tidak punya teman. Siapa yang tahan punya teman sempurna macam dia. Yang ada buat dibandingin doang nantinya. "Boleh, tapi gak sekarang," ucap Mamat memberi janji partai alias janji yang tak akan pernah ditepati. Meski bohong gak baik. Tapi kali ini Mamat gak punya pilihan lain, lagi cewek kayak Nuna gini juga paling satu-dua jam lagi sudah lupa sama permintaannya sendiri. Mamat tinggal memberikan angin segar untuknya tanpa bermaksud mengabulkan. Hanya seperti itu saja, netra Nuna terus memancarkan binar kebahagiaan. "Terus kapan. Nanti siang aja,ya. Aku telepon Papi dulu sekarang buat gak jemput aku pulang sekolah." Nuna sudah mengeluarkan benda pipih lambang apel digigit versi terbaru. Mamat cuma bisa menelan ludahnya, mau menolak tapi.., dia juga gengsi. Cowok itu kan yang dipegang omongannya. Yah, walau ada juga sih yang bisa dipegang selain omongan. Sesuatu yang panjang, padat, keras dan berurat. Apa lagi kalau bukan, tangan. Nuna cembetut karena Robby tidak menerima teleponnya. Mungkin papinya sedang sibuk bersama wanita-wanitanya. Yah, sejak ibunya meninggal ayahnya itu tidak terlihat sedih sama sekali dan malah langsung mencari tambatan hati lainnya. "Yah. Papi gak angkat lagi," lirihnya kecewa. Kontan Mamat menghembuskan nafas lega. Minimal dia punya alasan untuk kabur nanti siang. "Makanya jangan ntar siang, Nuna ijin dulu sama papi. Kalo Nuna langsung pergi terus Papi ke sini Nuna gak ada. Kan repot." Kata-katanya begitu lancar. Mungkin karena Mamat sebenarnya pandai berdusta. Tapi Nuna tersenyum miring, sulit mengartikan senyum dengan sejuta maksud itu. "Kenapa aku gak mikir gitu, ya, Bang Mamat" Matanya menatap jail, telunjuknya mengetuk dagu. "Eh, eh.., Maksudnya?" Nuna mendekati Mamat. "Kita pergi saja langsung. Yah, paling pas papi cari aku, aku'nya gak ada!" Cewek itu senyum sumbringah. Sebetulanya Nuna sedang mencari cara agar menjadi pembangkang. Dan ucapan Mamat memberinya ide briliant. Ia capek terus dimintai pemotretan, berusaha menjaga image dan gak boleh berbuat semaunya di depan kamera. Karena itu di belakang. Ia mau membebaskan diri. Mencoba segalanya termasuk berkawan dengan lelaki biasa seperti Mamat, pasti menyenangkan. Hal-hal yang berbau 'gak boleh,' Akan ia jajal. Hidup itukan cuma sekali. Jadi Nuna tidak mau menyia-nyiakannya. Nuna bertepuk tangan bahagia. Mamat sepertinya bisa menjadi partner-nya berbuat nakal. Sebagai cobaan untuk papinya yang selalu gak suka sama orang miskin. Hm, hidup juga butuh cobaan kan biar gak lempeng-lempeng amat. "Aku sudah putusin nanti siang jadi ke rumah Bang Mamat. Sekarang pesenin aku makan dong, Bang!" Tatapannya dan ucapannya sama-sama enteng. Bikin Mamat tersiksa, ia bengong sambil mencari cara buat menolak Nuna dan itu ditangkap Nuna sendiri. "Kenapa Bang Mamat gak punya uang,ya. Nih aku punya!" Ia mengeluarkan uang dua ratus ribu. Menyerahkan ke telapak Mamat. Uang itu baginya cuma untuk sarapan sekali. Nominal yang sama dengan setengah bulan uang makan Mamat. Mamat berdiri, cukup sudah. Kenapa sejak awal dia gak sadar, kalau Nuna sedang berusaha menghinanya. Ajakan ke rumah juga paling demi melancarkan niatannya itu. Jadi buat apa mikir cari alasan pas jika Nuna saja tidak memperdulikan perasaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN