1

1294 Kata
Elora tidak bertanya kenapa Elang membawanya ke atap gedung cafe milik Aris yang merupakan sahabat Elang. Biasanya mall atau restoran, mereka menghabiskan weekend. Tidak dengan sore hari ini. Tempatnya tidak buruk, cukup nyaman seandainya hati Elora baik-baik saja. Tapi, kejadian beberapa saat lalu, mengacaukan fokusnya. Disaat Elang mengajaknya bicara, Elora tidak begitu menanggapi. Gadis itu lebih banyak bergumam ketimbang memperjelas suaranya. Elora masih linglung. Ia sudah menjawab kebingungannya, namun masih linglung pada rasa bertuan namun tidak mendapat pengakuan. Elora tidak ingin mengungkit, tapi dadanya memaksa terlalu keras untuk mengingat banyak hal yang telah dilewatinya bersama Elang. "Kamu lagi halangan?"  Elora menggeleng. "Bab 3 banyak yang salah." Elora berbohong. "Mungkin, besok aku tidak bisa keluar." Elora tahu, jika kata-katanya sudah merusak suasana. Setiap weekend mereka tidak pernah menyinggung tugas dan kerjaan. Waktu yang digunakan tidak banyak, mulai dari sore hingga jam sembilan malam untuk hari sabtu, sedang hari minggu dari pagi hingga sore. Selain dua hari itu mereka bertemu usai kegiatan dikampus dan tempat kerja Elang. "Ada apa?" jelas sangat membingungkan, karena ini bukan sikap Elora. "Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" Elora tersenyum, belum satu jam menghabiskan waktu bersama, bisa dihitung berapa kali Elora menatap Elang. Sungkan atau enggan, entahlah. Senja sore itu tidak begitu indah, Elora kurang menikmati. "Males lihat mukanya. Perasaan enggak kelar-kelar." "Jujur. Ada apa?" "Tempat ini kurang bagus." Elang menahan lengan gadis itu. Sikap Elora terlalu tiba-tiba dan membingungkannya. "Kita cari tempat lain?" "Aku mau pulang saja," jawab Elora tanpa melepaskan tangan Elang yang menahannya.  Elang tidak memaksa Elora untuk tinggal, tapi tidak diam saja pada sikap yang cukup asing. Turun dari atap lelaki itu menuntun Elora, Elang masih menggenggam tangan Elora. "Aku melakukan kesalahan?" Elora menggeleng. "Jangan diam. Kumohon." "Aku lelah. Jalan saja." Elora mau pulang. Jangankan mengobrol, melihat wajah Elang saja Elora tidak sanggup. Bayangan Elang mencium Dinda semakin membuat dadanya berkecamuk. Jika Elora sedang menahan sesak di dadanya, maka Elang tengah dilanda gelisah. Ini bukan Elora-nya. Tangan Elang enggan melepaskan genggaman, Elang khawatir, tapi Elora belum berkata jujur. "Aku mau pulang," kata Elora ketika melihat apartemen Elang. Elang tidak menjawab. Elora tidak bisa marah pada lelaki itu. Ketika Elang membukakan pintu agar Elora turun, Elora malah tidak melakukan keinginan Elang. "Kita makan malam dulu."  "Aku tidak lapar." nada suara Elora rendah. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah kita makan." tangan Elang masih terulur, namun tak ada sambutan dari Elora. "Aku bisa pulang sendiri." ketika mengatakan itu, Elora belum juga keluar dari mobil Elang. Ia menunggu laki-laki itu bergeser. "Kamu tahu, aku tidak bisa marah, El." saat itu Elang menahan gejolak di dadanya. Ada apa dengan Elora, masih menjadi bayangan terkaan dalam benaknya. "Aku cuma mau pulang." Dua jam bersama, Elora menahan diri agar tidak menyebut nama Elang. Elang tidak akan membiarkan Elora pulang sebelum mereka bicara. Kali ini, Elang akan memaksa Elora. Tanpa basa-basi, Elang menarik tangan Elora sedikit kasar agar wanita itu keluar dari mobil dan caranya berhasil. Bukan hanya Elang, Elora pun tidak bisa marah. Tidak pernah ada masalah serius sehingga mereka harus membungkam mulut. Elang dan Elora selalu membuka diri, karena itu salah satu syarat agar hubungan persahabatan mereka langgeng. Hingga sampai di depan pintu apartemen, genggaman Elang tidak terurai. Setelah memasukan sandi, pintu terbuka.  Elora melihat sepasang sepatu wanita. Ketika Elang menariknya, Elora melepaskan diri. "Aku melupakan sesuatu." Elora belum siap, ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika kakinya masuk ke apartemen Elang. Dengan gesit, Elang menangkap lengan Elora dan memeluk gadis itu. Elora ingin menangis, tapi sekuat hati ia menahannya. Apa arti pelukan ini dan ciuman sore tadi bersama Dinda? Elora harus menguatkan hatinya, karena tahu Elang tidak akan membiarkannya pergi. Keberadaan seseorang di dalam, tentu akan membuat dadanya remuk. "Dinda."  Elora tidak ingin melihat raut Elang saat menyadari keberadaan Dinda di apartemennya. ****** "Seperti yang Mas mau. Aku akan ada saat mata Mas terbuka hingga menutup." Mas? Kenapa kalimat itu bermakna dalam?  Pintu apartemen sudah ditutup, dan Elora masih berdiri menyaksikan dua orang yang memiliki hubungannya. Manis kalimat Dinda didengar dengan jelas oleh Elora. "Aku sudah menyiapkan makan malam," kata Dinda memberitahu. "Yuk El, kita makan bareng." Elora menerima ajakan Dinda. Sikap biasa Dinda, diperhatikan Elora.  "Jam berapa kamu datang?" Dinda tersenyum manis. "Jam empat mungkin." artinya sesaat setelah Elang dan Elora pergi. "Aku ingin melakukannya." seperti ucapan Elang setelah mereka berciuman tadi sore. "Karena aku tahu Elora juga akan mampir, aku masak teri balado." Elora sedang tidak selera. Elang melihat gadis yang duduk di hadapannya. Aneh sikap Elora sudah terlihat sejak keluar dari rumah. Hal apa yang membuat Elora bersikap aneh hari ini belum diketahui Elang. Elora mengisi sedikit nasi dan teri, sebagai bentuk menghargai sepupunya. Gadis itu harus memaksakan diri agar nasi yang telah masuk ke dalam mulutnya bisa ditelan. Perhatian Dinda pada Elang, masih disangsikan Elora. Elora tidak ingin meyakini, mungkin penjelasan Elang dibutuhkan, walaupun Elora tidak akan siap. Elora berharap ada yang menghubunginya disaat seperti ini. Berada di antara Elang dan Dinda membuatnya tidak nyaman. Gadis tersebut tidak sadar jika Elang memperhatikannya, karena Elora jarang menatap wajah lelaki itu sejak sore tadi. "Aku ke kamar mandi sebentar." tidak menunggu jawaban kedua orang itu, karena Elora segera meninggalkan meja makan. Di kamar mandi Elang, Elora menahan diri agar tidak menangis. Dadanya sakit, Elora menepuk agar rasa sakit itu berkurang. Sekalipun Elang memberitahu kenyataannya, hati gadis itu tidak akan siap. Karena tidak bisa bertahan, Elora menangis. Kenapa perasaannya begitu besar pada Elang? Ketika keluar dari kamar mandi, ia tidak menemukan Elang dan Dinda. Elora tidak  mencari, karena yang diinginkan Elora saat ini adalah pulang. Saat melewati kamar Elang, Elora tidak melihat tapi bayangan kejadian di sana diketahui gadis itu.  Sesak itu kian menjadi, Elora membuka pintu apartemen dan berlari keluar dengan isak tangis menahan sakit dan kecewa. "Sendiri?" "Mama maunya aku pulang sama siapa?" tanya Elora. Wajahnya masih terpasang masker dan kacamata. "Elang mana?" "Ada urusan mendadak." Ria tidak terlalu memperhatikan, sehingga ia tidak tahu jika putri semata wayangnya sedang terluka. "Aku mau tidur." Elora tidak ingin mengobrol lagi. Keadaan hatinya sedang tidak baik-baik saja. Apa yang dilakukan Elang di kamar menjadi bahan pikiran Elora. Bertemankan bantal, gadis itu mencurahkan kesakitannya. Air mata ikut menemani malam Elora hingga gadis itu terlelap. Mimpi indah Elora sudah hancur. Tidak ada alasan lagi bagi dirinya untuk menggapai singgasana tertinggi di hati Elang. Sudah ada nama yang dielukan, dah Elora harus sadar diri. Menyambut pagi, tak lagi seperti biasa. Jam lima subuh, gadis itu sudah keluar. Kebiasaan Elang setiap pagi adalah mengunjungi rumah Elora. Apalagi di hari Minggu, seperti biasa Elang akan menikmati sarapan bersama keluarga Elora.  "Enggak tahu juga, kenapa pagi-pagi buta El keluar." Ria tahu dari bi Tiar. "Bilang sama bibi cuma ada urusan." Elang menelan ludahnya. Ia tahu salah, karena selama tujuh tahun, ini pertama kali Elora tidak mengangkat teleponnya. Bukan sekali, hampir lima puluh kali Elang menghubungi Elora sejak tadi malam. Hari Minggu, selalu dihabiskan Elora bersamanya. Jika harus mencari, Elang tidak tahu. Karena Elora tidak pernah main ke rumah teman. Tempat favorit Elora adalah perpustakaan. Karena ini hari Minggu, tempat itu tutup. Empat jam berputar mencari Elora di cafe, restoran hingga kampus, Elang tidak menemukannya.  Jam dua siang, Elang kembali ke rumah Elora. Bukan gadis itu yang ditemui Elang, melainkan Dinda.  "Aku menunggu Mas."  Elang meraup wajahnya. Ia lupa telah membuat janji dengan wanita pujaan hatinya. "Mau pergi sekarang?" padahal dirinya sedang gelisah. Pagi ini ia belum melihat Elora. Ia belum tahu keadaan gadis itu. Dinda mengangguk dengan senyum bahagia. Bersama keluar dari rumah Elora, mereka berpapasan dengan si pemilik rumah. Elang menatap tajam gadis yang menyunggingkan senyum kepada Dinda. "Baru pulang, El?" "Eum. Mama di rumah?" tanya Elora melihat keadaan rumah sepi. "Arisan di rumah teh Nia." Elora mengangguk, dan masuk melewati sepasang kekasih itu tanpa sedikitpun melihat Elang. Elang melihat sebuah fakta, jika Elora sedang tidak baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN