2. Bukan Perkara Mudah

2666 Kata
Alanna tampak sekali gelisah. Hampir satu jam ia membolak balik posisinya di atas ranjang agar bisa segera tertidur. Namun, usahanya sedari tadi seperti tidak membuahkan hasil. Malam ini, Alanna terasa sulit sekali untuk memejamkan mata karena ada sesuatu hal yang sedari tadi begitu mengganggu pikirannya. Menegakkan tubuh, Alanna mengusap lembut wajah kemudian memijat pelan keningnya. Entah kenapa, sampai detik ini ia masih saja terngiang-ngiang ucapan Viona beberapa hari lalu di Cafetaria rumah sakit Medika. "Jangan khawatir, Lana. Elfathan insya Allah bisa bersikap adil dengan kita berdua. Lagi pula, kamu memang cukup sempurna untuk jadi calon istri sekaligus ibu dari anak-anaknya," ucap Viona setelah membaca hasil pemeriksaan kandungan yang Alanna lakukan beberapa jam lalu. Sementara Alanna sendiri memilih untuk diam sejenak. Sampai detik ini, ia masih saja tidak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya itu. Bagaimana bisa Viona begitu santai atau mungkin saja termasuk berbuat gila karena rela mencarikan jodoh untuk suami yang ia cintai. "Sekali lagi aku tanya, Vio, kamu yakin?" "Yakin soal apa?" tanya wanita di depannya. "Yakin cariin istri baru untuk Elfathan?" Alanna mengangguk. "Sampai detik ini, aku masih bingung, bisa-bisanya kamu cariin Elfathan istri hanya karena ingin memiliki keturunan." "Kamu bilang apa barusan? hanya ingin?" Nada suara Viona terdengar sedikit meninggi. Wanita itu bahkan menarik sudut bibirnya membentuk senyuman masam. "Nyatanya nggak seremeh itu, Lana. Memiliki anak memang impian terbesar Elfathan sedari awal kami menikah. Apalagi El anak sulung. Walaupun kedua orang tuanya nggak pernah mendesak kami berdua untuk punya keturunan, aku sedih aja karena nggak mampu memberikan apa yang selama ini ia harapkan." "Emangnya El nuntut kamu harus punya anak?" "Nggak," geleng Viona. "Ia bahkan dari dulu selalu menolak kalau aku memintanya mencari istri baru atau berpoligami." Kening Alanna berkerut. Ia pikir suatu kegilaan memaksa seseorang untuk melakukan apa yang sebenarnya tidak ingin ia lakukan. Lebih-lebih ini memaksa untuk menikah lagi. "Ya terus? kalau El aja nggak bersedia, kenapa kamu minta aku untuk jadi istri keduanya? Kamu benar-benar gila!" Viona mendesah. Meraih pergelangan tangan Alanna sembari menatap sahabatnya itu lekat-lekat. Raut wajah yang tadinya sempat masam, kini berubah drastis menjdi sendu. "Karena kamu mampu memberikan apa yang nggak bisa aku berikan, Lana," ucap Viona dengan lirih. "Kalau pun bisa memberi El keturunan, aku nggak akan senekat ini memintanya untuk menikah lagi." "Tapi kenapa harus aku? Kenapa nggak wanita lain aja." Tentu ini menjadi pertanyaan besar bagi diri Alanna. Ia saja sampai detik ini heran. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Tidak ada angin apalagi hujan badai, tahu-tahu Viona menghubungi dan mengajak dirinya untuk bertemu. Entah dari mana juga sahabatnya itu bisa mendapat nomor handphonenya. Padahal, bisa dikatakan mereka sudah sangat lama lost contact. "Semua itu bermula dari keputusasaan yang aku alami," sahut Viona. "Ada satu malam di mana aku merasa benar-benar terpuruk. Lalu aku mohon sama Tuhan untuk diberi jalan keluar. Dan asal kamu tau, besoknya Tuhan langsung jawab doa yang aku panjatkan." "Maksud kamu?" "Iya," angguk Alanna. "Besoknya, setelah sekian lama kita nggak saling kontak, aku nggak sengaja liat kamu di salah satu mall. Dan setelahnya, aku terus kepikiran soal kamu, Lana. Dari situ, aku yakin kalau Tuhan sebenarnya kirim kamu buat kasih pertolongan atas masalah yang sedang aku hadapi saat ini. Itu sebabnya, aku susah payah cari cara supaya bisa hubungi kamu segera." "Dan begitu ketemu, kamu tanpa basa basi langsung minta aku jadi madu suamimu?" "Aku nggak punya banyak waktu, Lana," balas Viona. "Lagi pula, seperti apa yang aku katakan sebelumnya, memang kamu yang pas untuk mendampingi Elfathan. Belum lagi hasil pemeriksaan kandungan yang baru aja kamu lakukan sangat baik, bahkan menunjukkan kesiapan rahimmu untuk dibuahi. Berbeda jauh dengan nasibku yang udah nggak punya sama sekali harapan untuk mengandung anak Elfathan." Sekarang, giliran Alanna yang tersenyum hambar. Bagaimana bisa Viona bisa begitu yakin kalau dirinya adalah wanita yang tepat untuk dijadikan istri sekaligus ibu dari anak seorang Elfathan Asegaf. "Banyak wanita lain di luar sana yang lebih segala-galanya dari aku, Viona." "Kamu benar." Viona mengangguk. "Yang lebih sempurna memang banyak. Tapi yang aku kenal luar dalam cuma kamu, Lana. Belum lagi kita sama-sama Syarifah dan itu poin pentingnya." "Tapi, Vio—" "Udahlah, Lana. Sekali lagi kamu nggak usah khawatir," potong Viona. "Dalam waktu dekat, seperti permintaan yang kamu ajukan sebelumnya, aku pastikan Elfathan akan datang berkunjung untuk meminta izin melamar sekaligus menikahimu. Aku juga yakin, Umi Karina pasti setuju dengan pernikahan ini." Gara-gara syarat bodoh yang Alanna ajukan, sekarang ia kepikiran sendiri. Kalau memang tidak ingin menjadi istri kedua, kenapa juga dari awal ia tidak langsung menolak saja permintaan Viona. Alanna merasa benar-benar sudah gila. Dulu, ia memang begitu menyukai Elfathan. Behkan pernah bermimpi suatu saat bisa menikah dengan pria itu. Sekarang? Walaupun terlambat, Tuhan kabulkan mimpinya. Tapi, kenapa malah jadi istri kedua. Pusing sendiri karena terlalu banyak yang dipikirkan, Alanna pelan-pelan beringsut turun dari kasur. Melangkah keluar kamar, bermaksud untuk menghampiri Alinna yang berada di kamar tamu. Karena ditinggal tugas beberapa hari ke Yogyakarta oleh Rayhan, saudara kembarnya itu memilih untuk menginap di rumah orang tua mereka. Alanna pikir, mungkin ada baiknya bercerita pada Alinna. Siapa tahu adiknya tersebut bisa ikut memberikan saran atas masalah yang tengah ia alami sekarang. Begitu memasuki kamar Alinna yang memang tidak terkunci, Alanna langsung melangkah menuju kasur. Tanpa ragu menepuk pelan pundak belakang Alinna yang kala itu posisinya sudah masuk ke selimut. "Alinna ... jangan tidur dulu," pinta Alanna dengan suara nyaris berbisik. Wanita itu bahkan langsung mendudukkan dirinya tepat di sisi ranjang. Kembali mengulurkan tangan, lalu sekali lagi menggoyang tubuh sang kembaran agar segera membuka mata. "Kak Lana, ini udah malam. Kamu mau ngapain?" gumam Alinna dengan mata masih terpejam. "Ada yang mau aku omongin sama kamu." "Ngomongin apa? Emangnya nggak bisa besok? Ini udah larut malam. Mending buruan istirahat." "Tapi ini penting banget, Na," balas Alanna dengan nada seolah memohon. Alinna mengusap wajahnya. Masih setengah malas wanita itu menegakkan tubuh lalu menyandarkan bahunya pada headboard kasur. Setelah seluruh kesadarannya terkumpul, ia lantas menatap Alanna dengan tatapan penuh tanya. Biasanya, kalau Alanna sampai menghampiri malam-malam begini, pasti ada hal penting yang mau wanita itu bahas. Alinna hapal benar tabiat kembarannya tersebut. "Kak Lana mau cerita apaan, sih?" Alanna merubah posisi duduknya agar bisa berhadapan langsung dengan Alanna. Menaikkan kakinya, lalu duduk bersila di atas tempat tidur. "Kamu ingat sama cowok yang pernah aku taksir waktu kuliah dulu, nggak?" Alinna merotasi bola matanya. Berusaha mengingat-ngingat sosok mana yang dimaksud oleh Alanna. "Yang mana, sih? Yang dari fakultas kedokteran?" Alanna sontak mengangguk. Membenarkan tebakan Alinna. "Iya, itu. Emangnya cowok incaran aku selama ini ada berapa banyak, sih?" "Ada dua, kan? Yang satunya abang Alfatih." "Iya. Tapi aku lagi nggak bahas soal abang Al." "Ya terus kenapa tiba-tiba saja bahas cowok incaran?" heran Alinna. "Kan dia nikah sama Viona." "Iya tau. Viona sahabatmu itu, kan?" "Aku baru-baru ini ketemu Viona," lanjut Alanna. "Dan dia mohon-mohon ke aku untuk jadi istri kedua Elfathan, suaminya," jawab Alanna dalam satu tarikan napas. "Apa?" Mata Alinna langsung membola. Ia yakin benar kalau pendengarannya tidak salah barusan. "Jangan gila, Kak! Masa iya kamu cantik begini dijadiin istri kedua" Alanna terdiam. Melihat ekspresi yang Alinna tunjukkan, ia yakin saudarinya itu pasti marah kalau mendengar lebih lanjut apa yang akan ia ceritakan. "Aku udah berusaha nolak, Na. Tapi dia mohon-mohon untuk aku terima permohonan dia." "Alasannya apa? Kok tiba-tiba nyuruh Kakak nikah sama suaminya? Lagi pula, cewek di dunia ini kan banyak. Kenapa harus kak Lana?" Alanna mengembuskan napas panjang. Bingung juga harus memulai ceritanya dari mana. Layaknya makan buah simalakama, ia benar-benar sedang dalam posisi yang terjepit, sekarang. "Intinya, Viona itu nggak bisa punya anak karena rahimnya sudah diangkat. Terus dia tau kalau dulu aku emang naksir sama Elfathan. Lagi pula, kita sama-sama satu keturunan Ba'alawy. Jadi —" "Jadi dia pilih kamu untuk jadi istri kedua supaya Elfathan bisa punya keturunan? Gitu maksudnya?" tebak Alinna seolah dapat membaca apa yang akan Alinna katakan kepadanya. Dari gelagatnya saja, Alinna yakin pasti Alanna tidak bisa melakukan apa-apa. Sebenarnya heran juga. Padahal, dulu Alanna itu sosok yang keras bahkan suka sekali mengintimidasi Chava sebelum akhirnya berbaikan. Tapi, kenapa sekarang malah berubah menjadi perempuan yang lembek. "Iya, Na." "Gila!" Alinna langsung berseru. Tapi tak berapa lama wanita itu terdiam seolah mencerna sesuatu di kepalanya. Tiba-tiba ia ikut terpikirkan, kalau-kalau nanti tidak bisa memiliki anak, apakah harus merelakan Rayhan mempersunting wanita lain? Seketika itu juga ia menggelengkan kepala berulang kali. Enak saja berbagi suami dengan wanita lain. Lebih baik berpisah dari pada harus melihat suami sendiri menikah lagi. "Na!" tegur Alanna. "Kamu kok malah ngelamun. Menurutmu aku harus gimana?" "Aku juga nggak tau harus gimana, Kak. Tapi yang namanya berbagi suami itu pastilah nggak enak. Mau Viona sebaik apapun ke kamu. Pasti ada satu momen yang buat kalian canggung atau malah saling nggak enak hati nantinya." Alanna mengangguk. Yang Alinna katakan memang benar. Mau sebaik apa pun Viona saat ini, atau seadil apa pun Elfathan nantinya, sebagai manusia normal, ia yakin suatu hari nanti akan ada kecemburuan di antara mereka berdua. Entah Viona atau dirinya yang merasa cemburu lebih dulu. "Aku juga nggak pernah kepikiran untuk jadi istri kedua, Na. Tapi liat Viona aku juga kasihan." "Kasihan sih boleh, Kak. Tapi nggak harus korbanin perasaan sendiri juga, kan? Dulu, kamu udah baik hati memilih untuk mengalah. Sekarang? Kenapa dia harus repotin kakak lagi." Wajah Alinna kentara sekali menujukkan ekspresi tidak suka. Memang begitu. Alinna paling tidak suka kalau anggota keluarganya di usik orang lain. "Tapi aku sudah menyetujui permintaan Viona, gimana dong." "Ya Allah." Alinna refleks berseru. Kepala wanita itu bahkan tampak terlihat menggeleng berulang kali. "Memang kakak jawab gimana?" "Aku bilang ke Viona, kalau Elfathan emang setuju dengan pernikahan ini, harus dia sendiri yang datang ke rumah. Harus Elfathan juga yang minta izin secara langsung sekaligus meyakinkan Umi untuk meminang aku." Alinna menghela napas panjang. Kenapa juga kembarannya ini tidak berpikir secara matang sebelum memberikan jawaban atau tanggapan pada Viona. "Saran aku, mending kakak pikirin lagi baik-baik," pinta Alinna. "Ini pernikahan, Kak. Penyempurna ibadah yang nggak bisa seenaknya putus sambung. Dosa besar kalau nantinya di tengah jalan nggak ada kecocokan terus kalian malah bercerai." Alanna terdiam mendengar ucapan Alinna. Tapi mau bagaimana lagi, ia sudah mengiyakan permintaan Viona beberapa waktu yang lalu. Ia memang tidak tega melihat bagaimana sahabatnya itu bersimpuh memohon pertolongannya. "Besok atau lusa aku bakal coba untuk hubungi Viona kembali buat bicarain hal ini lebih lanjut." "Ya emang harus, Kak!" Alinna menimpali. "Jangan sampai nanti salah mengambil keputusan yang pada akhirnya malah mendatangkan penyesalan. Aku nggak mau kakak menderita nantinya. Alanna terharu mendengar ucapan sang adik. Merentangkan tangan, dipeluknya tubuh Alinna erat-erat lalu tak lama wanita itu berbisik pelan, "Makasih banget karena kamu udah khawatir sama nasib aku. Makasi juga udah bersedia dan mau dengerin keluh kesah malam ini. Kalau ada apa-apa, aku bakal cerita lagi." *** "Alanna, ayo kita makan dulu. Kerjaannya bisa dilanjut nanti." Chava terlihat menunggu Alanna dengan sabar di ambang pintu ruangan. Sekarang pukul satu siang. Sudah waktunya untuk mereka beristirahat sekaligus menyantap menu makan siang. Setelah beberapa waktu sempat bekerja di Aslan Group mendampingi Alinna, Alanna memutuskan untuk bergabung dengan Chava mengolah beberapa butik menggantikan Sheila, Sahabat sang kakak yang harus pindah ke luar negeri. Ketimbang mengurusi dokumen penting di Aslan Group, Alanna lebih menikmati hari-harinya bekerja di butik milik kakak sambungnya itu. Ia yang memang menyukai dunia fashion seperti menemukan kepuasan tersendiri karena bisa bekerja sekaligus melakukan apa yang menjadi kesenangannya. "Iya, Kak. Ini udah selesai, kok." "Ya udah buruan. Kita makan di mall yang ada di ujung jalan aja." Alanna yang sudah selesai merapikan potongan kain di atas meja kerjanya langsung melangkah besar menghampiri Chava. Mengekori kakaknya tersebut berjalan menuju parkiran di mana sudah ada seseorang yang ternyata sudah sedari tadi menunggu mereka berdua. "Assalamualaikum Habibi," sapa Chava sembari tersenyum sumringah. "Maaf kalau kelamaan nunggunya. Lagian salah sendiri nggak mau masuk segala." "Waikumsalam. Nggak masalah cuma nunggu lima menit. Nunggu kamu seumur hidup aja aku mampu." Alanna langsung tertawa. Lama kelamaan ia merasa kakak iparnya itu mirip sekali kelakuannya dengan Rayhan. "Aku yang kelamaan susun kainnya Kak Asharaf. Maaf banget jadinya telat samperin ke mobil." "Ya Allah, nggak apa-apa," sahut Ashraf. "Nggak usah merasa nggak enak segala macam," kata pria itu kemudian. "Terus, kita mau makan siang di mana sekarang?" "Ke mall yang ada di depan aja, Ash," sahut Chava. "Aku pengen banget makan di restoran Jepang yang ada di sana." Ashraf mengangguk. Tanpa banyak berbicara langsung mengarahkan Jeep Rubicon hitam yang ia kendarai menuju mall yang tak jauh dari lokasi butik sang istri. Begitu mereka semua sampai, ketiganya langsung melangkah menuju Sushi Hiro yang merupakan restoran Jepang terkenal di sana. "Jadi gimana kerjaan kalian berdua? Apa ada kendala?" tanya Ashraf setelah pria itu menyelesaikan pemesanan makanan kepada salah satu waitress. "Alhamdulilah lancar. Bulan depan aku mau lauching koleksi baru. Kayaknya perlu bayar artis sama selebgram untuk promosiin koleksi terbaru ini." Sementara Chava dan Ashraf sibuk berbincang, Alanna malah memilih diam. Pikirannya masih saja terganggu soal permintaan Viona yang ingin menjadikannya madu dari sang suami. Melihat gelagat yang tidak biasa pada adik iparnya, Asharaf penasaran. Pria itu tanpa segan langsung menegur sekaligus bertanya. "Lana ... kamu kenapa?" Alanna langsung mendongak. Tersenyum dengan canggung, wanita itu balas menjawab. "Nggak apa-apa, Kak." "Yakin kamu nggak apa-apa? Kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu, cerita aja. Siapa tau kakak bisa bantu." Alanna menatap lekat wajah Ashraf. Melihat ketulusan yang terpancar jelas di manik mata pria berdarah Arab tersebut. Sebagai kakak dan sosok suami, iparnya itu sangat-sangat bisa diandalkan. Alanna bahkan pernah iri kepada Chava yang bisa mendapatkan suami mendekati sempurna. "Sebenarnya aku lagi bingung, Kak," gumam Alanna pelan. "Bingung kenapa?" tanya Chava. "Tempo hari aku nggak sengaja ketemu sahabat lama dan dia minta aku untuk mau jadi istri kedua suaminya." Chava langsung tersedak air putih yang ia minum. Mebelalakkan mata, detik itu juga ia langsung menoleh ke arah Alanna. "Yang benar aja? Sahabat kamu waras, kan?" "Aku juga mikir dia gila, Kak. Mana ada istri normal yang mau suaminya di bagi-bagi sama perempuan lain." "Ya terus?" "Dia nggak bakal bisa punya anak. Rahimnya sudah di angkat beberapa tahun yang lalu. Sedang dulu sebelum menikah suaminya punya cita-cita punya anak yang banyak karena dia anak pertama dan di keluarga besarnya belum ada yang memberikan keturunan." "Astagfirullah." Chava sampai geleng-geleng kepala mendengar apa yang Alanna ceritakan. "Tapi kenapa mesti kamu, Lana? Memang nggak ada cewek lain di dunia ini?" "Aku juga sempat tanya begitu," balas Alanna. "Tapi dia mau yang jadi istri kedua suaminya harus sama-sama keturunan Ba'alawy. Lagi pula, sahabat aku ini tau, kalau dulu aku pernah naksir banget sama suaminya waktu zaman kuliah dulu," cerita Alanna dengan wajah tertunduk. "Memang suaminya siapa?" tanya Ashraf. Ia yang sempat beberapa saat diam, kembali bersuara dan ikut dibuat penasaran. "Namanya Elfathan Arash Assegaf. Kalau nggak salah dia dokter di rumah sakit kak Ashraf." "Ya Allah .... " Ashraf tanpa sadar berseru pelan. Ia terperanjat mendengar nama yang baru saja Alanna sampaikan. "Elfathan itu dokter spesialis saraf di rumah sakit. Secara personal dia orangnya emang baik. Dia dekat banget sama Alfatih, mantan tersayang kakakmu." Chava langsung melirik. Memicingkan mata kemudian berdecak. Kenapa tiba-tiba suaminya itu malah menyinggung soal mantan. "Sembarangan aja kalau ngomong." "Emang bener, kan?" Ashraf langsung menyahut cepat. "Kalau dulu nggak aku bacain ayat kursi berkali-kali, mungkin sampai detik ini kamu masih suka kepikiran sama Alfatih." Tawa langsung berderai dari bibir Alanna. Sementara Chava yang sebal dengan serta merta langsung mencubit lengan Ashraf sampai suaminya itu mengaduh kesakitan. "Kamu pikir selama ini aku kerasukan? Dasar suami nggak ada akhlak!" "Tapi balik ke topik soal Elfathan, aku pribadi saranin buat kamu nggak gegabah, Alanna," lanjut Ashraf kemudian. "Walaupun dulu pada dasarnya kamu pernah suka dengan Elftahan, ceritanya sekarang sangat jauh berbeda. Dia sudah punya pasangan. Sekali pun istrinya yang mencoba untuk menyatukan kalian, bersikap adil itu memang nggak gampang. Menikahi banyak wanita adalah perkara mudah. Tapi bisa bersikap adil seadil-adilnya dengan semua istri bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Pasti akan ada salah satunya yang terluka." Mendengar penjelasan Ashraf, lagi-lagi Alanna hanya bisa terdiam. Sampai tak berapa lama, handphone-nya berdering. Satu panggilan penting memaksa ia untuk segera memberikan respon secepatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN