Happy reading
Pagi ini, dengan diantar papinya, Devira datang ke kantor Fahri. Tapi papinya tidak ikut masuk, ia masuk sendiri, dan minta dipertemukan dengan Fahri. Tapi, ternyata Fahri belum datang, Devira harus menunggu di lobi kantor. Ada beberapa staff pria yang mendekati, dan memperkenalkan diri mereka kepadanya.
Saat Devira melihat Fahri memasuki lobi, ia segera bangun dari duduknya.
"Boss sudah datang," gumam Devira, para pria yang tengah mengobrol dengannya, segera pamit, dan pergi meninggalkannya.
Fahri menatap Devira dari ujung kaki sampai ujung kepala. Blous putih motif bunga kecil menempel pas di tubuh Devira, memperlihatkan bentuk dadanya yang cukup besar. Rok ketat di atas lutut berwarna merah tua, mempertontonkan bentuk pinggul, paha, dan kaki Devira.
"Ikuti aku," Fahri berjalan cepat di depan Devira, Devira mengikutinya tanpa kata. Para pria menatapnya dengan terpesona, para wanita menatap dengan rasa iri karena keindahan wajah dan lekuk tubuhnya.
Fahri masuk ke ruangannya, Devira mengikutinya. Fahri menutup, dan mengunci pintu ruangan. Kini mereka berdiri berhadapan, mata mereka saling pandang, Devira bisa melihat kemarahan pada sorot mata Fahri.
"Kenapa berpakaian seperti ini?" Fahri menunjuk Devira, Devira menundukan kepala, ditatap dirinya sendiri.
"Apanya yang salah, aku lihat staff wanita di sini, pakaiannya juga seperti ini, bahkan ada yang seperti ini.... " Devira membuka satu lagi kancing blusnya yang paling atas.
"Dan, seperti ini.... " Devira menarik ke atas sedikit roknya, sehingga ujung rok berada di tengah pahanya.
"Pakaianku masih sopan, tahu!" Devira merapikan lagi pakaiannya, ditantangnya tatapan Fahri.
"Kamu tidak perlu menuruti mereka, Vira?"
"Jadi aku harus pakai apa, Mas Bos?"
"Pakai saja pakaian yang lebih longgar dari ini!"
"Daster! Apa aku harus bekerja pakai daster?" Mata Devira melotot ke arah Fahri. Fahri menghempaskan napasnya, ia sendiri merasa heran, kenapa ia harus sekesal ini hanya karena pakaian yang dikenakan Devira, sementara staff wanita di kantornya, rata-rata memang berpakaian seperti Devira, bahkan ada yang lebih seksi, seperti kata Devira tadi.
"Mas Bos, aku diterima kerja apa tidak nih?" tanya Devira karena Fahri diam saja.
"Duduklah," Fahri menunjuk sofa di dekatnya. Devira menghempaskan pantatnya di atas sofa. Satu pahanya menumpang di atas paha yang lain, sehingga roknya naik, dan memperlihatkan pahanya. Fahri duduk di seberangnya. Ada meja yang membatasi di antara mereka berdua.
"Turunkan kakimu!" seru Fahri saat melihat posisi duduk Devira.
"Hissst, apa yang salah dengan cara dudukku. Dudukku yang salah, apa perasaan Mas Boss yang goyah, hayo jawab Boss!?" Rungut Devira, tapi diturunkan juga kakinya.
"Aku perlu asisten pribadi," ujar Fahri, tanpa menghiraukan pertanyaan Devira. Matanya lurus menatap ke wajah Devira.
"Terus, apa hubungannya dengan aku?"
"Posisimu, adalah asisten pribadiku."
"Apa? Aku belum pernah bekerja Mas Fahri. Mas tahukan, aku cuma pernah kerja di butik almarhumah mami. Aku pikir, sebaiknya aku jadi staff saja. Jadi aku bisa belajar dengan staff lainnya, lagipula, kalau jadi asisten pribadi, berarti aku cuma bergaul sama Mas Fahri, aku tidak bisa larak lirik staff pria di sini, yang sepertinya kece-kece, Mas." Devira menggerakan alisnya naik turun, senyum nakal terlihat di bibirnya.
Jawaban Devira benar-benar membuat Fahri menyesali keputusannya, untuk menawarkan pekerjaan pada Devira. Ditatap wajah Devira, Devira balas menatapnya.
"Kalau aku di kantor, kamu bisa bergaul dengan staff lainnya, tapi kalau aku pergi, kamu harus mengikuti. Kamu bisa belajar banyak dengan Halimah, sekretarisku."
"Kenapa harus aku yang jadi asisten pribadi, Mas Bos bisa cari yang berpengalamankan?"
"Aku tidak perlu yang berpengalaman, aku butuh yang membuat aku merasa nyaman" jawab Fahri terlontar begitu saja dari mulutnya. Mata Devira membesar mendengarnya.
"Jadi Mas Fahri merasa nyaman dengan aku, kalau begitu kenapa tidak Mas lamar saja aku?"
Mata Fahri kali ini yang membesar mendengar ucapan Devira, Devira tertawa melihatnya.
"Aku cuma bercanda Mas Bos, jangan tegang begitu"
"Hhhh, jadi kamu setuju tidak?"
"Hmmm, okelah, asal aku masih bisa larak lirik cowok kece, tak apalah. Eeh, tapi asisten pribadi itu pekerjaannya apa saja ya, Mas?"
"Jam tujuh kamu sudah harus ada di rumahku," jawab Fahri.
"Untuk apa? Apa aku harus menyiapkan pakaian, dan makanan Mas Fahri. Atau aku harus memandikan Mas Fahri juga? Kalau seperti itu, lebih baik jadikan aku asisten dengan kontrak yang ditanda tangani di depan penghulu, Mas!" cerocos Devira.
"Kamu ingin sekali menikah ya Vira?"
"Hmmm, seperti Devita, aku lihat menikah itu enak"
"Kita hanya melihat enaknya, tapi kita tidak tahu, pasti ada masalah di dalam setiap pernikahan."
"Soal itu aku pasti sangat tahu, pernikahan orang tuaku adalah contoh nyata ketidak harmonisan sebuah pernikahan"
"Seperti apa calon suami yang kamu inginkan Devira?"
"Tidak ada tipe khusus. Ya meskipun, aku ingin yang setenang, dan sesabar Papi."
"Hhh, mungkin, satu dalam sejuta yang seperti papimu. Kembali ke masalah pekerjaan, untuk beberapa hari ini, kamu belajar pada Halimah dulu. Begini saja, kamu tidak usah ke rumahku, biar aku yang menjemputmu, agar tidak merepotkan papi untuk mengantar jemputmu."
Fahri bangkit dari duduknya, ia menuju pintu, Devira mengikuti. Fahri memanggil sekretarisnya, diperkenalkan dengan Devira, dan Fahri meminta Halimah mengajarkan beberapa hal pada Devira. Devira ingin mengikuti Halimah, ketika Fahri memanggilnya. Devira mendekati Fahri lagi.
"Ada apa lagi, Mas Bos?" Devira mendongakan wajah untuk menatap Fahri.
"Besok, pakai pakaian yang lebih longgar, jangan ketat seperti ini"
"Nggak punya, adanya yang begini semua"
"Hhhh, ya sudah. Pulang kantor nanti kamu ikut aku saja, nanti aku telpon Papi, memberitahu kalau kamu pulang bersamaku."
"Terserah Mas Bos saja, sudah selesai ini bicaranya?"
"Hmmn, temuilah Halimah"
Devira meninggalkan Fahri, tanpa bicara lagi. Tapi, ia sengaja berjalan dengan menggoyangkan pinggulnya yang terlihat tercetak indah diatas rok ketatnya.
"Ya Allah, apa lagi yang sudah aku lakukan hari ini, bukannya menjauhkan diri dari Devira, aku justru membuat dia semakin dekat denganku. Apakah aku sedang menggali kubur untuk diriku sendiri. Sudah tahu terbakar sakit, tapi aku justru bermain api, bisakah aku padamkan api cinta ini, sedang aku merasa mulai sulit mengontrol diriku saat dia berada di dekatku.'
BERSAMBUNG