Chapter 3

1895 Kata
 Hari ini adalah hari Kamis, hari dimana Zaidan lah yang akan menjadi tebengan Kenzie. Kenzie berlari ke luar rumah dengan terburu-buru karena takut telat dan membuat Zaidan mengomel. “Jangan lari Ji,” ujar Zaidan saat melihat Kenzie yang tengah ngos-ngosan di hadapannya. “Idan sorry ya Jiji lama,” sahut Kenzie merasa bersalah. “Gak papa kali ji, belum telat juga,” balas Zaidan mengusap suai hitam Kenzie. “Tarik nafas terus buang pelan pelan,” sambung Zaidan saat melihat Kenzie yang susuah mengontrol nafasnya yang memburu akibat berlari. Zaidan hanya diam dan menatap Kenzie mengatur nafasnya sebelum memasangkan helm untuk Kenzie. “Udah tau gak bisa lari, masih aja lari,” omel Zaidan setelahnya. Bukannya merasa bersalah wanita yang akrab dipanggil Jiji itu malah tersenyum lebar menunjukkan gigi rapinya. “Udah bisa pergi tuan putri?” tanya Zaidan. Kenzie mengangguk lalu naik ke atas motor sport Zaidan lalu keduanya berangkat ke sekolah. ***** “Thank you idan,” ujar Kenzie tulus saat sembari membuka helm dan memberikannya pada Zaidan. “Urwell Jiji.” “Ji,” panggil Austin yang sudah menunggu di depan motornya yang terparkir tak jauh dari Kenzie dan Zaidan. “Eh Austin, kok di sini?” tanya Kenzie dengan wajah polos. “Nungguin lo.” Kenzie menatap Austin bingung. “Gua gak yakin kalau Zaidan bisa nganter lo dengan bener,” ujar Austin blak-blakan. “Sialan lo Austin!” “Please jangan ada ribut hari ini,” ujar Kenzie menengahi sebelum terjadi peperangan mulut diantara Zaidan dan Austin. “Kita gak ribut,” sahut Austin. “Tapi lo ngajak ribut?” balas Zaidan tak mau kalah. “Austin,” panggil seorang wanita. Kenzie, Austin dan Zaidan menoleh pada sumber suara. “Mampus ada nenek lampir,” ucap Zaidan pelan. “Ji mau ke kelas kan?” tanya Austin menatap Kenzie. “Haa? Iya.” “Yok gua anter,” ajak Kenzie menarik tangan Kenzie dan membawanya menjauh, namun suara orang yang ada di sebelah wanita yang memanggilnya menghentikan langkah mereka. “Rayna manggil lo Austin, jawab dulu kek. Mentang mentang ketos, gak sopan banget sama kakak kelas!” pekik wanita yang bernama Kimi. Rayna adalah kakak kelas yang cukup di segani, Rayna tak segan-segan melabrak orang yang mengganggu penglihatannya. Dan Rayna mengklaim jika Austin adalah miliknya sejak hari pertama mereka bertemu, namun sayang Austin bukan orang gampangan yang bisa diperintah. Kenzie menoleh pada Austin guna melihat ekspresi laki-laki itu, Austin yang malas berlama-lama berhadapan dengan kakak kelasnya itu memerintah Kenzie untuk kembali jalan. “Lo! Siapa nama lo?!” tanya Rayna menunjuk Kenzie. Kenzie menatap bingung Zaidan dan Austin dan bertanya dalam diam sembari menunjuk dirinya. “Siapapun lah nama lo, gue gak perduli. Bisa gak tau diri dikit jadi orang?” tanya Rayna menatap tajam Kenzie. Kenzie mengerutkan dahinya bingung, ada masalah apa dirinya sampai di minta untuk tau diri oleh kakak kelasnya itu. “Ji buruan ke kelas,” ujar Austin tegas. “Tap---“ “Jiji!” “Iya Austin,” pasrah Kenzie dan kembali berjalan dnegan tangan yang masih di genggam oleh Austin. “Heeh jangan pergi lo! Gua belum selesai ngomong sama lo!” pekik Rayna heboh membuat Austin menatapnya tajam. “Bisa gak lo jangan ngajak ribut sehari aja?” tanya Austin dengan tatapan tajam yang mengintimidasi. Rayna diam. “Kok lo ngebentak Rayna?” tanya Kimi temannya tak terima. Austin mengalihan tatapan tajamnya dari Rayna ada Kimi. “Apa?!” tanya Kimi tak gentar dengan tatapan Austin. Austin menatap Kimi dengan tatapan marah. Jika saja Kenzie tidak menarik tangannya, mungkin dia akan menanggapi tantangan Kimi saat ini juga. “Lo bawa Jiji ke kelas Dan,” ujar Austin memerintah Zaidan. “Ayok ji,” ajak Zaidan mengulurkan tangannya yang menganggur pada Kenzie. “Gak mau pergi kalau gak sama Austin juga,” ujar Kenzie manja. Kenzie tau sifat Austin, jadi dia harus menyeret Austin pergi juga agar pria itu tidak terkena masalah. “Dia nya gak mau Tin,” ujar Zaidan pada Austin. “Gue denger!” “Ahhh bagus deh kalau denger,” ujar Zaidan tersenyum lebar. “Urusan gua sama lo belum selesai! Jangan sesekali lo buat yang ada di fikiran lo!” ujar Austin pada Rayna dengan tatapan tajam yang tak luntur dari mata. Rayna menatap kaget Austin. Pikiran gua? batin Rayna bingung. Kak rayna mikir apa? Kok mukanya kaget gitu? batin Kenzie bingung. “Buruan lo jalan ke kelas!” ujar Austin pada Kenzie. “Kok ngebentak!” protes Kenzie. “Gak ngebentak Kenzie,” sahut Austin melembutkan nada bicaranya. “Itu tadi ngebentak!” ujar Kenzie tak mau kalah. “Kok lebih keliatan lo yg ngebentak ya ji?” tanya Zaidan. Kenzie mendengus sebal dan menatap Zaidan dengan tatapan sinis. “Hehe ampun ji,” ujar Zaidan terkekeh kecil. Kenzie, Austin dan Zaidan pergi ke kelas mereka masing-masing. Saat Kenzie masuk ke kelasnya langsung disambut heboh oleh Azkiel yang sudah duduk di kelasnya. “Jiji,” panggil Azkiel heboh. Acik yang berada di kelas yang sama menarik atensinya dari buku yang tengah di bacanya dan menoleh pada Kenzie singkat lalu kembali membaca bukunya lagi. “Kok lo telat dateng ji?” tanya Azkiel berlebihan. “Masih juga jam segini kiel,” balas Kenzie santai. “Lo udah telat 5 menit dari biasanya ji. Kalian ditilang polisi makanya telat? Atau Zaidan telat jemput lo? Atau—.” “Gue udah disekolah dari tadi kiel. Cuman tadi Austin manggil Jiji, terus ada 2 kakak kelas manggil Austin makanya lama,” ujar Kenzie menjelaskan keterlambatannya. Udah mulai? Secepat itu? tanya Kenzie dalam hati. “Kakak kelas? Jangan bilang si Rayna sama Kimi?” tanya Azkiel dengan mata yang membelalak lebar. Kenzie menganggukkan kepalanya. Spontan Azkiel membolak-balikkan tubuh Kenzie guna melihat tidak ada lecet. “Kiel?” “Lo gak kenapa-napa kan? Gak diapa-apain kan sama mereka?” tanya Azkiel lagi. “Enggak Kiel.” Azkiel menghela nafas lega. “Bagus deh kalau enggak.” “Kenapa Jiji harus diapa-apain sama mereka?” tanya Kenzie bingung. Azkiel diam. “Kiel?” “Haa?” “Kenapa merek---” “Kan mereka itu fans nya Austin, makanya gua takut lo diapa-apain,” ujar Azkiel jujur. Kenzie menganggukkan kepalanya. “Ternyata Austin punya fans ya di sini,” ujar Kenzie polos. “Punya.” Kenzie menganggukkan kelapanya lalu lalu berjalan ke kursi nya dan menoleh pada Acik singkat. Lagi fokus banget gak sih bacanya? Sapa enggak ya? tanya Kenzie dalam hati. “Gak usah di sapa, gak bakal dijawab juga,” ujar Azkiel paham atas kebingungan yang terpancar pada wajah Kenzie. Kenzie menghela nafas panjang dan kembali menatap Acik. “Morning acik,” sapa Kenzie ramah. Azkiel memutar bola matanya. Terkadang manusia bernama Kenzie itu sangat bebal. Acik menoleh singkat pada Kenzie tanpa sepatah katapun. Namun tidak mengurangi keramahan di wajah Kenzie, Kenzie tersenyum tipis saat melihat respon dingin Acik padanya. ***** “Kenzie,” panggil Shane keras dengan tangan yang memegang mangkuk bakso. Kenzie tersenyum pada Shane dan melambaikan tangan ke Shane, meminta Shane untuk duduk di sebelahnya. “Manusia bucin lo pada kemana?” tanya Shane melihat meja Kenzie yang sepi. “Nih,” ujar Kenzie menunjuk Zaidan. “Hai shane,” sapa Zaidan keras yang merasa tidak dianggap sebelumnya. “Bukan yang ini, tap---” “Nyari siapa lo?” potong Zaidan cepat. “Austin? Artyn atau Azki?” tanya Zaidan lagi. “Gu-gua gak nyari kok,” ujar Shane gelagapan. “Yakin lo gak nyari salah satu diantara mereka?” tanya Zaidan menggoda Shane. “Iya yakin,” ujar Shane mantap. Zaidan menganggukkan kepalanya. “Tapi mereka pada kemana? Tumben gak bareng lo Ji?” “Mm itu mereka lagi pada ada urusan masing-masing,” ujar Kenzie menjelaskan secara singkat. “Katanya gak nyariin?” “Gue emang gak nyariin, gua cuman nanya aja. Karna gua aneh kalau mereka bisa makan tanpa kenzie,” ujar Shane panjang lebar. “Kok kalian jadi berantem sih?” “Gak berantem ji,” ujar Zaidan menatap Kenzie. “Mereka ada urusan apa Ji?” tanya Shane lagi. “Haa? Mm, Austin di ruang osis katanya rapat. Ar di lapangan basket latihan. Kalau kiel--- Kiel kemana ya idan?” tanya Kenzie menjelaskan. “Kiel?” Kenzie bergumam pelan. “Kan izin nya sama lo ji,” ujar Zaidan. “Tapi Jiji gak tau kiel kemana.” “Basket jam segini latihan?” tanya Shane tak terlalu perduli akan keberadaan Azkiel yang tak di ketahui. “Iya, soalnya mau tanding.” Shane menganggukkan kepalanya. “Ji,” panggil Zaidan. “Iya idan.” “Artyn latihan basket?” tanya Zaidan lagi. “Iya.” “Jangan jangan kiel---” “Kenapa kiel?” tanya Kenzie dengan wajah bingungnya. “Latihan cheerleader?” Kenzie menatap Zaidan dengan tatapan datar. “Idan! Jiji pikir tadi Idan serius tau!” pekik Kenzie kesal. Zaidan tertawa deras melihat wajah kesal Kenzie sedangkan Shane hanya menggelengkan kepalanya. Tak lama Artyn datang menghampiri Kenzie dan Zaidan. “Jiji,” panggil Artyn. “Ar?” “Mata lo biasa aja ji?” tanya Zaidan yang melihat Kenzie manatap Artyn tanpa kedip. “Gak bisa kalau yang dateng itu Ar yang baru selesai latihan basket,” ujar Kenzie tanpa mengalihkan tatapannya dari Artyn yang sedang berkeringat dengan pakaian basketnya. “Kayaknya lo juga manusia bucin deh ji,” ujar Zaidan lagi namun masih diabaikan oleh Kenzie. “Zaidan, beliin gua minum dong,” ujar Artyn sembari duduk di sebelah Kenzie. “Kok gua?” tanya Zaidan tak terima. “Jadi gua suruh Jiji aja?” “Eeh jangan jangan, gua aja,” balas Zaidan cepat. “Ya udah sana beli yg dingin ya.” “Diskriminasi umur ini namanya,” protes Zaidan ngedumel. “Jangan ngedumel idan,” tegur Kezie. “Iya Jiji cantik,” ujar Zaidan tersenyum lebar pada Kenzie lalu berlalu pergi. “Nih ar, minum punya Jiji dulu,” ujar Kenzie menyodorkan minumnya pada Arty. Artyn menoleh pada Kenzie dan terbatuk membuat Kenzie panik. “Eehhh kok udah kesedak? Kan Ar belum minum,” ujar Kenzie dengan wajah bingungnya. “Lo ngapain liatin gua kayak gitu?” tanya Artyn sembari memukul dadanya untuk meredakan batuknya. “Habis ar ganteng sih kalau habis latihan basket,” ujar Kenzie spontan. “Jiji jangan baperin gua,” tegas Artyn. “Emang Ar baper kalau Jiji bilang gitu?” tanya Kenzie dengan mata yang menyelidik Artyn. “Ya---enggak sih,” ujar Artyn. Kenzie semakin menyipitkan matanya untuk menyelidiki raut wajah Arty yang terlihat mencurikan. Tatapan keduanya terhenti saat deheman kuat dari oranng yang ada di seberang mereka. “Jangan romantis-romantisan di depan gua please,” ujar Shane saat kedua orang yang tengah berdebat itu menoleh padanya. Kenzie dan Artyn hanya diam tak menjawab. “Gua masih mau jadi manusia belum mau berubah jadi nyamuk,” sambung Shane lagi. “Shane?” panggil Kenzie. Shane hanya menggedikkan bahunya dan tersenyum hambar pada Kenzie dan Artyn yang terlihat tidak perduli dengan keberadaannya. “Lo dari tadi disini duduknya?” tanya Artyn. Shane mengangguk cepat. “Kok gua gak lihat ya?” tanya Artyn menatap Shane singkat lalu menatap Kenzie lama. Shane memasang raut wajah datar, sudah biasa sebenarnya selama setahun duduk makan siang bersama Kenzie namun tidak dianggap sama sekali. Kenzie memukul lengan berotot Artyn kuat karena ucapan Artyn yang terdengar menyebalkan bagi Kenzie. Bersamaan dengan itu seseorang datang dan menggebrak meja dimana mereka duduk.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN