1. Maaf Bila Aku Berbohong

2134 Kata
Aanisah bergegas menaiki ojek daring yang ia pesan beberapa menit lalu untuk sampai ke rumahnya. Di tengah jalan rasanya dia sangat ingin dibawa ngebut oleh mas-mas driver ojek yang memboncengnya. Kenyataan pahit Gama mencampakkan dia tanpa alasan membuatnya hilang akal dan mengubahnya menjadi seperti mayat hidup beberapa hari terakhir. Hidup enggan mati tak mau. Lepas maghrib Aanisah baru sampai rumah dan dalam kondisi basah kuyup. "Ya ampun, Nisa!!! Kamu kenapa basah kuyup gini tho?" tegur Ayu, ibu Aanisah yang membukakan pintu rumah untuknya. Aanisah tidak menjawab. Lidahnya terlalu kelu untuk sekadar menjawab pertanyaan sang ibu. "Kamu mandi dulu, Nis. Terus makan malam," ujar ibunya masih mencoba bersabar menghadapi keanehan Aanisah beberapa hari ini. Dan sepertinya malam ini adalah puncaknya. Aanisah masih bergeming duduk di kursi makan. Tangannya terulur meraih sepotong tempe goreng, melahap potongan tempe itu sekaligus. Mulutnya mengunyah tempe tapi pikirannya kosong, membuat Ayu heran sekaligus merinding melihat tingkah anaknya ini. "Ngambil lauk langsung pakai tangan itu nggak sopan loh, Nis. Gimana nanti di rumah ibu mertuamu? Adduhh..., ibu nggak bisa membayangkan bagaimana jadinya kamu kalau nggak mau mengubah kelakuan burukmu mulai dari sekarang." "Nisfa ufah futhus, fhuk," ujar Aanisah dengan mulut penuh tempe. "Hah? Nggak ngerti ibu, kamu ngomong opo. Habisin dulu itu tempenya." Aanisah segera menelan tempe yang belum hancur sepenuhnya. "Nisa udah memutuskan Gama. Jangan bahas soal mertua lagi di depan Nisa karena Nisa nggak akan menikah dengan siapa-siapa," ucapnya buru-buru, kemudian meneguk air putih dari gelas yang Ayu sediakan untuk suaminya. Ayu sudah siap melempar kepala Aanisah dengan sepatula di tangannya. Namun dia mengurungkan niat itu saat melihat air mata yang bercucuran di dagu anak perempuan satu-satunya itu. "Kenapa putus?" tanya Ayu setelah berdiri berkacak pinggang di hadapan Aanisah. Dalam diamnya Aanisah menatap Ayu dengan wajah kuyu. Bibirnya sedikit melengkung ke arah bawah kemudian beranjak dari kursi. "Nisa mau mandi dulu," ujarnya. Berharap Ayu akan iba padanya. "Jawab dulu pertanyaan ibu. Dua tahun itu bukan waktu yang sebentar loh. Kalian sudah berencana menikah, kenapa tiba-tiba putus? Pasti ada yang nggak beres?" Aanisah tetap bungkam, tidak ingin menjawab pernyataan ibunya. Dia terus masuk kamarnya. Ayu berhasil menahan pintu kamar Aanisah, nyelonong masuk dan mendorong bahu anaknya itu kuat-kuat. "Ibu apa-apaan, sih? Sakit!" Aanisah menggerutu kesal. "Dengerin kalau ibu lagi ngomong! Bilang sama ibu, apa alasan kamu memutuskan hubungan dengan laki-laki sebaik Gama? Kamu itu mau cari yang seperti apa lagi sih, Nisa?" "Nisa nggak tahan dengan mas Gama yang suka marah-marah nggak jelas dan ngatur-ngatur Nisa. Pokoknya Nisa nggak mau hubungan ini berlanjut jadi Nisa pilih memutuskan dia." "Apa kamu bilang? Suka marah-marah nggak jelas? Gama itu laki-laki tersabar yang pernah ibu temui. Ayah kamu aja kalah sabar menurut ibu. Pasti kamu biang masalahnya, iya kan?" "Mas Gama itu nggak sesabar tampilannya, bu." "Meski gitu kan nggak harus diselesaikan dengan putus. Masih banyak solusi selain memutuskan sebuah hubungan yang terjalin sudah cukup lama." "Daripada Nisa nggak bahagia kalau terus-terusan sama mas Gama? Ya mending Nisa putusin aja." "Nggak bahagia kamu bilang? Ibu perhatikan sejak pacaran sama Gama, kamu itu bawaannya ketawa terus, nggak pernah kelihatan nangis juga gara-gara dia, dan seneng banget tiap kali diajak pergi ngalor ngidul berduaan. Orang lain yang melihat bisa menebak kalau kamu bahagia dengan Gama. Trus tadi apa kamu bilang? Nggak bahagia kalau terus-terusan sama Gama? Itu kamu mandangnya dari sudut mana, Nisa?" Aanisah menerapkan pepatah diam itu emas. "Astaghfirullah, Nisa, Nisa. Apa kata tetangga kalau mereka tahu kalian nggak sampai ke jenjang pernikahan? Kalau nggak jantungan, mungkin darah tinggi ibu habis ini gara-gara dengerin *cocote tonggo yang mulai ngomongin kamu." (Omongan tetangga) Aanisah tetap tidak menyahut sepatah katapun kata-kata ibunya. Dengan cueknya dia duduk di tepi tempat tidur dan ingin segera merebahkan tubuh di atas kasur empuknya. Ayu memekik hebat saat melihat Aanisah mulai merendahkan posisi duduknya. "Jangan duduk di tempat tidur, Aanisah!? Baju kamu itu masih basah dan banyak pasirnya. Astaga?! Bener-bener gila aku abis ini. Punya anak gadis kok sembrono gini tho yo, Gusti???" Tanpa perasaan Ayu menyeret Aanisah ke kamar mandi dan mengguyur tubuh gadis itu dengan air dari dalam bak mandi. Aanisah diam saja dimandikan seperti itu oleh sang ibu. Dia lantas berinisiatif membuka seluruh pakaiannya di depan sang ibu. Saat Aanisah mulai melucuti pakaiannya sendiri, Ayu memukul bahu anak gadisnya yang nekat b***l di hadapannya. Ayu keluar dari kamar mandi saat Aanisah hendak menanggalkan pakaian dalam yang ia kenakan. Tubuhnya benar-benar sudah dipenuhi pasir hitam dari pantai. Sambil mengguyur tubuhnya, gadis itu tidak hentinya menangis tersedu meratapi keputusannya untuk membohongi semua orang dengan mengatakan bahwa dialah yang memutuskan Gama. Dia terlalu malu kalau sampai ada yang tahu bahwa Gama-lah yang memutuskannya secara sepihak. Seolah dia tidak memiliki arti apa pun di mata kekasihnya itu. Laju pikiran Nisa bergerak cepat ke hari dia dicampakkan oleh Gama. Saat Aanisah berkunjung ke kantor Gama untuk mengajak laki-laki itu nonton live musik, dia melihat seluruh barang yang ada di kantor perusahaan milik Gama sedang dirapikan dan dikemas. Ruangan sudah hampir sepenuhnya kosong. Hanya tinggal tumpukan kardus-kardus berukuran besar yang sudah siap diangkut oleh kurir pengangkut. "Mas Gama mau pindah? Ke mana? Kenapa nggak ngomong sama Nisa soal ini?" Gama bergeming. Dia menatap Nisa dengan datar. Aanisah mengguncang tubuh Gama, menyadarkan laki-laki itu akan keberadaan Aanisah di hadapannya. "Kayaknya aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita, Nis." Kalimat sederhana meluncur bebas tanpa beban sedikitpun dari mulut Gama. Setelah mengucapkan untaian kata penghancur hati itu Gama pergi begitu saja meninggalkan Aanisah. Bahkan saat masuk mobil pick up yang mengangkut semua perangkat kantornya, tak sekalipun Gama menoleh untuk sekadar ingin tahu kondisi Aanisah. Aanisah berusaha menghubungi Gama tapi laki-laki itu sama sekali tidak menggubris. Setelah berhari-hari menunggu di depan rumah laki-laki itu seperti gelandangan, akhirnya Aanisah bisa menemui Gama. Sayangnya kondisi Gama sedang kacau siang itu. Membuat apa pun yang dibicarakan oleh Aanisah seperti suara kawanan lebah yang membuat Gama bising dan pusing. "Nisa berbuat salah. Pasti ada sikap Nisa yang nggak mas sukai. Nisa minta maaf, nanti Nisa akan memperbaikinya." "Kamu salah apa? Nggak ada yang perlu diperbaiki. Yang kita perlukan adalah mengakhiri hubungan ini," ujar Gama dingin. "Iya tapi kenapa mas?" "Ini yang terbaik untuk kita semua, Nis." "Ya tapi jangan tinggalin Nisa kayak gini dong. Minimal kasih Nisa satu alasan aja, kenapa mas sampai mengambil keputusan ini?" "Nggak ada alasan khusus. Intinya aku nggak bisa menjalin hubungan lagi dengan kamu. Sekarang kamu pulang dan jangan pernah menemuiku lagi." Gama mengempas pintu rumahnya tanpa mempersilakan Aanisah masuk barang sebentar saja. Aanisah duduk sambil memeluk lututnya di sudut kamar mandi saat teringat kembali percakapan terakhirnya dengan Gama. Mengenang hal itu sangat menghancurkan perasaan Aanisah. Dia benar-benar terpukul saat ini. Malu, putus asa, patah hati, sakit hati, rasanya menjadi satu di dalam relung hatinya. Dia memukul tepat di dadanya, berusaha menyamarkan rasa sakit yang sedang dideritanya saat ini. Namun rasa sakit yang mendera hatinya sama sekali tidak berkurang sedikit pun. Setelah mandi dan mengenakan piyama, Aanisah berbaring di tempat tidur. Menonton sebuah video stand up comedy dari ponselnya dengan volume maksimal. Pikirannya kosong, Aanisah bahkan tidak tahu apa yang membuat orang-orang di dalam studio di video itu sampai tertawa terpingkal hanya dengan menonton satu orang berbicara omong kosong di depan stand up mic. Meski tatapannya menatap tepat pada layar ponsel di hadapannya, sukmanya terbang melayang jauh dari raganya. "Keterlaluan kamu Aanisah. Bisa-bisanya kamu nonton lawak sementara ibu memikirkan nasib kamu. Ibu terus bertanya dalam hati, di mana lagi kamu bisa mendapatkan kekasih sebaik dan sekompeten Gama?" "Ibu ngomong apa? Nisa aja nggak mikir, ngapain ibu musti repot-repot mikirin soal itu?" Ayu melempar kepala Aanisah dengan bantal guling hingga tiga kali. "Kamu itu benar-benar minta dirukyah ya, biar kalau ngomong itu nggak sembarangan lagi." "Sakit bu. Kalau nanti Nisa gagar otak gimana? Trus Nisa amnesia, atau lebih buruk lagi Nisa gila. Ibu memangnya mau punya anak perempuan gila?" Bukannya berhenti, Ayu semakin memukuli kepala atau apa pun bagian tubuh Aanisah yang bisa ibunya itu jangkau dengan bantal guling. "Nggak usah gegar otak kamu itu sudah lama gila. Bilang sama ibu apa alasan sebenarnya kalian putus?" "Nisa udah nggak nyaman lagi sama mas Gama," jawab Aanisah mengarang alasan untuk yang kesekian kalinya, demi membungkam mulut ibunya yang tidak akan bosan menanyakan hal yang sama sebelum diberi jawaban yang memuaskan. Ayu mengacak rambut pendeknya. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran putri satu-satunya itu. Dia memutuskan keluar dari kamar sebelum benar-benar gila kalau berhadapan lebih lama lagi dengan Aanisah. ○○○ Satu bulan kemudian... Desta yang akhir tahun ini usianya akan memasuki angka 30 tahun terlihat sedang melayani dengan ramah sepasang turis asing yang berkunjung ke toko kainnya. Sepasang turis dari Inggris itu sangat senang dengan berbagai jenis kain yang ditawarkan di Sejahtera Taxtile. Terutama kain batik khas Banyuwangi. Selama hampir satu jam turis tersebut sudah menumpuk beragam jenis kain yang bila ditotal harganya mencapai lebih dari dua juta rupiah. Meski seorang Sarjana Hukum, Desta memilih meneruskan usaha milik orang tuanya sejak 2014 yang lalu. Dia merasa putus asa karena melamar kerja dan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidang ilmunya itu nyatanya bukanlah perkara mudah. Desta bukan tipekal laki-laki yang ruwet soal prestice. Dari pada repot mencari pekerjaan dan bersaing dengan jutaan sarjana di luar sana, kenapa tidak dia sendiri yang menciptakan lapangan pekerjaan untuk dirinya sendiri dan orang lain yang membutuhkan. Bekerja sama dengan kakak perempuannya--yang dulunya menolak dengan keras untuk menjadi pengusaha kain--Desta mengembangkan toko kain milik orang tua mereka yang dulu hanya sebuah toko kecil di dalam pasar, menjadi sebuah toko besar di pusat kota Banyuwangi dan memiliki dua cabang di dua kecamatan berbeda, masih di wilayah kabupaten Banyuwangi. Selain melayani bisnis partai besar, Sejahtera Taxtile juga melayani pembelian retail dan pembelian secara online. Untuk bisnis online-nya di kelola sendiri oleh kakak perempuan Desta. Hampir semua kain yang ada di toko utama, di jual juga secara online. Namun khusus untuk kain brokat terutama yang biasa digunakan untuk wedding tidak diperjual belikan secara online. Di toko taxtile yang terletak di tepi jalan besar yang strategsis ini, tampak ratusan jenis kain tergulung dan terlipat sesuai dengan jenis bahannya. Di dalam toko tersebut tampak beberapa karyawan sedang menata dan merapikan gulungan kain yang baru saja dibeli oleh konsumen. Sedangkan di bagian kasir, tampak seorang pelanggan sedang melakukan transaksi pembayaran siang ini. Diperkirakan total omzet yang diraih toko taxtile ini dalam sehari bisa mencapai jutaan rupiah. Dulu, sebelum meninggalkannya begitu saja di hari pertunangan mereka, Rinjani sering mengunjungi toko ini. Kadang sekadar mampir ketika pulang kerja, dan nggak jarang juga gadis itu membantu Desta di kasir hingga melayani pelanggan saat berada di toko. Kini semua tentang Rinjani hanya menjadi puing-puing kenangan yang perlahan mulai terhempas oleh angin. ○○○ Aanisah, usianya baru menginjak angka 22. Gadis itu bekerja sebagai resepsionis di The Grand Park Hotel atau yang biasa disingkat menjadi GP hotel, sebuah hotel bintang 4 yang cukup terkenal di kota yang terkenal dengan sebutan the sunrise of java. Saat free seperti ini biasanya Aanisah menghabiskan waktu untuk hangout bersama sahabat karibnya, Eki. "Sampai sekarang aku tuh kayak nggak percaya loh, kamu mutusin Gama cuma gara-gara kamu udah nggak nyaman lagi sama dia. Setahuku kamu itu nyaman-nyaman aja sama cinta pertamamu itu. Ya kan?" "Biar kelihatan keren aja aku mutusin cowok duluan," jawab Aanisah jemawa. Padahal hatinya seperti diremas-remas saat ini, mengingat Gama tak memberinya alasan saat memutuskannya sebulan yang lalu. Terpaksa Aanisah membuat sendiri skenario alasan putusnya hubungan mereka. Eki tersenyum mengejek mendengar jawaban hasil karangan sahabatnya. "Pasangan yang jarang bertengkar seperti kalian ternyata bisa putus juga. Apa kabar yang tiada hari tanpa bertengkar?" "Itu bukan pacaran namanya, tapi musuhan kalau tiap hari bertengkar melulu, Ki," jawab Aanisah asal. "Iya juga ya." Aanisah lantas tertawa sumbang. Menertawakan dirinya sendiri lebih tepatnya. "Tapi jangan salah, Ki. Pasangan yang sudah menikah karena cinta aja bisa berakhir nggak bahagia kok. Semuanya cuma permainan takdir. Hidup ini ibaratkan main ular tangga. Manusia sebagai pionnya, nah takdir itu dadunya. Langkah kita itu, entah turun naik, lalu turun lagi untuk sampai ke finish itu sudah ada yang menentukan, apalagi kalau bukan garis takdir. Yo kan?" Eki mencibir jawaban penuh teori dari Aanisah. "Tumben ada benernya omongan kamu, Nis. Trus ibumu terima? Ibumu kan sayang banget sama mantan calon mantunya itu." "Beuuh..., awalnya ya nggak terima. Aku ya ngotot dong kalau nggak bisa dipaksa bersama. Nanti ujung-ujungnya putus juga. Ini cuma masalah waktu aja. Baru ibu diem." "Ya sih. Trus rencana kamu gimana sekarang? Mau jomlo? Nggak seru ah. Aku kenalin sama temennya mas-ku mau nggak? Orangnya ganteng, baik, ramah, alim dan mapan." "Perfect banget kayak tokoh-tokoh utama cowok di novel best seller. Tapi kenapa nggak kamu aja yang sama dia?" cibir Aanisah. "Masalahnya aku udah punya cowok, Nisa. Cowokku satu geng juga sama dia dan masku." "Haduh masih satu circle. Males ach. Nggak ada yang lain apa?" "Ya coba dulu. Kamu sama Gama juga kenalnya gimana kalau nggak karena satu circle pertemanan?" Yang dikatakan Eki memang benar. Gama adalah kakak kelas Aanisah di SMA. Yang mengenalkan Gama selanjutnya adalah teman SMA Aanisah yang kebetulan pernah satu kelas mata kuliah dengan Gama. Sedangkan yang membantu merekomendasikan Aanisah sehingga bisa bekerja di hotel sekarang ini adalah teman Gama yang menjodoh-jodohkan mereka dulu. Membosankan menurut Aanisah. "Gimana, Nis? Mau nggak?" "Nanti aja. Sekarang lagi pengen menikmati jadi jomlo-jomlo bahagia dulu." "Payah ach, Aanisah." Aanisah hanya tersenyum miring membalas ejekan Eki. Dia segera menandaskan milkshake capucinonya yang tersisa setengah gelas. --- ^vee^    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN