Ya Tuhan!
Aku begitu malu hingga ingin rasanya aku menangis!
“Jangan bergerak! Berbaringlah!” Sang dokter dengan cepat membaringkanku di atas tempat tidur.
“Dokter, ada apa? Kenapa ASI-ku terus mengalir? Bagaimana ini!” Aku menatap dadaku yang terus mengucurkan ASI. Suaraku penuh dengan isak air mata.
“Jangan panik, ini hal yang wajar. Saya akan membantu Anda membersihkan kotoran di dalamnya.” Dokter dengan tenang menutupi dadaku dengan kain kasa, lalu bertanya dengan nada santai, “Apa Anda sudah lama tidak berhubungan intim?”
“Hah?” Aku langsung menyadari maksud dokter ini. Wajahku menjadi sangat panas, jantungku seakan-akan hendak melompat keluar dan memukul organ dalamku dengan kuat.
Sulit menjawab pertanyaan yang begitu pribadi seperti itu, tetapi akhirnya aku memberanikan diri dan menjawab, “Ya.”
“Anda sudah bisa berhubungan intim ketika kehamilan mencapai bulan kelima atau keenam. Jika tidak, mungkin produksi ASI di p******a Anda akan terhambat karenanya. Ketika Anda pulang, mintalah suami Anda untuk bekerja sama.”
Untuk beberapa saat, aku tak tahu harus berkata apa dan dokter akhirnya turun tangan lagi.
Dia menekan tangannya di dadaku. Aku sebenarnya ingin melawannya, tapi dengan tekanannya yang ringan, saraf yang awalnya membengkak dan sakit mendadak menjadi reda dan tenang. Di saat yang sama, ada semacam perasaan nyaman.
Aku sama sekali tidak menolaknya. Sebaliknya, ada semacam ekspektasi dalam hatiku.
Mendadak aku merasakan sesuatu yang keras. Keningku mengkerut, aku diam-diam membuka mataku untuk melihatnya.
Aku mendapati bahwa dokter itu menempelkan tubuhnya yang dibalut jas putih ke tubuhku. ‘Adik’nya berdiri tegak.
Seluruh tubuhku terasa hendak mati lemas.
Aku benar-benar tak menyangka dia akan bereaksi. Untuk beberapa saat, aku kebingungan. Jantungku berdetak cepat.
Dan lagi kedua tangannya bergerak lebih fleksibel di badanku. Sesekali tubuhnya menyentuhku.
‘Adik’nya yang sudah mengeras itu sepertinya sengaja menyentuhku.
Aku ingin mendorongnya menjauh dariku, tapi perasaan yang indah ini membuatku enggan. Aku bahkan memiliki sedikit harapan di hatiku.
Uh …
Tanpa sadar aku mengerang.
Aku tidak menduga akan mengeluarkan suara erangan seperti itu. Wajahku memanas karena menahan rasa malu, tapi aku sama sekali tidak bisa mengendalikan perasaan di tubuhku.
Aku lagi-lagi terengah-engah.
Bau amis memenuhi udara, seperti racun yang menggila. Wajah dokter itu mulai memerah. Telapak tangannya muncul dan tenggelam dalam kelembutan.
Wajah dokter itu begitu dekat, sehingga pori-pori wajahnya terlihat begitu jelas. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat.
“Baiklah, apakah Anda merasa nyaman sekarang?” Sang dokter tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke telingaku dan berbisik.
Dokter ini jelas-jelas menyadari perubahan yang terjadi padaku. Jari-jarinya meluncur ke bagian dalam kakiku seakan-akan itu bukan hal aneh, menyebabkan rasa gatal menyebar ke seluruh tubuhku.
Aku merasa sangat tidak nyaman. Aku … aku mau …
“Apa Anda merasa panas? Banyak berkeringat?” Sebelum aku sempat menjawab, dokter itu tersenyum lagi. Dia menurunkan tangannya dan menyentuh kakiku.
Sekujur tubuhku gemetar ketakutan. Dengan cepat kupegang tangannya dan berkata, “Tidak panas, hanya … hanya agak gugup saja.”
Aku buru-buru duduk dan merapikan kembali pakaianku. Aku menurunkan rokku dan wajahku memerah karena tersipu dan tidak berani menatap mata sang dokter.
“Rok Anda basah,” Sahut dokter itu sambil tersenyum lembut.
Ah …
Melalui cermin di sisiku, aku melihat rok dengan latar belakang kuntum bunga putih hampir terlihat tembus pandang.
Ya Tuhan! Aku benar-benar …
Dalam sekejap, wajahku memerah hingga ke dasar telingaku karena malu.
“Mu … mungkin udaranya terlalu panas dan aku berkeringat …“ aku berusaha menjelaskan dengan panik. Aku tak berani menatap matanya yang penuh arti itu.
Dokter itu mendadak membuka tangannya dan memelukku dari belakang, lalu berbisik di telingaku. “Semua wanita memang seperti ini. Anda pasti sangat menginginkannya, bukan?”
Dia membisikkan kata-kata itu di daun telingaku. Napasnya yang terasa hangat bertiup di rongga telingaku yang sensitif. Untuk beberapa saat, aku tak tahu bagaimana aku harus menolaknya. Sebelum aku sempat menolaknya, tangan yang besar dan kekar itu telah menghampiriku.
Stimulasi yang kurasakan di payudaraku menyapu dari dalam keluar. Aku merasa tubuhku melemas, seolah-olah telah kehilangan keseimbangan dan bersandar di lengannya, membiarkan diriku meluncur seperti seekor ikan.
Perasaan yang menyegarkan tiba-tiba membuncah dari dalam lubuk hatiku. Tubuhnya berputar di belakangku. Sebuah benda yang keras bergerak maju mundur di belakangku.
Mendadak sebuah suara asing terus menerus memanggil dari lubuk hatiku.
“Cepat masukkan! Cepat masukkan!”
Aku memejamkan mata dan mengerang pelan.
Dokter itu menjulurkan lidahnya ke telingaku. Jari-jarinya membuka celana dalamku dan menyentuh organ tubuhku yang paling pribadi.
Dadaku dan nyawaku seolah-olah hendak melompat. Terutama jemarinya, membuat tubuhku berayun tanpa sadar.
Terdengar sesuatu seperti sedang ditarik. Dokter itu meraih tanganku dan bergerak maju pelan-pelan, membuatku merasa hampir tercekik. Rasa gugup dan stimulasi yang diberikannya menyebar ke seluruh tubuhku dan pikiranku langsung kosong.
“Anda ingin bercinta satu kali?” Dokter itu bertanya dengan suara lembut. Suaranya yang menyihirku membuatku tak kuasa menolaknya.
Lenganku terhenti. Aku ingin melepaskan tanganku dari genggamannya, tapi dia menekannya dengan kuat.
Pada saat akal sehatku hampir hancur, ponselku mendadak berdering. Aku kembali sadar. Aku buru-buru melepaskan diri dari pelukannya.
“Biar kuterima teleponnya,” aku bahkan dengan panik mengubah nada suaraku, karena aku takut dia akan menempel lagi.
Rupanya suamiku yang menelepon. Melihat namanya, aku mengutuk diriku sendiri di dalam hati.
“Sayang, kenapa lama sekali mengangkat teleponku?” Suara suamiku terdengar di telingaku.
“Ya … aku baru saja ke dokter kandungan,” jawabku, sambil berusaha sebaik mungkin untuk mencoba tetap tenang.
Tepat pada saat ini, dokter itu mendadak menghampiriku dan menangkap gunung kembarku yang membusung.
Ya Tuhan! Mengapa jadi seperti ini?
Aku seperti disambar petir. Aku tak bisa lagi menahan rasa gemetar di sekujur tubuhku.
“Bagaimana keadaanmu?” Suara suamiku kembali terdengar di telepon.
“Dokter bilang … baik-baik saja. Tidak ada masalah,” nada suaraku terdengar tergesa-gesa. Aku melirik dokter itu dengan tatapan mata kesal, merasakan semua gerakan dokter ini. Sekujur tubuhku terasa jauh lebih panas, karena aku belum pernah merasakan rangsangan seperti ini sebelumnya.
“Aku baru saja selesai rapat. Tunggu aku, setelah kuselesaikan urusan di sini, aku akan menjemputmu.”
“Baiklah,” aku buru-buru menutup sambungan telepon. Aku membalikkan badan dan mendorong tubuh dokter itu menjauh dariku. Aku ingin mengumpat, tapi melihat sudut bibirnya bergerak dan melemparkan senyuman padaku, aku justru tak tahu harus berkata apa.
Di sisi lain, hasrat dalam hatiku begitu bergelora.
Aku bahkan berinisiatif ingin memeluk dokter ini, tapi saat teringat salam dan perhatian dari suamiku, aku merasakan rasa bersalah yang mendalam dari dalam hatiku.
“Suamiku akan segera datang menjemputku. Aku pergi dulu,” sahutku panik. Aku tak berani lagi menatap sang dokter.
Aku takut jika aku melihatnya lebih lama, aku tak akan tahan lagi.
Han Siyu, bagaimana bisa kau melakukan hal seperti itu!
Setelah keluar dari rumah sakit, aku menghentikan taksi. Baru saja aku masuk dan duduk, air mata malu tak henti-hentinya mengalir deras. Mengapa aku tidak melawannya?
Bagaimana aku harus menghadapi suamiku yang begitu mencintaiku? Kenapa kau berzina seperti ini?
Sopir taksi melihatku menangis. Dia melemparkan sebungkus tisu kepadaku.
“Nona, jangan menangis. kau sangat cantik. Meski ada pria yang meninggalkanmu, jangan diambil hati. Pasti akan ada banyak orang lain yang menyukaimu!”
Sopir ini begitu perhatian. Dia pasti ingin menghiburku, tapi tebakannya salah.
Selain itu, siapa yang bisa mengira seorang wanita hamil mampu melakukan hal-hal yang tak tahu malu seperti itu!
“Terima kasih,” Aku menyeka air mataku dan berusaha sekuat mungkin untuk menahan sudut bibirku dan tersenyum.
“Benar, kau terlihat lebih cantik saat tersenyum! Nona kelihatannya masih muda, masih belum lulus kuliah, bukan?” kata sopir itu sambil tersenyum.
Apa aku terlihat masih begitu muda? Mendengar pertanyaan seperti itu, hatiku sangat senang, karena setiap wanita pasti berharap selalu terlihat awet muda.
“Aku sudah menikah ….“
Saat sopir mendengar jawabanku, dia langsung menoleh dan menatapku.
“Hah, kau sudah menikah! Tapi, kau terlihat seperti siswi SMA. Apa suamimu telah melakukan hal yang buruk di luar sana? Dia sudah punya istri cantik sepertimu, tapi masih berani berselingkuh di luar? Dia benar-benar pantas mati!”
Saat sang sopir berkata demikian, hatiku merasa lebih bersalah.
Suamiku tidak melakukan apa-apa. Akulah yang melakukan hal yang memalukan. Namun aku hanya berkata-kata dalam hati. Biarlah rahasia ini kusimpan dalam lubuk hatiku dan jangan sampai diketahui siapa pun!
Jika waktu bisa diulang kembali, aku pasti akan bersikap baik dan mengendalikan pikiranku yang tak tahu malu ini!
Aku tak berkata apa-apa lagi, hanya menundukkan kepalaku diam-diam.
“Sudah sampai! Nona, jangan bersedih. Banyak-banyaklah tersenyum, kau jauh lebih cantik saat kau tersenyum! Cepatlah pulang!” Sopir itu menatapku dengan ramah.
“Terima kasih!”
Setelah membayar ongkos taksi, aku langsung turun dan masuk ke dalam rumah.
Begitu masuk, aku langsung melepaskan pakaian yang kukenakan dan kulemparkan semuanya ke mesin cuci. Lalu, aku berjalan ke kamar mandi. Aku ingin membilas semua hal dan kenangan kotor dari badanku.
Air yang sedingin es merendam seluruh tubuhku, seolah-olah jiwaku dimurnikan. Akhirnya, aku pun mulai merasa tenang.
Aku menatap bayanganku yang terpantul di cermin. Kudapati wajahku dipenuhi oleh garis-garis halus dan bengkak yang samar.
Perutku mendadak membuncit. Sejak kehamilanku, tubuhku menjadi gemuk secara tidak normal. Seluruh kepribadianku berubah total, terutama hasrat seksku yang sulit dijelaskan, yang selalu menghantam organ intim bagian bawahku.
Ponselku mendadak berdering. Aku segera mengambil selembar handuk dan membungkuskannya ke tubuhku dan meraih ponselku. Saat hendak mengangkat telepon, baru kulihat bahwa orang yang meneleponku adalah suamiku.