TA - 6

1702 Kata
"Apa kita harus berpura-pura menjadi sepasang kekasih?" Yang tidak Vania sangka, ucapan frontalnya berhasil menarik perhatian mantan cinta semu atau bahasa kurang etisnya itu sekarang. Mengalihkan wajah dari layar laptop yang terus menyala sepanjang perjalanan panjang mereka menuju pulau berantah. "Kau mencoba peruntunganmu?" Dasar pria menyebalkan. "Tidak. Tapi ini demi memperlancar kesembuhan ayahmu. Kita bisa berpura-pura lalu aku akan meminta putus denganmu. Aku bisa menjadi perempuan tidak tahu diri, manja berlebihan dan terlalu banyak makan di depan dia." "Kalimat yang terakhir tidak akan berhasil. Ayahku menyukai perempuan yang menyayangi dirinya sendiri. Ini bukan soal dandan atau penyedot lemak, tapi tentang makan besar." Fagan menyela muram yang membuat Vania mendesah kalah. "Oke, itu semua percuma. Aku hanya ingin cepat pergi dari sana. Karena kurasa kita bisa terjebak lebih lama dan aku seperti terperangkap di kota tidur. Rumah senyap jilid baru akan muncul setelah aku kembali," katanya dengan nada menyindir dan Fagan memutar bola mata, mendengus masam. "Kau sangat berlebihan." "Padahal seharusnya kau bicara buruk tentangku." "Perempuan biasanya senang dipuji dan kau malah bersikap sebaliknya. Terlebih kau banyak mengobrol dengannya dari pada bersamaku. Dia merasa sudah cukup mengenalmu," tukas Fagan dingin dan Vania diam seperti patung. Tidak berusaha mengelak atau membantah kebenaran tersebut. "Satu-satunya yang menjadi interaksi kita adalah isyarat tubuh dan selebihnya tidak ada." "Apa kau terbiasa berbicara tanpa saring seperti itu di tempat umum? Pekerjaan tak biasamu rupanya mempengaruhi sampai di luar konteks bekerja?" Justru Vania yang menabuh gendang sekarang. Percuma berbicara jujur pada wanita satu tu kalau dia bukan seperti yang dipikirkan. "Aku bisa mengembalikan uang tidak berguna milikmu sekarang tepat di depanmu. Selama kau mau berhenti dan tidak membawa sebutan itu lagi jika sedang bersamaku." Vania menemukan pria itu tengah merajuk. Peringatannya sama sekali tidak membuatnya gentar. Tetapi karena dia akan menumpang hidup di pulau serta mendapat fasilitas secara gratis darinya, Vania harus mengalah. Bayaran itu hanya sebagai uang muka. Vania akan memberikannya lagi sebagai pelunasan. Dia berperan sebagai tamu yang hilang arah di pulau asing. Barangkali Fagan kembali sibuk dengan pekerjaan dan ide konyol tentang mereka yang berpura-pura menjadi sepasang kekasih, bukan ide yang cocok. Lagi pula, Vania ketus dan suka mengoceh. Fagan tipikal sulit diatur, tidak sabaran dan mudah tersulut seperti sumbu. Jadi mereka tidak akan sempurna satu sama lain. Tapi itulah letak keunikannya. Ayah Fagan tidak akan memandang dirinya sebagai perempuan baik penuh canda, melainkan wanita spontan dengan segala tingkah empat dimensinya. "Mengapa kau melamun?" "Aku tidak tidur semalaman karena kepalaku sakit." "Apa kau gugup?" Fagan menyeringai dari tempat duduknya saat melihat muram pada wajah wanita itu menjadi ledekan sendiri untuknya. "Cobalah sedikit rileks. Kau bisa terhindar dari jetlag setelah ini." "Aku tidak bisa seperti itu. Ini perjalanan panjang untuk pertama kalinya," akunya dan merasa malu karena terbuka soal kehidupannya yang standar alias sederhana. "Yang paling jauh hanya berpergian dengan kereta antar provinsi. Itu pun sebagai bentuk pelarian sementara." "Karena pekerjaan?" "Iya," balas Vania pelan menyadari bahwa dirinya terlalu apa adanya. Sudah jelas perbandingan serta status derajat mereka bagai langit dan bumi. "Aku terbiasa hidup berpindah-pindah. Tidak menetap satu tempat. Apartemen itu menjadi saksi bisu karena aku tidak pernah bisa pergi dari sana." "Oh, itu terlihat sesuai gayamu." Sindiran itu berhasil membuatnya bungkam. Dia memilih untuk tidak sadarkan diri dibanding mendengar kalimat tidak lucu pria itu. Sama sekali tidak bisa meredakan sesak dalam benaknya. *** Saat mereka sampai, Vania benar-benar tidak punya gambaran tentang apa pun dengan bandara yang baru saja menjadi tujuan tempat landas pesawat pribadi tersebut. Seakan ujung pesawat bersiap menciumnya, Vania menghidu aroma hutan lebat dan deretan kuda yang bersuara seperti di adegan drama ketika tersesat di tengah alam. Namun, sayangnya ini pulau. Ia lebih mencemaskan soal megalodon ketimbang kuda atau penunggu hutan dan sekarang dia tidak punya kesempatan untuk tahu tempat apa ini. "Kita ada di mana?" "Semacam bandara khusus. Perjalanan memakan waktu satu jam sebelum sampai pelabuhan serta sepuluh menit sebelum menumpangi kapal untuk sampai ke pulau." "Bagaimana dengan helikopter?" "Kupikir kau menyukai laut?" Vania mengernyit asal. "Aku hanya suka makan," balasnya muram. Sama sekali bingung dengan balasan pria itu. Dia tidak suka laut. Dan untuk beberapa alasan serupa lain adalah dirinya tidak bisa berenang. Sekali menyelam, dia tidak bisa bergerak bebas. Saat mereka lepas landas, dua pria menyambut dengan pakaian lokal. Celana kain pendek dan kemeja pantai khas. Vania mengendus aroma parfum murah dan satu pria lain bertubuh pendek namun kekar. Itu cukup tampak ssbagai nilai tambah. Kulitnya sedikit kecokelata berkat sinar matahari dan Vania sempat berpikir kedua pria ini penjaga pantai di pulau tersebut. "Bisa kita saling memperkenalkan diri?" Fagan menekuk alisnya cemas. "Wanita ini tidak suka basa-basi. Mari bawa kami pergi ke tempat makan. Sebentar lagi ada yang berisik karena perutnya belum terisi." Tuhan, sindiran itu terasa tepat di jempol kakinya. Membuat tak nyaman layaknya duri pohon kaktus yang lepas dari batang dan sembarangan melukai orang lain. Fagan tidak tahu caranya menjaga diri untuk tetap diam. Dua pria itu tampak menahan tawa. Meski berakhir dengan ringisan kecil kemudian tersipu saat Vania tidak menampilkan ekspresi ramah sama sekali. Begitu terkesan dingin dan jengkel. "Silakan, ikuti aku." "Aku ingin ramen," ujarnya saat mereka sampai di bagian dalam bandara kecil. Yang terkesan benar sebagai bandara pribadi. "Tidak mau kerang, tidak mau nasi goreng, tidak mau sup kepiting. Hanya semangkuk ramen." Fagan hanya diam dan tidak berkomentar sepatah kata. Saat melihat kopernya datang, Vania bergerak mendekat akan tetapi pria itu menahan tangannya. "Ada yang mengurusnya." "Siapa?" tanya Vania. "Si kembar di sebelah sana." "Kembar yang mana?" Vania mengangkat alis kemudian terkesiap menyadari dua pria tadi rupanya sepasang mirip. "Ya Tuhan, aku baru sadar. Kenapa satu lagi terlihat berbeda?" "Bukan terlahir identik. Satu lagi pecinta alam dan satu lagi tidak terlalu. Tetapi mereka ada di tujuan yang sama. Ikuti aku," titahnya membawa Vania pergi dari kekacauan dengan menyeret kopernya menjauh. "Kenapa kau masih membawanya?" "Aku hanya tidak ingin orang lain membawa barang pribadi. Ini hanya koper berisi pakaian santai dan piyama tidur. Aku tidak membawa apa pun selain perlengkapan mandi," dengusnya dan Fagan menarik gagang milik Vania, menaruhnya asal yang membuat Vania mendesis kesal. "Mengapa kau sulit sekali mengerti? Biar mereka yang mengurus barang itu." "Hei, dengar dulu. Aku tidak terbiasa diperlakukan seperti putri tidur," cibirnya datar dan Fagan mencela setelah mendengar ocehan Vania seperti kaset hitam murah. "Aku cukup mandiri sebagai perempuan sejati." "Aku sudah tahu." Vania membuang napas dengan lelah. Menunduk untuk mendelik ke arah tautan tangan mereka. Kemudian menepis karena syok, memberi Fagan sebuah tatapan dingin sebelum dia bisa berjuang tetap berdiri tegak. "Ke mana kita pergi?" "Lapida yang memiliki pemandangan bagus. Itu salah satu tempat dengan kuliner bernilai tinggi. Beberapa tempat mendapat bintang dari koki ternama. Kau bisa memilih apa pun yang kau mau. Bebas dan sesukamu." "Ini seperti persiapan agar aku tetap bertahan selanjutnya," sahutnya agak miris yang membuat Fagan mengerutkan alis. "Tidak apa karena aku pasti menyantap makanan. Bagaimana caranya pergi ke sana?" "Mobil yang sudah siap," tunjuk agak dekat dan Vania menemukan dirinya sudah tidak lagi sabar. *** Saat Vania tiba, ia melihat pulau kecil dengan ragam kemewahan yang memukau. Itu milik seseorang. Hanya Fagan, keluarganya serta Tuhan yang tahu berapa banyak penghasilan mereka semua jika ditotal. Pulau ini mengagumkan dan cantik. Setelah menumpang taksi air, kalau Fagan boleh menyebutnya begitu dan sedikit bergegas. Vania menemukan dirinya menikmati seluruh bagian pantai yang bersih serta tembus pandang. Bangunan berlantai dua yang minimalis dan menawarkan kenyamanan ekstra di dalam rumah. Dia bisa melihat sinar matahari menyorot masuk melalui jendela kaca yang terbuka. "Selamat sore teruntuk kalian berdua." Seorang yang lebih muda menyapa dengan ramah. Bisa diterka bahwa perempuan ini baru berusia dua puluh lima atau awal tiga puluhan. Sekisar umur enerjik dengan penuh talenta. "Ini Nina, dia perawat khusus yang mengurus keperluan ayah selama di pulau." Fagan berkata santai mengendik pada Nina dengan raut datar. "Kami hanya butuh dua kamar kosong tambahan. Ada dua pekerja baru yang mengurus dapur dan kebun." "Pagi tadi mereka sudah datang untuk memeriksa tempat ini. Anda sudah mengabarkan terlebih dulu," sahut Nina ramah dan Vania tiba-tiba bosan. Perempuan biasanya sering memakai topeng. Untuk satu pengecualian, Nina seperti memiliki sembilan wajah. "Apa benar itu dirimu?" Selintas, Vania bisa melihat Fagan mengangkat alis atau mungkin terkejut karena ayahnya tahu lebih jelas namanya sementara dia sebagai kekasih palsu tidak. Merasa terkejut dan gelisah. Tampang datarnya sekarang hampir membuat Vania tertawa geli. "Kalau kau mendatangkan perempuan cantik dan cerdas, aku pasti cepat sembuh. Yang kau datangkan manusia dari planet luar bumi." Vania terkekeh sendiri. Sedangkan Fagan mendengus masam meminta Nina untuk segera mundur. "Dia merawatmu dengan baik," ucap Fagan tanpa malu menolak protes keras dari pria paruh baya banyak mau di depannya. "Kau memperkerjakan perempuan penuh rahasia. Demi Tuhan aku membuang obat itu di pot bunga, kurang dari dua menit dia datang dengan air dan racikan baru. Aku nyaris pingsan karena dia yang aneh," komentar bernada mengeluh itu menjadi pembuka yang menyenangkan. Vania tidak kuasa menahan senyum lebar mendengar cerita lucu. "Nina cukup kompeten di bidangnya. Sejauh ini dia yang paling sepadan dengan seleraku. Yang terpenting sangat penyabar," sahut Fagan pahit dan berbalik untuk masuk ke dalam rumah tingkat. Membiarkan Vania menatapnya dan berlalu pada sosok rapuh yang nampak lebih kurus dan pucat dari terakhir kali mereka bertemu. "Kau baik-baik saja?" "Oh, tentu saja karena kau di sini. Apa kau merasakan pusing selama perjalanan?" "Aku beruntung itu tidak terjadi. Kendaraan sangat cepat melaju tetapi melegakan karena aku tidak sakit perut selama perjalanan. Pulau ini sangat menakjubkan. Mengapa tidak ada di pencarian laman secara rinci?" "Itu ulah Fagan. Dia terbiasa menyimpannya secara privasi dari dunia luar. Putra bungsuku mendapatkan tempat penuh mimpi ini dari acara lelang pengusaha yang bangkrut kepada bank nasional. Bagiku sangat mahal dan Fagan seperti memenangkan undian berhadiah ketika mendapatkannya," kata Kenta berseri-seri bahagia. "Apa kalian berpacaran?" "Tidak," Vania terkejut panik. "Kenapa berpikir seperti itu?" "Aku merasa dia bergerak cepat setelah pesta dan berhasil menemukanmu. Kalian terikat satu sama lain sekarang." Kenta yang percaya diri telah kembali atau Vania boleh menyebutnya kemajuan. Dia percaya pada ucapan Sarah tentang seseorang yang menua akan bertambah ilmu asal tahu. "Anda sudah melewatkan jam makan siang. Dokter Freddy datang sebentar lagi." Nina muncul dari pintu belakang. Vania lekas bangun, membantu Kenta untuk berdiri dan mereka berjalan santai sembari melihat-lihat sekitar. Namun tidak bisa mengelak jika Vania menyukai pria ramah ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN