2. Pertemuan

1438 Kata
"Sayang, kamu jangan kemana-mana, ya malam nanti." Sofia masuk ke kamar putrinya. Dilihatnya Helen sedang rebahan sembari memainkan gawai di tangannya. Gadis itu segera berhenti menatap layar handphone-nya dan berganti menatap ibunya yang kini tengah berdiri di hadapannya. "Emang kenapa, Ma?" tanya Helen penuh selidik. Tidak biasa-biasanya ibunya itu melarangnya pergi. Ya, meski Helen sendiri juga jarang keluar malam, sih. "Ehm ...." Sofia mencoba mencari kata-kata yang pas untuk menjelaskan apa yang ingin disampaikannya. Salah kata sedikit saja, Helen bisa malah balik mencak-mencak padanya. Kadang dia sendiri bingung, ngidam apa dulu waktu hamil anaknya itu? Kok bisa punya anak cewek bar-bar, beda dengan Cintia, anak pertamanya. Tapi walau bagaimanapun Sofia sangat tahu, Helen sangat menyayangi dirinya serta keluarganya. Buktinya semalam, anaknya itu diam saja saat dia menjelaskan alasan perjodohannya. "Ehm ... calon suami kamu akan datang beserta keluarganya." "Apa?! Secepat ini, Ma. Iya, semalam Helen setuju, tapi 'kan nggak harus secepat ini. Nunggu Helen selesai kuliah kek, atau dua tahun lagi kek, atau lima tahun lagi juga boleh. Ini ... ini kenapa malah malam ini?" Persis seperti dugaan Sofia, putri keduanya itu pasti akan langsung protes. Memang terlalu cepat sih, jadi kesannya buru-buru. "Tenang, Sayang. Tenang." Sofia mendekati Helen dan memegang bahu anaknya itu. "Gimana Helen bisa tenang, coba?" Kedua tangannya dia gunakan untuk menutupi wajahnya. Berusaha tampak tertekan agar ibunya bisa membatalkan acara malam ini. "Malam ini cuma acara kenalan kamu sama calon kamu. Untuk acara pertunangan tidak dalam waktu dekat. Pernikahan kalian juga mungkin masih sekitar dua tahun lagi," bujuk Sofia pada putri keduanya itu. Ya, memang rencananya baru acara perkenalan, biar saling mengenal dan syukur-syukur bisa menumbuhkan bibit cinta antara keduanya. Helen menghela nafas. Memang tidak ada pilihan lain untuknya selain menerima perjodohan ini, atau dia bakal menjadi gelandangan dan tak punya apa-apa. Pikirnya masih banyak waktu untuk membuat calon tunangannya ini illfill sama dia dan membatalkan sendiri pertunangan mereka. Nggak bisa mbantah lagi, deh gue. Gue belum siap hidup miskin, ratap Helen dalam hati. Tapi dia masih belum habis pikir, kenapa bukan Cintia aja yang dijodohkan, karena kalau kakaknya itu sudah pasti menerima tanpa bantahan. Cintia terkenal gadis yang sangat penurut dan lembut. Sangat bertolak belakang dengannya yang sedikit bar-bar. "Kenapa bukan Kak Cintia aja, sih, Ma?" rajuk Helen dengan suara yang sangat lembut. Berharap keputusan orang tuanya bisa diubah. "Kan Mama udah bilang, Sayang. Kalau kakak kamu ketuaan." Helen masih belum mengerti dengan kata-kata ibunya yang bilang kalau kakaknya ketuaan. Tapi saat ini dia sendiri sedang malas berdebat. Gairah hidupnya tak semenyala kemarin pagi. Helen membuang napas kasar. Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Sekeras apa pun dia menolak, kayaknya nggak bakal bisa. Mau kabur juga susah, dia nggak bisa bayangin hidup tanpa uang. Sofia terus menepuk-nepuk punggung anaknya itu. Dia sendiri sebenarnya juga tidak tega memaksa putrinya untuk bertunangan dengan orang yang tidak dicintainya, tapi mau bagaimana lagi. Semua demi keluarga. "Sudah, Mama keluar dulu. Jangan lupa nanti dandan yang cantik, ya." Helen hanya mengangguk. Matanya tak lepas dari melihat punggung ibunya yang semakin menjauh darinya. Kembali dia merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya. Sempat terlintas di pikirannya untuk kabur saja sebelum tamu orang tuanya datang. Tapi, apakah tempatnya tidur nanti bakal empuk kayak kasurnya ini. Helen mengerang, membalik tubuhnya ke arah samping lalu mendekap gulingnya. "Apa suruh Gio nikahin gue aja?" Sebuah ide muncul di kepalanya. Seutas senyum seketika muncul di bibir indahnya itu. "Tapi, apa dia mau?" Sedetik kemudian raut kesedihan kembali menghiasi wajah cantiknya itu. Helen, gadis berusia mendekati 23 tahun, kuliah semester tujuh. Kulitnya memang tidak seputih orang Korea m. Malah bisa dibilang kulitnya eksotis, karena agak gelap. Khas orang Jawa. Tapi, wajahnya terpahat begitu sempurna. Dia begitu cantik bersamaan terlihat manis. Tidak akan bosan jika memandang wajahnya. Bulu matanya yang lentik, terlihat begitu menggoda ketika matanya berkedip. Selama ini dia memang pacaran dengan Gio, tapi pria itu selalu menolak jika diajak main ke rumah. Alasan inilah, itulah. Tapi dasarnya cinta buta, alasan apa pun bakal Helen percayai. "Helen ... kenapa nasib lo gini amat, ya? Belum keramas berapa hari gue kok berasa sial?" Tangannya meraih rambut bergelombangnya dan mendekatkannya pada indera penciumannya itu. "Wuek ... pantes aja sial. Udah seminggu gue nggak keramas. Kok betah, sih? Gue aja heran." Helen hanya nyengir mengingat kejorokannya. Bisa-bisanya dia nggak keramas seminggu. Dia segera beranjak dari kasurnya dan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. "Kali aja setelah keramas, sial gue ilang," monolognya ketika bersiap akan mengguyur tubuhnya. Helen tidak seperti gadis pada umumnya, yang suka berlama-lama di kamar mandi. Bisa dikatakan sedikit jorok untuk ukuran anak gadis. Meski tidak jorok-jorok amat. Paling cuma suka males kalau keramas. Seperti kali ini, dia baru ingat kalau sudah seminggu rambutnya tidak tersentuh air. Bisa dibanyangkan betapa bau dan kotornya rambutnya itu. Helen keluar kamar mandi dengan wajah yang berseri dan kepalanya terasa lebih enteng, mungkin karena bebannya berkurang. "Kira-kira tamunya dateng jam berapa, ya?" Tiba-tiba muncul sebuah ide di kepalanya agar laki-laki yang mau dijodohkan dengannya kabur jika melihatnya. Sebuah senyuman jahat muncul di sudut bibirnya. *** Helen menatap jam dinding yang menempel di dinding kamarnya. Hatinya berdegup kencang menanti tamu yang akan datang malam ini. Bukan karena senang akan bertemu calon tunangannya, namun karena dia ingin tahu bagaimana reaksi mereka. Terdengar suara pintu kamar dibuka. Jantung Helen berhenti sesaat, saat tahu ada yang membuka pintu kamarnya. "Helen ...!" Tuh, kan. Ada sebuah lengkingan yang menggelora memenuhi ruangan itu. Sofia begitu shock melihat rupa putrinya itu. Helen sendiri tak kalah shock. Kenapa Mama mesti ke sini, sih? Nggak pakai ketok pintu dulu, gerutunya dalam hati. "Kamu ngapain dandan kayak lenong gitu?" Sofia segera menghampiri putrinya dan mengambil tissue untuk menghapus riasan di wajah Helen. "Mama juga ngapain? Masuk nggak pakai ketok pintu?" Helen berusaha menghindar dari sapuan tissue di tangan ibunya. "Lho, Mama punya firasat buruk. Nyatanya iya. Udah! Jangan menghindar terus! Pokoknya Mama nggak mau kamu keluar masih kayak lenong gini." Ternyata firasat buruknya terbukti. Helen sengaja memakai bedak sangat tebal. Hingga kelihatannya seperti ditumpahin cat seember. Putih banget. Pipinya diberi blush on warna merah menyala. Persis seperti dandanan ondel-ondel. Belum lagi bibirnya pakai lipstik di tengah-tengahnya saja, seperti Oshin. Helen terduduk pasrah di kursi meja riasnya. "Apa tidak bisa dipikirkan lagi, Ma? Aku masih kecil, lho. Belum layak kawin, Ma ...." Kali ini suaranya dia buat selemah mungkin agar ibunya itu menjadi iba. "Kamu tahu sendiri jawabannya, Sayang." Kini keduanya menghela nafas, hampir bersamaan. Helen memang bisa memilih, tapi tetap saja ada konsekuensinya. Tangan Sofia dengan cekatan membersihkan wajah putri cantiknya itu. Sebentar lagi keluarga calon besannya akan datang. Dia harus segera mendandani Helen agar terlihat cantik, bukannya seperti ondel-ondel. Tak ada penolakan seperti biasanya dari Helen. Dia bergeming menerima semua perlakuan ibunya itu pada wajahnya. Gadis itu mengerjap-erjapkan matanya menatap ke arah cermin. Hampir saja dia tidak mengenali dirinya sendiri. Apakah benar itu dirinya? Selama ini dia tidak pernah dandan seperti itu. Hanya dandanan sederhana ala anak kuliahan. "Ini ... Helen, Ma?" Dia menatap ke arah ibunya bergantian dengan tatapannya ke arah kaca. Sofia tampak puas dengan karya tangannya itu. Dia mengangguk mengiyakan pernyataan Helen. "Udah. Mama ke bawah dulu. Kamu nggak boleh aneh-aneh lagi. Pokoknya jangan samapai bikin malu!" titah ibunya itu hanya dia balas dengan anggukan pasrah. Pasrah akan nasibnya. Yang penting untuk saat ini dia akan mengalah dulu. Kalah untuk menang. Sofia keluar dari kamar anaknya, meninggalkan Helen yang masih mengagumi kecantikannya yang baru saja dilihatnya. "Ini beneran gue? Bukan bidadari, 'kan? Soalnya cantiknya udah kayak bidadari," gumamnya seorang diri. Untung nggak ada orang. Kalau ada bisa dipastikan orang itu bakal muntah mendengar kata-kata gadis itu. "Helen, Sayang. Keluar, yuk. Itu tamunya sudah datang." Sofia berkata begitu lemah lembut pada anaknya itu. Helen menoleh kemudian mengikuti ibunya itu dengan tidak bertenaga. "Yang semangat, dong, Sayang. Kayak biasanya." Bagaimanapun melihat Helen seperti ini bukanlah hal yang menyenangkan. Ada remasan kuat pada hatinya. Bukannya menjawab, Helen lagi-lagi hanya menghela nafas. Kini mereka telan berjalan melewati tangga. Terdengar suara orang tertawa dan berbincang dari arah ruang tamu. "Maaf, semuanya. Ini anak kami, Helen." Sofia tersenyum ke arah tamunya sembari mengenalkan putrinya yang sedang memaksakan senyum itu. "Nathan! Nath!" Seorang wanita paruh baya menyenggol lengan putranya yang masih sibuk dengan gawainya. Mau tak mau anak laki-lakinya itu menoleh ke arah yang ditunjuk ibunya. "Tante!" "Bocil!" Keduanya hampir bersamaan mengucapkannya. Dan yang pasti sama-sama kaget dan shock. Para orang tua hanya saling pandang tak mengerti dengan apa yang dimaksud keduanya. Yang satu memanggil 'tante', yang satu bilang 'bocil'.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN