Love 1

1850 Kata
Hembusan pelan angin senja di sore itu menemani sepasang anak kecil yang tengah asyik bermain di sebuah taman. Suara tawa keduanya seolah menggambarkan betapa bahagianya kehidupan mereka dengan diisi oleh bermain sepanjang harinya. Gadis kecil itu berlari-lari riang sambil merentangkan tangan mungilnya lebar-lebar seperti sebuah kupu-kupu cantik yang siap terbang menumbus angin. Rambutnya yang diikat kuncir kuda bergerak ke sana dan ke mari mengikuti gerak tubuhnya. Senyuman yang begitu cerah—secerah mentari—tak pernah luntur dari wajah imutnya. Berkali-kali terdengar tawa riang dari bibir mungilnya. “Alina, udahan yuk mainnya. Aku capek!” Sahut seorang anak laki-laki yang sedari tadi berdiri sambil memperhatikan gadis kecil itu bermain. Wajahnya sudah di penuhi keringat yang bahkan sudah membasahi baju yang ia kenakan. Gadis kecil yang di panggil Alina itu pun langsung menghentikan langkah-langkah kecilnya setelah mendengar sahutan anak laki-laki itu. Kemudian dia memandang anak laki-laki itu dengan begitu kesalnya. “Reza, Alina kan masih mau main. Kok malah di suruh udahan sih? Reza udah gak mau main lagi sama Alina, ya?” Tebaknya langsung sambil mengerucutkan bibirnya, tanda dia sedang merajuk. Reza yang merasa tidak enak hati pun langsung mendekati Alina yang sudah manyun sambil berkacak pinggang. “Alina, bukannya Reza gak mau main sama Alina. Tapi sekarang kan udah sore. Tuh lihat, bentar lagi matahari bakalan pulang ke rumahnya.” Reza menunjuk matahari yang tertutup awan. Mau tak mau Alina melirik matahari yang di tunjuk oleh Reza dari pinggir matanya. “Matahari aja mau pulang, masa Alina gak mau pulang?” “Alina gak mau pulang!” Pekik Alina nyaring kemudian berbalik badan membelakangi Reza. Dia benar-benar merasa kesal pada sahabatnya ini karena telah merusak waktu bermainnya. “Kenapa Alina gak mau pulang? Nanti Mama Alina khawatir lho, kalo Alina gak mau pulang ke rumah.” “Soalnya kalo Alina pulang ke rumah, nanti Mama sama Papa bakalan bawa Alina pergi,” kata Alina dengan ekspresi sedih. “Pergi? Emangnya Alina mau kemana?” Tanya Reza bingung dan menyampingkan kepalanya ke kiri. Alina menggelengkan kepalanya. “Alina gak tau.” Akunya sambil menunduk. “Alina perginya jauh gak?” Tanya Reza lagi. Kini Reza merasa sedih karena ia akan kehilangan sahabat yang selalu menemaninya bermain setiap hari. Alina menggeleng lagi. “Alina juga gak tau. Tapi kata Mama, Alina bakalan tinggal di tempat yang jauuuhhh banget, dari tempat kita tinggal sekarang...” Alina merentangkan tangannya selebar mungkin saat mengucapkan kata jauh. “Reza tau gak tempat yang jauh itu ada di mana?” Reza menggeleng dengan sedih. “Reza gak tau di mana tempatnya. Tapi, Alina bakalan lama gak perginya?” Reza berdiri di depan Alina dengan ekspresi sedih. “Alina juga gak tau, Reza. Tapi Alina janji, nanti Alina bakalan balik lagi kok. Terus kalo Alina udah balik ke sini lagi, nanti Reza masih mau, kan, main lagi sama Alina?” tanya Alina dengan mata yang berbinar-binar penuh harapan. “Pasti. Reza bakal terus nunggu Alina pulang dari tempat yang jauh itu. Terus kita bisa main lagi deh…” sahut Reza antusias. *** “Reza, kita mau kemana?” tanya Alina sambil merapatkan tubuh kecilnya ke tubuh Reza yang berjalan di depannya. “Bentar lagi Alina mau pergi. Nanti Alina ditinggal kalo gak pulang tepat waktu.” “Reza kan udah izin sama Mamanya Alina buat main sama Alina untuk terakhir kalinya. Reza janji deh, mainnya gak bakalan terlalu lama.” “Emangnya kita mau main apa?” Tanya Alina polos. Reza menghentikan langkah kakinya di sebuah bukit yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. “Reza sebenarnya ngajak Alina ke sini bukan buat main.” Alina menatap Reza dengan kening berkerut. “Jadi, Reza mau ngapain ngajak Alina ke sini?” “Reza mau ngasih ini ke Alina.” Reza menunjukkan dua buah kalung perak berbandulkan matahari pada Alina. Tanpa sadar mulut Alina ternganga lebar saat Reza menunjukkan kalung itu padanya. “Ini buat apa?” tanyanya polos. “Ini buat Alina,” Reza memberikan satu di antara ke dua kalung itu pada Alina. “Buat Alina?” Alina menatap kalung yang sudah berada di tangannya itu dengan bingung. “Iya, itu sebagai kenang-kenangan dari Reza. Kalung itu buat Alina, dan kalung ini buat Reza. Reza pake kalung ini dan Alina juga pake kalung yang ada di tangan Alina. Terus kalau Alina ulang tahun yang ke-17 kita harus datang ke tempat ini lagi, di sini. Di tempat ini. Janji?” Reza menunjukkan jari kelingkingnya pada Alina. “Janji!” seru Alina antusias dan mengamit kelingking Reza dengan kelingkingnya. “Sekarang kita simpen baik-baik kalung ini dan jangan sampai lupain janji kita.” “Iya, Alina janji bakal nyimpen kalung ini sebaik mungkin, Reza, dan Alina bakalan inget sama janji kita.” Kata Alina semangat. Reza tersenyum melihat antusiasme di diri Alina. “Tahu gak, kenapa Reza ngasih Alina kalung matahari ini?” Tanya Reza sambil menatap lurus wajah Alina. Alina yang tengah memainkan kalungnya langsung menatap Reza dengan senyuman lebar khas anak kecil. Kemudian gadis kecil itu menggeleng pelan. “Emangnya kenapa, Reza?” “Reza milihin kalung matahari karena Reza ingin Alina selalu inget sama Reza. Sama seperti matahari yang gak akan pernah berhenti menyinari bumi walaupun usia mereka udah tua.” Kata Reza dengan mata berbinar-binar. “Maksudnya apa?” Tanya Alina bingung. Reza menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal sambil menerbitkan cengirannya. “Hehe… Reza juga gak ngerti apa maksudnya. Tapi yang pasti, semoga persahabatan kita kayak matahari yang akan selalu hangat dan bercahaya. Oke?” Walapun masih bingung, akhirnya Alina pun mengangguk semangat. “Iya, oke!.” Hembusan pelan angin senja di sore itu menemani sepasang anak kecil yang tengah asyik bermain di sebuah taman. Suara tawa keduanya seolah menggambarkan betapa bahagianya kehidupan mereka dengan diisi oleh bermain sepanjang harinya. Gadis kecil itu berlari-lari riang sambil merentangkan tangan mungilnya lebar-lebar seperti sebuah kupu-kupu cantik yang siap terbang menumbus angin. Rambutnya yang diikat kuncir kuda bergerak ke sana dan ke mari mengikuti gerak tubuhnya. Senyuman yang begitu cerah—secerah mentari—tak pernah luntur dari wajah imutnya. Berkali-kali terdengar tawa riang dari bibir mungilnya. “Alina, udahan yuk mainnya. Aku capek!” Sahut seorang anak laki-laki yang sedari tadi berdiri sambil memperhatikan gadis kecil itu bermain. Wajahnya sudah di penuhi keringat yang bahkan sudah membasahi baju yang ia kenakan. Gadis kecil yang di panggil Alina itu pun langsung menghentikan langkah-langkah kecilnya setelah mendengar sahutan anak laki-laki itu. Kemudian dia memandang anak laki-laki itu dengan begitu kesalnya. “Reza, Alina kan masih mau main. Kok malah di suruh udahan sih? Reza udah gak mau main lagi sama Alina, ya?” Tebaknya langsung sambil mengerucutkan bibirnya, tanda dia sedang merajuk. Reza yang merasa tidak enak hati pun langsung mendekati Alina yang sudah manyun sambil berkacak pinggang. “Alina, bukannya Reza gak mau main sama Alina. Tapi sekarang kan udah sore. Tuh lihat, bentar lagi matahari bakalan pulang ke rumahnya.” Reza menunjuk matahari yang tertutup awan. Mau tak mau Alina melirik matahari yang di tunjuk oleh Reza dari pinggir matanya. “Matahari aja mau pulang, masa Alina gak mau pulang?” “Alina gak mau pulang!” Pekik Alina nyaring kemudian berbalik badan membelakangi Reza. Dia benar-benar merasa kesal pada sahabatnya ini karena telah merusak waktu bermainnya. “Kenapa Alina gak mau pulang? Nanti Mama Alina khawatir lho, kalo Alina gak mau pulang ke rumah.” “Soalnya kalo Alina pulang ke rumah, nanti Mama sama Papa bakalan bawa Alina pergi,” kata Alina dengan ekspresi sedih. “Pergi? Emangnya Alina mau kemana?” Tanya Reza bingung dan menyampingkan kepalanya ke kiri. Alina menggelengkan kepalanya. “Alina gak tau.” Akunya sambil menunduk. “Alina perginya jauh gak?” Tanya Reza lagi. Kini Reza merasa sedih karena ia akan kehilangan sahabat yang selalu menemaninya bermain setiap hari. Alina menggeleng lagi. “Alina juga gak tau. Tapi kata Mama, Alina bakalan tinggal di tempat yang jauuuhhh banget, dari tempat kita tinggal sekarang...” Alina merentangkan tangannya selebar mungkin saat mengucapkan kata jauh. “Reza tau gak tempat yang jauh itu ada di mana?” Reza menggeleng dengan sedih. “Reza gak tau di mana tempatnya. Tapi, Alina bakalan lama gak perginya?” Reza berdiri di depan Alina dengan ekspresi sedih. “Alina juga gak tau, Reza. Tapi Alina janji, nanti Alina bakalan balik lagi kok. Terus kalo Alina udah balik ke sini lagi, nanti Reza masih mau, kan, main lagi sama Alina?” tanya Alina dengan mata yang berbinar-binar penuh harapan. “Pasti. Reza bakal terus nunggu Alina pulang dari tempat yang jauh itu. Terus kita bisa main lagi deh…” sahut Reza antusias. *** “Reza, kita mau kemana?” tanya Alina sambil merapatkan tubuh kecilnya ke tubuh Reza yang berjalan di depannya. “Bentar lagi Alina mau pergi. Nanti Alina ditinggal kalo gak pulang tepat waktu.” “Reza kan udah izin sama Mamanya Alina buat main sama Alina untuk terakhir kalinya. Reza janji deh, mainnya gak bakalan terlalu lama.” “Emangnya kita mau main apa?” Tanya Alina polos. Reza menghentikan langkah kakinya di sebuah bukit yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. “Reza sebenarnya ngajak Alina ke sini bukan buat main.” Alina menatap Reza dengan kening berkerut. “Jadi, Reza mau ngapain ngajak Alina ke sini?” “Reza mau ngasih ini ke Alina.” Reza menunjukkan dua buah kalung perak berbandulkan matahari pada Alina. Tanpa sadar mulut Alina ternganga lebar saat Reza menunjukkan kalung itu padanya. “Ini buat apa?” tanyanya polos. “Ini buat Alina,” Reza memberikan satu di antara ke dua kalung itu pada Alina. “Buat Alina?” Alina menatap kalung yang sudah berada di tangannya itu dengan bingung. “Iya, itu sebagai kenang-kenangan dari Reza. Kalung itu buat Alina, dan kalung ini buat Reza. Reza pake kalung ini dan Alina juga pake kalung yang ada di tangan Alina. Terus kalau Alina ulang tahun yang ke-17 kita harus datang ke tempat ini lagi, di sini. Di tempat ini. Janji?” Reza menunjukkan jari kelingkingnya pada Alina. “Janji!” seru Alina antusias dan mengamit kelingking Reza dengan kelingkingnya. “Sekarang kita simpen baik-baik kalung ini dan jangan sampai lupain janji kita.” “Iya, Alina janji bakal nyimpen kalung ini sebaik mungkin, Reza, dan Alina bakalan inget sama janji kita.” Kata Alina semangat. Reza tersenyum melihat antusiasme di diri Alina. “Tahu gak, kenapa Reza ngasih Alina kalung matahari ini?” Tanya Reza sambil menatap lurus wajah Alina. Alina yang tengah memainkan kalungnya langsung menatap Reza dengan senyuman lebar khas anak kecil. Kemudian gadis kecil itu menggeleng pelan. “Emangnya kenapa, Reza?” “Reza milihin kalung matahari karena Reza ingin Alina selalu inget sama Reza. Sama seperti matahari yang gak akan pernah berhenti menyinari bumi walaupun usia mereka udah tua.” Kata Reza dengan mata berbinar-binar. “Maksudnya apa?” Tanya Alina bingung. Reza menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal sambil menerbitkan cengirannya. “Hehe… Reza juga gak ngerti apa maksudnya. Tapi yang pasti, semoga persahabatan kita kayak matahari yang akan selalu hangat dan bercahaya. Oke?” Walapun masih bingung, akhirnya Alina pun mengangguk semangat. “Iya, oke!.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN