SELAMAT MEMBACA
***
Kama turun dari motor saat sampai di rumahnya. Dari dalam rumah, Sri menyambut kedatangan putranya dengan suka cita.
“Assalamu’alaikum…” Salam Kama lalu mencium tangan ibunya.
“Waalaikumsalam. Ibu kira tidak jadi pulang hari ini Le,” ucap Sri pada Kama. Pasalnya dia sudah menunggu sejak pagi, namun ternyata hampir tengah hari putranya baru datang. Padahal perjalanan dari Jogja ke rumahnya hanya sekitar dua jam lewat jalur Bayat.
“Tadi berangkatnya sudah siang Bu,” jawab Kama sambil masuk kedalam rumah.
Saat memasuki ruang tamu, hal pertama yang menyambutnya adalah foto keluarga yang di pasang ibunya dengan ukuran besar.
Ada dia, ibu dan mendiang bapaknya disana. Foto itu di ambil ketika Kama wisuda. Kama tersenyum melihat foto keluarganya itu.
“Kok sepi Bu?”
“Lha mau ada siapa? Orang memang tidak ada orang kok.” Jawab Sri lagi.
“Sari biasanya disini,” ucap Kama menanyakan keberadaan adik sepupunya yang biasanya menemani ibunya itu.
“Jam segini yo kerja no Le, kok lupa. Ini kan bukan hari libur,” ucap Sri lagi.
Oiya, Kama lupa jika ini bukan hari libur adik sepupunya bekerja sebagai operator jahit di salah satu pabrik garmen di daerah mereka. Dan tentunya sekarang dia tengah bekerja.
“Sudah makan belum?” tanya Sri pada Kama.
Kama hanya menggeleng, dia memang belum makan. Makan siang maksudnya, hanya sarapan bubur ayam pagi tadi.
“Yasudah Ibu ambilkan makan ya, Ibu masak ayam goreng sama sambel ati kesukan kamu tadi.” Ucap Sri sambil berjalan kearah dapur.
“Nanti ambil sendiri lo Bu, tidak usah di ambilkan. Kaya tamu saja,” Ucap Kama melarang ibunya. Sebanyak apapun usia Kama tetap akan mejadi anak kecil di mata ibunya. Bahkan ibunya masih sering mengambilkan makan bahkan tak jarang menyuapi dirinya ketika pulang seperti ini.
Tak lama Sri sudah kembali dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan lauknya dan segelas es teh manis untuk Kama. Sri meletakkan semuanya di hadapan Kama.
“Sudah langsung dimakan, pasti lapar kan.” Ucap Sri lagi meminta Kama segera makan.
Tanpa protes, Kama pun langsung menyuapkan makanannya. Lezat, seperti biasanya. Senyaman apapun tanah rantau, Kama tetap akan merindukan rumah terutama masakan ibunya ini.
Sri yang melihat Kama makan dengan lahapnya hanya bisa tersenyum, selalu menyenangkan memandang putranya yang jarang pulang itu makan masakannya dengan lahap.
Tiba-tiba Sri teringat sesuatu yang ingin di katakan.
“Le Ibu mau bicara, dengarkan ya.” Ucap Sri pada Kama.
Kama hanya mengangguk, tanpa menjawab karena mulutnya penuh dengan makanan.
“Nanti malam ketemu sama anaknya teman Ibu ya,” ucap Sri merayu putranya agar mau pergi menemui putri temannya.
“Siapa Bu?” tanya Kama dengan bingungnya. Dia baru pulang dan sudah di suguhkan dengan jadwal kencan yang sudah di susul oleh ibunya.
“Ada, cantik pokonya anaknya.” Ucap Sri lagi.
Kama hanya bisa mengangguk pasrah tanpa melawan sama sekali. Menjadi anak patuh adalah semboyannya.
***
Sejak tadi Kama memperhatikan gadis yang duduk dengan malu-malu di hadapannya itu. Ibunya benar-benar tidak main-main dengan ucapannya siang tadi. Dia benar-benar mengaturkan jadwal kencan buta untuknya. Bahkan tanpa memberinya waktu istirahat sedikitpun. Dengan alasan semakin cepat semakin baik. Teman kencan Kama malam ini adalah seorang gadis cantik anak dari teman Ibunya. Kata ibunya dia seorang mahasiswi akhir yang tengah mengerjakan skripsi.
“Leony, maaf saya langsung tanya dulu. Leony usianya berapa tahun ini?” tanya Kama langsung. Pertanyaan yang kurang sopan sebenarnya untuk di jadikan pertanyaan pembuka dalam sebuah kencan. Bahkan beberapa orang menganggap mempertanyakan usia adalah hal yang tabu. Namun, Kama sama sekali tidak peduli, dia malas basa-basi lebih baik langsung saja.
Jujur, gadis di hadapannya memang cantik, namun Kama sedikit ragu dengan gadis itu. Bukankah jika di bandingkan Kama, gadis di hadapannya itu terlalu sangat belia.
“21 tahun Mas. Mas Kama sendiri berapa?” tanya Leony balik.
Mendengar usia Leony, Kama langsung terkekeh pelan. Aroma gagal sudah tercium. Baiklah, tidak usah terlalu berharap cukup selesaikan kencan malam ini lalu pulang dan lupakan.
“36 tahun,” Jawab Kama dengan santainya.
Terlihat sekali jika Leony cukup terkejut dengan usia Kama. Kama tidak kaget dengan reaksi Leony, dia sudah menduganya.
“36?” Leony masih tidak percaya, bahkan dia mengulang usia Kama tanpa sadar.
“Kenapa? Saya memang sudah tua,” Kekeh Kama lagi.
“Maaf Mas Kama, saya tidak bermaksud.” Jawab Leony dengan tidak enak hatinya. Mungkin saja Kama tersinggung dengan sikapnya.
Kama mengeluarkan rokoknya dan mulai menghisapnya dengan santai. Tidak peduli apakah Leony terganggu dengan asap rokok atau tidak.
“Tidak papa, kenapa minta maaf.” Jawab Kama.
Sejak awal melihat Leony, Kama juga tidak terlalu berekspektasi banyak.
Pesanan mereka datang, Leony memakan pesananya dalam diam. Sedangkan Kama, dia hanya memesan secangkir kopi. Sambil melihat suasana jalanan di hadapannya, Kama menyeruput kopinya dan menikmati rokoknya.
“Kata Bude Sri, Mas Kama kerja di Kalimantan.” Leony membuka obrolan kembali, merasa suasana di antara mereka terlalu canggung.
“Iya memang,” jawab Kama lagi.
“Jarang pulang berarti,” ucap Leony lagi.
“Memang jarang, karena pekerjaan saya tidak bisa asal di tinggalkan.”
Leony hanya mengangguk, bingung harus menanggapi apa.
“Leony sendiri, sampai mana skripsinya?” gantian Kama yang bertanya. Meski pertemuan mereka tidak sesuai dengan tujuan awal, tapi dia tidak bisa menjadi laki-laki pengecut yang mengabaikan perempuan bukan.
“Sudah bab empat Mas, tapi dosennya sulit di temui jadi belum bisa maju sidang.” Jawab Leony lagi.
“Ahh tidak lama itu, lulus. Habis lulus rencana mau kemana?”
“Kerja Mas.”
“Iya kerja, masa mau langsung menikah. Kerja dulu setidaknya satu tahun.”
“Belum menikah Mas, saya masih muda.”
“Iya betul masih muda jangan buru-buru menikah, saya saja belum rencana menikah dalam waktu dekat. Masih senang menikmati kesendirian saya,” kekeh Kama lagi. Seratus persen bohong yang dia katakan. Semata-mata hanya untuk menyelamatkan harga dirinya di hadapan Leony.
“Iya Mas, memang begitu rencana saya juga.”
Obrolan ringan mereka berlanjut hingga beberapa saat. Merasa sudah cukup berbasa-basinya, Kama mulai menyimpan kembali barang-barang yang dia bawa. Seperti rokok, korek, ponsel dan kunci motornya.
Melihat hal tersebut, Leony langsung buru-buru menahan Kama yang sudah ingin pergi membayar.
“Mas Kama, tunggu dulu.” Ucap Leony.
Kama pun menghentikan kegiatannya dan menatap serius pada Leony.
“Maaf ya Mas Kama, tujuan awal Bude Sri mengenalkan kita berharap mungkin kita cocok. Tapi mohon maaf, jangan tersinggung menurut saya kita tidak cocok. Usia kita terlalu jauh, kita bisa berteman tapi kalau untuk saling mengenal lebih jauh maaf sekali lagi saya tidak bisa.” Ucap Leony dengan langsung. Tidak mau membuat sebuah harapan di antara mereka.
Merasa jika laki-laki di hadapannya sudah tidak dalam usia bermain-main lagi.
“Saya mengerti dan kamu tidak perlu meminta maaf.” Jawab Kama dengan lapangnya.
***
Sampai di rumah, Kama langsung di sambut oleh ibunya. Belum masuk kedalam rumah, baru saja kakinya menginjakkan teras namun ibunya sudah menodongnya dengan pertanyaan.
“Gimana Le?” tanya Sri langsung.
“Skip Bu,” hanya itu yang di katakan Kama. Dan Sri sudah tau jika lagi-lagi gadis yang dia kenalkan pada putranya tidak memiliki harapan.
“Kenapa?” tanya Sri lagi.
“Dia masih mahasiswa Bu, usianya berapa. Baru 21, jelas tidak mau sama aku. Katanya ketuaan.”
Bukan sekali dua kali Kama di tolak perempuan dengan alasan ketuaan. Entah perempuan usia berapa yang harus dia temui agar tidak menolaknya karena alasan terlalu tua.
Atau perempuan sekarang lebih suka laki-laki yang lebih muda daripada yang berusia matang sepertinya.
“Yasudah kalau gagal, masih ada satu lagi. Anaknya Bude Wati, besok kamu temui dia. Nanti Ibu buatkan janji.” Ucap Sri lagi dengan semangatnya.
“Mbok sudah to Bu, yang ini juga pasti tidak berhasil. Apa …” belum sempat Kama menyelesaikan ucapannya sudah di potong lebih dulu oleh Sri.
“Kamu ini bagaimana to Le, katanya mau menikah kok ketemu perempuan malas seperti itu.”
“Capek Bu, kalau di tolak terus.”
Jujur saja, Kama juga manusia biasa yang punya perasaan capek dan muak dengan penolakan.
“Ya namanya usaha.”
“Atau tunggu saja jodoh dari tuhan datang Bu, Kama di ciptakan tuhan masa tuhan tidak ciptakan jodohnya sekalian.” Ucap Kama lagi dengan pasrahnya.
Fikirannya benar-benar labil, kadang tiba-tiba dia semangat untuk mencari calon istri kadang sedetik kemudian dia akan kembali pada mode pasrahnya.
Sebenarnya bukan karena apa, tapi mentalnya yang merasa lelah. Lelah di tolak, lelah mencari alasan untuk menyelamatkan harga dirinya dan lelah harus berbasa-basi dengan orang baru.
“Ya betul kalau jodoh itu sudah di atur tuhan, tapi kan sebagai manusia kita itu di wajibkan usaha Le. Jodoh itu di jemput, kalau di tunggu bagaimana ketemunya. Semangat masa baru begitu sudah hilang semangat. Anak Ibu tidak seperti ini biasanya.” Ucap Sri menyemangati putra semata wayangnya ini.
Kama hanya mengangguk dengan pelan. Baiklah, dia akan kembali lagi semangat untuk menemukan calon istri. Awas saja nanti kalau sudah ketemu, siapapun gadis yang di takdirkan tuhan untuknya akan dia omeli habis-habiskan. Sembunyi dimana sebenarnya dia, kenapa susah sekali di temukan. Apa dia tidak tau kurang dari 4 tahun lagi usianya akan menginjak 40 tahun. Kenapa tidak segera muncul kalau sudah lahir kedunia. Tapi tidak mungkin kan kalau jodohnya belum lahir, demi tuhan dia tidak ingin menikahi anak-anak nantinya. Tuhannn tolong, batin Kama berteriak.
***