SELAMAT MEMBACA
***
Kama pulang kerumah dan melihat Ibunya yang sedang melipat baju di ruang tengah.
"Bagaimana Le?" Tanya Sri saat melihat putranya pulang.
"Bagaimana apanya Bu?" Tanya Kama sedikit kurang faham dengan maksud ibunya. Apa yang di tanyakan oleh ibunya sebenarnya.
"Sarah, bagaimana anaknya maksud Ibu?" Ternyata Sri memperjelas pertanyaannya. Dia menanyakan perihal Sarah anak tetangganya yang dia kenalkan pada putranya itu.
"Ya tidak bagaimana-bagaimana. Jalani dulu to Bu," jawab Kama santai.
Baru tiga hari mengenal, Kama belum berani menyimpulkan lebih. Sejauh ini, masih baik-baik saja.
"Cocok kamunya?" Tanya Sri lagi.
"Ya lumayan lah Bu. Sejauh ini masih oke," jawab Kama. Tidak berani memberi tanggapan lebih, intinya jalani dulu kita lihat seiring berjalannya waktu.
"Lha suka opo ndak kamunya?" Tanya Sri lagi. Sepertinya Sri belum cukup puas dengan jawaban putranya itu.
"Ya kalau suka ya belum Bu, orang baru ketemu. Tapi sejauh ini, tidak ada alasan buat tidak suka. Masih biasa saja pokoknya."
"Pie to Le, kok Ibu lihat kamu kaya iya iya ndak ndak begitu." Keluh Sri lagi. Dia tidak melihat semangat di wajah putranya namun juga tidak sedih.
Kama terkekeh dengan jawaban ibunya. Dia juga bingung harus menjawab apa agar ibunya puas. Dia hanya mengatakan yang sebenarnya.
Hubungan mereka baru jalan tiga hari, komunikasi mereka juga hanya sebatas bertanya sedang apa melalui ponsel. Lalu ibunya itu berharap apa.
"Pie to Mas, mbok ojo gawe Bude penasaran. Nek iyo-iyo nek ora-ora." (Gimana sih Mas, coba jangan bikin Bude penasaran. Kalau iya ya iya kalau tidak ya tidak)
“Lha kepiye lo, wong agi mlaku telung dino. Takon ki yo engko nek wes entuk sesasi, lha nek saiki you rung genah.” (Lha gimana, orang baru jalan tiga hari. Tanya itu nanti kalau sudah dapat sebulan. Kalau tanya sekarang ya belum tau) ucap Kama lagi menjelaskan. Berharap keluarganya sabar dan mendoakan yang terbaik saja.
Sari dan Sri kompak terkekeh, apalagi melihat wajah kesal Kama. Apa mereka terlalu mendesak.
“Mas Kama kapan ke Jogja lagi?” Sari mengalihkan pembicaraan tidak mau membuat kakak sepupunya itu merasa semakin kesal.
“Nanti malam, kenapa? Mau ikut?”
Sari langsung menggeleng.
“Naik apa ke Jogja nya?” tanya Sari lagi.
“Kok sudah mau kesana lagi to Le, orang baru pulang kok. Mbok ya seminggu-seminggu lagi.” Cegah Sri, karena putranya itu baru pulang empat hari dan sudah ingin pergi lagi.
“Bu Marni telpon pagi tadi Bu, katanya semalam hujan deras. Kanopi di belakang kos tempat jemuran rusak. Mau cek, apa perlu di ganti. Soalnya kanopinya sudah sering rusak, kalau ada angin suka terbang-terbang. Kayanya mau tak ganti sekalian sama bahan yang lebih bagus lagi.” Jawab Kama pada Sri.
Sri pun tidak lagi protes, dia hanya mengangguk saja. Membiarkan putranya yang memang memiliki urusan itu pergi.
“Ke Jogja nya Mas Kama naik apa?” Sari kembali bertanya karena pertanyaannya tadi belum di jawab oleh Kama.
“Motor, apa lagi.” Jawab Kama.
“Mbok bawa mobil aja, itu mobil dongkrok di garasi buat apa?” Tanya Sari lagi. Kakak sepupunya itu sebenarnya punya mobil. Tapi bentuknya hampir tak terlihat seperti mobil lagi. Penuh debu karena jarang di pakai. Hanya sesekali kalau ada orang pinjam selebihnya menjadi penghuni tetap garasi.
“Kenapa memangnya, kok kamu yang ngatur-ngatur.” Ucap Kama.
Dia memang punya mobil, tapi tidak suka bawa mobil. Menurutnya tidak praktis dan lagi jalanan di desa sempit tidak leluasa jika membawa mobil kemana-mana. Lebih enak bawa motor.
Lagian dia juga beli mobil bukan karena suka naik mobil dulu, semata-mata hanya untuk membungkan mulut-mulut julid tetangganya.
“Punya mobil buat apa kalau tidak pernah di pakai,” keluh Sari.
“Buat pajangan sama pamer kalau tetangga kesini.” Jawab Kama asal.
“Pakai mobil saja, motornya pinjamkan dulu sama Sari,” ucap Sri pada Kama. Sari langsung mengangguk dengan wajah memelasnya.
“Memangnya motormu sendiri kemana?”
“Masuk bengkel tadi Mas, katanya parah. Turun mesin, semingguan katanya.” Jawab Sari.
“Sukurin, makanya motor itu di rawat. Jangan asal di isi bensin sudah cukup.” Ucap Kama pada Sari.
Sari mencibir sikap menyebalkan sepupunya itu.
“Pantas tidak dapat istri, orang bicaramu saja menyebalkan begitu Mas.” Keluh Sari.
Kama langsung melotot pada Sari, tangannya di acungkan pada Sari. Kode agar gadis itu tidak mengulangi kata-katanya kalau tidak mau dia balas dengan sesuatu yang akan dia sesali nantinya.
“Bude, Mas Kama itu Bude.” Sari langsung mengadu pada Sri.
“Sudah jangan bertengkar. Kalian ini sudah tua, tidak malu kalau ketemu bertengkar terus. Sudah Le, pinjamkan motormu sama Sari, kamu bawa mobil nanti perginya.”
“Yo wes lah,” (Yasudah) jawab Kama dengan pasrah.
***
Kama terbangun ketika mendengar suara hujan yang begitu lebatnya. Melirik jam di dinding ternyata waktu menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit. Subuh masih lama. Namun, Kama tetap bangun, dia ingin sholat tahajud. Sudah bangun, sekalian saja sholat pikirnya.
Setelah sholat, Kama mendengar jika Hujan semakin deras. Dia memikirkan nasib halaman belakang kos miliknya yang kanopinya rusak. Pasti besok akan banjir semua.
Masih menggunakan baju koko dan sarungnya, Kama keluar dari rumah. Niatnya ingin mengecek kondisi belakang kosnya.
Kama meraih payung di belakang pintu. Baru saja kakinya menginjak teras, dia melihat seorang perempuan yang berdiri di depan gerbang tanpa payung di bawah guyuran hujan sederas ini.
Kama melihat siapa itu, dan jika di perhatikan sepertinya perempuan itu ingin masuk kedalam namun tak kunjung menemukan kunci gerbang di dalam tasnya.
Kama meraih satu payung lagi di belakang pintu.
Dia berjalan dengan cepat kearah gerbang.
"Mau masuk Mbak?" Tanya Kama saat sampai di depan perempuan itu. Perempuan itupun menoleh yang ternyata adalah Kila. Salah satu anak kosnya.
"Iya Pak, tapi kunci saya sepertinya ketinggalan di kamar." Ucap Kila dengan setengah berteriak. Karena derasnya hujan membuat suaranya tenggelam oleh suara hujan.
"Pakai payung dulu Mbak, saya bukakan gerbangnya." Ucap Kama sambil menyerahkan payung yang dia bawa melalui celah-celah pagar.
Kila pun menerima payung pemberian Kama, meski sebenarnya sia-sia saja. Tubuhnya sudah basah kuyup.
Kama langsung kembali kedalam rumah dan mencari kunci gerbangnya. Tak lama, Kama kembali dan membukakan gerbang untuk Kila.
"Terimakasih ya Pak Kama, maaf merepotkan." Ucap Kila pada Kama saat berhasil masuk kedalam kos.
"Sama-sama Mbak, cepat ganti baju nanti sakit. Hujannya deras." Ucap Kama pada Kila.
Setelah mengucapkan terimakasih sekali lagi, Kila langsung berlari kekamarnya.
Meninggalkan Kama yang masih mengamati kepergian gadis itu.
"Kok makin malam perasaan anak itu pulangnya," guman Kama pelan.
Dia membatalkan niatnya untuk mengecek halaman belakang karena hujan yang begitu deras membuatnya pakaiannya sedikit basah.
***
Pagi harinya, ketika Kama ingin pergi menemui tukang untuk memperbaiki halaman belakang dia melihat Bu Marni dan Ema berdiri di depan kamar Kila.
Mereka mengetuk-ngetuk kamar Kila dengan keras. Membuat Kama merasa heran dengan kegaduhan yang mereka lakukan pagi-pagi seperti ini. Kama pun menghampiri keduanya.
"Kenapa Bu?" Tanya Kama pada Bu Marni.
"Ini Pak, bangunin Mbak Kila kok tidak bangun-bangun ya." Ucap Bu Marni.
Kama merasa heran, melirik jam di pergelangan tangannya. Hampir jam tujuh, bukankah artinya gadis itu sudah pergi kerja.
"Sudah berangkat mungkin," ucap Kama lagi.
"Belum Pak, biasanya kalau sudah berangkat lampunya di matikan. Ini masih menyala." Jawab Ema dengan nada yang sedikit cemas. Jujur saja, Ema menghawatirkan Kila yang tidak biasanya seperti ini.
"Mungkin masih tidur. Orang semalam jam tiga itu baru pulang kok." Jawab Kama lagi.
"Iya makanya Pak, ini kami bangunkan. Memangnya tidak kerja." Ucap Ema lagi.
Kama yang merasa penasaran pun mencoba mengetuk kamar Kila. Namun, hingga beberapa kali, Kama tidak mendapatkan jawaban sedikitpun.
"Kalian intip ada tidak di dalam, nanti sudah berangkat lagi." Ucap Kama, sebenarnya bisa saja dia langsung mengintip. Tapikan tidak etis rasanya, itu kamar seorang gadis dan dia laki-laki.
Bu Marni dan Ema pun mencari celah untuk mengintip. Namun, gorden tertutup rapat tidak bisa melihat sama sekali. Lewat lubang kunci di pintu pun tidak terlihat.
Ema berinisiatif mengambil kursi di kamarnya dan mengintip melalui ventilasi pintu yang terbuka.
"Ada kok di dalam Mbak Kila nya," ucap Ema saat melihat Kila berada dibatas ranjang.
"Mbakkkkk, kerja tidak. Oooooiiiiiiii sudah siang ini." Teriak Ema dari ventilasi.
Namun lagi-lagi Kila tidak menjawab.
Kama yang melihat hal tersebut, mulai merasa ada yang tidak beres dengan salah satu anak kosnya itu. Dia tidur atau mati kenapa tidak bangun-bangun padahal di depan kamar kosnya terjadi kegaduhan seperti ini.
“Kalau kamar ini saya dobrak, nanti kalian saksinya ya kalau saya tidak ngapa-ngapain, saya takut Mbak Kila kenapa-napa.” Ucap Kama pada Bu Marni dan Ema. Keduanya pun kompak mengangguk.
“Iya Pak, dobrak saja.” Ucap Ema langsung.
Kama langsung mengambil ancang-ancang dan langsung menendang pintu kamar Kila dengan keras.
Bahkan ketika pintu kamarnya di buka dengan paksa, gadis itu tetap tidak bangun bahkan sedikitpun tidak bergerak.
“Mbak Kila.”
***