5

2007 Kata
Helikopter mendarat sempurna di atas helipad yang terletak sekitar lima ratus meter dari bandara lokal. Saat mata Valerie menelusuri helipad yang kecil dan beberapa orang bersetelan sama dengan Bobby sedang istirahat di tempat. Tampak besar dan berotot. Mereka juga memakai kacamata hitam untuk mengurangi radiasi sinar matahari. Saat dia turun, tangannya dipegang lembut oleh Bobby. Asisten satu itu cukup cekatan dan sigap. Valerie bisa menilai Bobby mengawasinya tanpa lelah. Seakan-akan Valerie memiliki sayap dan dia bisa terbang dari helikopter besar ini kalau ia mau. "Apa kita sudah ada di Andera?" Valerie berucap konyol dengan melontarkan sarkasme itu terang-terangan. Dia tidak bodoh walau kehidupannya jauh dari kota. Pemandangan yang kerap ia tonton melalui televisi membawanya pada dunia baru yang belum pernah dirinya jelajahi. Bobby mengerutkan alis. Melepas pegangan tangannya saat dirasa Valerie bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Sepanjang perjalanan, Sang Putri sama sekali tidak terlihat takut atau cemas. Benar-benar luar biasa untuk ukuran bangsawan yang tenggelam dalam adat rakyat jelata. "Kau punya ponsel?" Bobby terpaku sebentar. "Untuk apa, Putri?" "Paman Raito memiliki ponsel murah. Dia pantas mendapat kabar dariku. Alih-alih aku menulis surat konyol seperti era delapan puluhan," balas Valerie ketus dan Bobby menurut tanpa lagi bertanya. "Mari, Yang Mulia." Seseorang mengantarkannya pada limusin hitam yang terparkir di luar bandara. Valerie duduk di belakang kursi kemudi. Bobby memberikan ponselnya, namun dengan panggilan terhubung pada Clarius. "Bobby!" Clarius terhenyak, lalu membungkuk malu. "Yang Mulia," sapanya malu. "Hai, Clarius. Bisa aku bicara dengan paman dan bibiku?" "Tentu. Tentu. Sebentar." Panggilan video call ini cukup membantu. Valerie tidak punya ponsel bagus selama tinggal di peternakan. Dia bahkan ingat jika memiliki ponsel dan hanya mengisi baterai setiap dua minggu sekali. Tidak berguna memiliki ponsel karena dia terasingkan dari dunia luar. "Valerie?" "Baru satu jam pergi, aku sudah rindu. Bagaimana prospek manis Clarius?" Paman Raito memberinya senyum lebar. "Jangan cemaskan apa pun. Clarius pria berbakat dengan banyak potensial memimpin manajemen keuangan dan membeli barang-barang bagus. Valerie, kalau peternakan ini maju dan ladang banyak menghasilkan, aku dan bibimu akan mengirimkan uang." Valerie sangat ingin menangis sekarang. "Aku rasa itu tidak perlu. Sekarang aku berpikir untuk mencuri semua warisan Ardissia dan memberikannya untuk kalian. Pendam semua emas dan barang itu di tanah. Aku rasa saat keadaan mencekik, kita bisa menjadi kaya raya dan juragan paling disegani di desa. Aku akan menantinya dengan sabar." Paman Raito tertawa. Sampai-sampai Clarius yang duduk ikut tersenyum. Ketika kamera tidak sengaja meliput dirinya dan Bibi Ame yang sibuk mengurus dapur kayunya. "Valerie, jaga dirimu baik-baik. Tempat ini selalu terbuka untuk anakku. Kami akan merindukanmu. Omong-omong, Loki menjadi pendiam karena kau pergi. Domba-domba sedang mencari perhatian dan merasa iba." Perasaan Valerie menghangat. Ia bahkan melempar cium jauh ketika Paman Raito memberikan ponselnya pada Clarius. "Aku harap kalian bisa bekerja sama dengan baik. Aku tidak biasanya mudah percaya pada orang lain. Tapi kau terlihat baik dan cukup berkompeten. Semoga kau bisa memberikan kemampuan yang sebenarnya bagi ladang pamanku." "Tentu saja, Yang Mulia. Semoga perjalanan Anda lancar." "Terima kasih." Sambungan telepon terputus. Senyap membentang sampai limusin berbelok ke arah hotel berbintang lima yang ada di Jepang. Gedung pencakar langit dengan kesan cokelat tua mencolok memikat mata Valerie dalam diam. "Ini ponselnya. Terima kasih." "Sama-sama, Putri." Limusin benar-benar berhenti tepat di depan pintu kaca lobi. Ada sekitar empat orang berbadan besar berdiri di undakan anak tangga kedua. Valerie berpikir dia seperti tawanan, dan bukan calon ratu. Paman Raito benar, dia seperti dipenjara. Bobby mengekori di belakang. Saat pintu kaca otomatis terbuka, Valerie dilayani oleh salah satu kepala staf hotel yang berbaik hati memberinya jalan untuk menumpangi lift yang kosong. "Selamat siang, Putri. Senang melihat Anda tiba." Valerie hanya mendesah dalam diam. Dia melirik jengkel pada penampilan rapi gadis, saat di sisi lain dia tampil seperti gelandangan yang dipungut pangeran tampan buta karena berpikir bahwa dirinya pantas menjadi istri dan calon ratu. "Bisa aku tahu berapa lama waktu kau butuhkan untuk menyanggul rambutmu sampai sesempurna itu?" Sang gadis tersekat. Saat Bobby menatap datar dengan pertanyaan spontan yang tidak ia duga sebelumnya. "Satu jam, Yang Mulia. Ini menyulitkan karena harus menyemprot hair spray berulang kali." "Ah, tampil sempurna. Tidak bisakah kau menggerai dan menjadikannya ciri khasmu sendiri?" Si gadis tampak terpukau. Matanya yang terpana tidak bisa berbohong. "Aku sedang mencoba. Tapi pihak atasan membuat peraturannya sendiri." "Aku paham sekarang. Peraturan." Bobby hanya diam. Ia bertindak sebagai penyimak yang baik. Kala sang kepala staf mengantarkan mereka sampai ke salah satu lantai presiden suite terbaik, dan Valerie merasa dirinya terkesima, hampir tersandung sepatunya sendiri. "Seseorang telah menunggu Anda, Yang Mulia." Pintu terdorong masuk. Valerie mengintip dan menemukan seorang wanita duduk dengan majalah fashion di tangan. Nampak jelas karena lekuk pinggul dan rambut yang berkibar seperti singa bangun tidur terlihat jelas. "Ini Andelia. Beliau penata rias terbaik berdarah Jepang-Polandia. Hari ini, Anda akan bersamanya sebelum perjalanan menuju Andera." Valerie menarik napas. Saat Andelia bangun, membungkuk dengan senyum ke arahnya. Penata rias itu bahkan berdandan lebih baik darinya. "Kapan kita pergi?" "Mungkin besok pagi, Yang Mulia. Pesawat pribadi telah dipersiapkan. Kami hanya menunggu perintah dari Pangeran Liam." Bobby meninggalkannya sendiri. Saat pintu tertutup, Valerie mendekati Andelia yang tersenyum ramah dan tampak bersahabat. "Putri, salam kenal. Aku, Andelia." "Valerie." "Putri Valerie, senang—," "Valerie." Valerie belum mau melepas jabatan tangan mereka saat Andelia menahan napas dan cukup terkejut. "Putri Valerie, maksudku—," "Valerie. V-a-l-e-r-i-e," Valerie mengeja namanya sendiri dengan tenang, tanpa ekspresi berarti dan memberi senyum tipis. Andelia lagi-lagi hanya bisa mengangguk. Ia menarik kursi untuk Valerie duduk, memainkan rambut panjangnya yang berkilau dan tersenyum. "Rambut Anda luar biasa." "Serius? Tidak ada aroma sapi atau bau kotoran domba?" Andelia sama sekali tidak mengerti saat Valerie mendengus, memainkan tangannya di atas pangkuan dengan senyum. "Lupakan saja. Aku yakin kaum-kaum kelas atas tidak tahu rasanya mengurus domba dan memerah s**u sapi." *** Ini bukan mimpi. Yang dilihat matanya dari pantulan kaca di hadapannya adalah dirinya sendiri. Dirinya yang bertransformasi dari gadis penggembala menjadi calon ratu di masa depan. Andelia dengan cekatan merubah penampilannya menjadi seorang putri sungguhan. Tidak banyak aksesoris yang melekat di tubuhnya selain anting berhiaskan perak murni dan kalung cantik berlambangkan Andera yang mencolok. Yaitu dua pedang menyilang. Gaun selutut berwarna pastel membuat penampilannya bertambah sempurna seratus kali lipat. Valerie membuang napasnya, merasakan sentuhan Andelia pada rambutnya dan tersenyum saat mata mereka bertemu di kaca. "Bagaimana? Aku menyukai pekerjaanku merubah penampilanmu, Valerie." Andelia terlalu ramah dan pandai bergaul. Valerie menghela napas, menyentuh pipinya sendiri dan berujung menamparnya. Yang membuat Andelia panik karena kelakuan perempuan satu itu membuat bekas kemerahan tercetak samar. "Kau terlalu murah hati dan—," Valerie bangun untuk mencoba sepatu dengan hak untuk kali pertama. "—berlebihan." Andelia tertawa ramah. Saat dia membantu Valerie untuk berdiri lebih tegak. Merasa kurang nyaman memakai sepatu baru yang membuatnya kesulitan berjalan. Dan dengan santai, Andelia mencarikan alternatif sepatu lain yang membuat Valerie menghela napas lega. Setidaknya sepatu berlapiskan alas karet ini cukup nyaman dan tidak akan membuatnya tergelincir. Pintu terketuk dua kali. Bobby masuk dan membungkuk pada keduanya. "Makan malam sudah siap. Nona Andelia, Anda bisa turun untuk makan malam." "Terima kasih, Bobby." Pintu kembali tertutup. Valerie menarik napas, memandang Andelia yang membereskan sisa pakaian dan peralatan make-up di atas meja rias. Valerie dengan senang hati membantu, dan Andelia merasa gelisah. Ia memegang tangan Sang Putri untuk tidak membantunya. "Kenapa? Aku akan membantumu. Kau harus cepat turun dan makan malam," kata Valerie santai, melepas pegangan tangan Andelia yang tercengang. "Kau tidak bisa lakukan ini." "Aku bisa melakukannya. Terlebih kau tidak punya asisten pribadi," balas Valerie. "Asisten pribadiku cuti melahirkan. Dia akan kembali bulan depan." Valerie diam, memberikan sisa peralatan make-up pada Andelia yang sibuk melipat gaun. "Ah, aku mengerti." Setelah Andelia membereskan barangnya, mereka bersamaan pergi dari ruangan dan berbincang sebentar. Valerie dengan ramah bertanya tentang apartemen murah yang Andelia tempati sebagai bentuk surga dan istana kecilnya, ia merasa tertarik. Karena potret seorang penata rias sempurna hidup dalam kesederhanaan yang mencolok. "Salam, Yang Mulia." Andelia membungkuk ramah saat ia menemukan siapa yang baru saja berjalan dari belokan lorong sebelah barat. Ketika Valerie menarik napas, sama sekali tidak ingin berbalik karena tiba-tiba merasa malu. Liam mengangkat alis. Memiringkan sedikit kepala untuk mengamati sosok yang masih berdiri memunggungi. Seketika dia mendengus, bicara pada Andelia dengan isyarat mata dan meminta agar penata rias kepercayaannya untuk mengikuti Bobby turun melalui lift lain. Valerie bisa mendengar langkah samar dari sepatu Liam yang teredam karpet tebal. Saat dia menarik napas, dihantam perasaan malu dan jengkel luar biasa. Bagaimana bisa dia harus tampil secantik ini di depan pangeran abnormal macam Liam? Ekspresi Sang Pangeran benar-benar luar biasa. Valerie ingin tertawa karena tampang datar itu seakan tidak terpengaruh atau merasa takjub dengan penampilan barunya. Valerie baru saja bertransformasi dari upik abu ke princess. Liam harus kayang karena dirinya tampil cantik sekarang. Menertawakan isi kepalanya yang konyol, Liam lebih tertarik saat Valerie senyum tanpa diduga. "Kenapa kau tertawa?" "Karenamu." "Kenapa?" Valerie mengendik pada Sang Pangeran yang memakai setelan khas kerajaan dengan tampang lucu. "Aku pikir kau siap terjun ke medan perang. Pakaianmu terlalu formal. Ini di hotel, bukan di kawasan penuh ranjau dan misil dadakan dari langit," kata Valerie santai, berlalu untuk membawanya dirinya pergi mencari lift yang kosong. Liam mengernyit dengan raut dingin. Saat dia berbalik, menatap pada gadis aneh yang berjalan melenggang mencari lift kosong. Setelah itu, ia mendengus keras. Mendengar ada langkah lain dan Valerie yang berjalan mundur dengan ekspresi berpura-pura acuh. "Aku salah jalan." Sang Pangeran menahan tangannya dengan kepala miring, bermaksud menggoda dengan cara nakal yang membuat Valerie berpaling. Membalas mata itu dengan sorot tanpa selera. "Kau kenapa?" "Aku ingin menertawakanmu," kata Liam santai. "Untuk?" Pria itu berjalan dengan tangan menarik lengannya untuk ikut. Dua lift lain yang ada di setiap lorong terletak di arah yang berlawanan. Bagaimana Valerie bisa lupa? Bodoh. "Kita satu sama." Valerie ingin memukul kepala pria itu dengan sepatunya. Saat Liam mundur, menekan lantai tempat mereka akan makan malam. "Oh. Aku baru tahu kalau restauran ada di lantai lima." Liam hanya diam. Bola matanya yang pekat mengamati Valerie dari atas sampai bawah. Rambut berantakan gadis itu, kini sepenuhnya berubah. Andelia benar-benar merombak calon ratu dengan dandanan sebenarnya. Kalau Valerie berpenampilan sempurna seperti ini, rakyat Andera akan menerimanya dengan suka cita. Rakyatnya mencintai harga diri dan penampilan. Liam tidak mungkin membawa gadis penggembala domba dengan boot berbau kotoran sapi dan masker lumpur ke negaranya. Lift berhenti di lantai lima. Saat pintu terbuka, Valerie menjadi patung untuk menunggu Sang Pangeran membawa dirinya pergi dari dalam. Tapi yang Liam lakukan malah membuatnya jengkel. Pria itu membawanya untuk masuk ke dalam lorong. Membiarkan lift kembali menutup dan pergi. "Kenapa kau membawaku? Kau takut kalau ada hantu di sekitar sini?" Liam mendesis. "Jaga mulutmu." "Aku sedang kesal. Sebelum kesabaranku habis, cepat lakukan sesuatu." Gadis itu balas melempar cemoohan yang membuat Liam mengangkat alis. Perempuan sebelumnya yang bersamanya tidak pernah bertingkah tidak sabaran seperti ini. "Kamarmu di depan. Kita akan pergi pukul lima pagi. Tunggu aku di sini." "Kamar itu pakai kata sandi?" "Ya. Hari ulang tahunmu," balas Liam, menekan kata sandi miliknya sendiri dan masuk. Membiarkan Valerie sendiri di lorong yang sepi dan meratapi nasib. Oh. Dia tidak terkejut dengan kekuasaan pria itu sampai-sampai tahu hari kesaktiannya. Valerie tidak pernah membocorkan data pribadi ke dunia luar. Tapi bagaimana bisa Liam tahu? Tidak ada yang mustahil bagi seorang raja. Jadi selama Liam di dalam, dirinya pun masuk ke kamarnya sendiri. Berniat untuk tur kamar dan beristirahat barang sebentar. Sebelum dirinya melompat dan melihat ke lemari pakaian besar. Senyum Valerie merekah manis. Ia mencintai kamar dan isinya. Saat ia terburu-buru membuka pakaiannya, mengganti gaun cantik yang pastinya berharga mahal ini dengan pakaian baru. Liam keluar lebih dulu. Mengganti seragam kerajaan dengan setelan formal yang santai. Malam ini dia menjadi seorang pria, bukan pangeran atau siapa pun. Saat ia mendengar tarikan pintu lain, alisnya mengernyit dalam. Matanya bersirobok dengan mata berbinar Valerie yang bercahaya dan tampak ceria di malam hari. Saat tatapan Liam turun, menemukan gadis itu memakai piyama tidur yang hampir membuatnya memelotot. Di saat dirinya berganti pakaian agar pantas bersanding dengan calon istrinya, mengapa Valerie malah mengganti gaunnya dengan piyama dan bersiap tidur!?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN