2. Kegilaan Anya

1066 Kata
Sepanjang jam mata kuliah berlangsung di kampus, Anya memikirkan banyak hal. Salah satu yang Anya pikirkan adalah ultimatum Abi saat sarapan tadi. Entah kenapa Papinya itu tiba-tiba saja memberikan ancaman mengerikan seperti itu. Anya terganggu dengan ucapan Abi. Apalagi saat Abi mengatakan untuk menikah. Amit-amit. Anya bahkan tidak pernah memikirkan hal sejauh itu tentang hubungannya dengan lelaki manapun. "Oi!" Anya tersentak kaget saat seseorang menepuk pundaknya. Perempuan itu mengerjap lalu menoleh dengan melotot. Sani, salah satu sahabatnya yang menjadi pelaku langsung meringis. "Ratu Zevanya." Anya yang hendak menyembur Sani dengan kata-kata pedasnya seketika mengatupkan lagi bibirnya saat suara bariton dari depan kelas terdengar memanggilnya. Sial. Anya lupa kalau dirinya masih di dalam kelas. "b*****t!" desis Anya pelan membuat Sani yang mendengarnya menggigit bibir agar tidak terbahak. "Ya, Pak?" Anya mencoba untuk mengabaikan tatapan manusia di sekelilingnya. "Ke ruangan saya sekarang." Titah yang tidak bisa Anya abaikan. Anya menggeram kesal sambil mengepalkan tangannya saat sang dosen sudah berlalu keluar kelas. Sani langsung terbahak kerasa dengan tangan yang berulang kali memukul meja kecil di depannya. "Diem lo!" sungut Anya lalu berdiri setelah meraih tas mahalnya. Sani menggeleng saat sahabatnya itu sudah berjalan menuju pintu kelas. "Gue tunggu di kantin!" teriak Sani dan dibalas acungan jari tengah oleh Anya. "Mau apa sih tuh dosen?" Anya bersungut-sungut sambil memasuki lift menuju lantai 5 di mana ruangan Pak Edward berada. Selama berkuliah di sini, Anya sudah sering masuk ke ruangan dosen satu itu. Setiap kali Pak dosen tampan incaran mahasiswi itu mengajar di kelas yang Anya pilih, pasti berakhir dengan perempuan itu yang dipanggil ke ruangannya. Alasannya simpel. Hanya karena Anya melamun dan tidak menghiraukan teguran si dosen tampan. Anya tiba di depan ruangan Edward lalu mengetuk pintu. Saat sahutan 'masuk' dari dalam terdengar, barulah Anya membuka pintu. Anya langsung duduk di sofa tanpa dipersilakan. Edward yang semula sedang memeriksa beberapa halaman skripsi mahasiswa di atas mejanya langsung beranjak meninggalkan kegiatannya. Pria itu ikut bergabung bersama Anya di sofa. "Zevanya, kamu tahu kesalahan apa yang kamu lakukan sehingga kamu masuk ke sini lagi?" Anya mengangkat bahu acuh sambil memainkan jari lentiknya membentuk pola abstrak di atas paha mulus yang terekspos saat perempuan itu duduk. Edward menghembuskan napas berat. Menghadapi mahasiswinya yang satu ini memang agak susah. Tapi bukan berarti pria itu menyerah. Anya adalah salah satu mahasiswi berpengaruh di kampus. Orangtuanya adalah donatur terbesar dan memiliki beberapa rumah sakit di kota ini. "Zavanya, kamu mendengarkan saya?" Edward menatap lelah pada Anya. Pria itu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa lalu melonggarkan dasinya. Menghadapi Anya membuat Edward terasa dicekik. "Pak Raja sering menghubungi saya untuk menanyakan kemajuan kamu di kampus. Apakah kamu akan lulus secepatnya atau tidak. Kamu tahu saya...." "Bapak terganggu. Ya, saya tahu. Tenang saja. Saya akan mengambil mata kuliah yang sama dengan dosen berbeda. Jadi bapak tidak perlu berhadapan dengan saya lagi. Dan kalau perlu, saya juga akan mengganti dosen pembimbing akademik saya. Jadi, tidak ada alasan apapun lagi bagi Papi saya untuk menghubungi bapak. Permisi." Anya berbicara tanpa menatap wajah lawan jenisnya. Perempuan itu berdiri dengan angkuh dan mencebikkan bibir lalu siap melangkah. Edward mengepalkan tangannya dan tanpa diduga oleh Anya, pria itu menarik tangan Anya sehingga tubuh perempuan itu tersentak lalu jatuh ke atas pangkuan Edward. Anya membulatkan mata karena syok. Perempuan itu bahkan sampai menahan napas karena wajahnya dan wajah si dosen tampan sangat dekat sekali. "Apakah penolakan saya Minggu lalu membuat kamu sakit hati, Ratu Zevanya?" Untuk beberapa saat, Anya hanya bisa terpekur menatapi wajah tampan di depannya. Mata Anya memindai setiap lekuk sempurna ciptaan Tuhan ini. Sebelah telapak tangan Anya yang bebas langsung mengarah ke rahang tegas nan sempurna. Anya berdecak kagum di dalam hati. Selama ini, pria tampan yang ia kagumi hanyalah Abi. Selain itu, belum ada yang ia lirik sebagai lawan jenis yang tampan. Berbeda dengan Taqi. Kembarannya itu tidak tampan sama sekali di mata Anya meskipun pada kenyataannya memang tampan dan digilai kaum hawa. Sejak pertama melihat Edward di kelas yang Anya pilih, perempuan itu langsung tertarik. Sangat klasik, karena Anya jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi sayangnya dosen tampan ini tidak pernah meliriknya sama sekali. Lalu saat Anya memikirkan banyak cara gila agar bisa dekat dengan pria di depannya ini, Tuhan seolah memudahkan tujuannya. Dosen pembimbing akademik Anya pindah tugas dan Anya dialihkan kepada Edward. Jangan tanya seberapa senangnya Anya kala mengetahui hal tersebut. Tapi, Anya tidak tahu kalau pria itu sangatlah susah digoda. "Jawab, Zevanya." Anya tersenyum tipis lalu memajukan wajahnya untuk mencoba sesuatu. Edward terbelalak dibuatnya saat Anya dengan nekat menempelkan bibirnya dan bergerak pelan untuk melumat. Gila. Edward bahkan tidak mampu mendorong perempuan di atas pangkuannya. Saraf-saraf di tubuhnya mendadak tidak berfungsi sama sekali. Sedangkan Anya bersorak di dalam hati saat tahu Edward tidak menolak tindakannya. Anya semakin berani. Tangan Edward yang tadi mencengkram pergelangan tangan Anya kini mengendur dan perempuan itu mengalungkannya ke leher Edward. Anya bahkan semakin memperdalam ciumannya. Sial. Edward berteriak di dalam hati kalau ini sangat ia nikmati. Edward tidak tahu kalau perempuan agresif lebih menggoda. Apalagi ini Anya. Primadona kampus yang ia tolak seminggu yang lalu. Saat itu Edward tengah menunggu Anya seperti hari ini. Anya sudah mengulang mata kuliah yang sama sejak tahun lalu dengannya. Apalagi Edward adalah pembimbing akademik anak Abi itu. Wajar kalau Edward harus memperhatikannya seperti mahasiswa yang Edward hadapi lainnya. Tapi Minggu lalu, Edward tidak menyangka kalau Anya seberani itu untuk mengajak Edward menjalin hubungan. "Aku gak mau tahu, pokoknya kamu jadi pacarku mulai detik ini!" Anya menatap angkuh pria di depannya. Tangannya terlipat di d**a dengan dagu yang diangkat tinggi. Benar-benar sosok 'pemaksa' yang dikenal oleh orang-orang di sekitarnya. "Maaf, Zevanya, tapi saya tidak mungkin memacari kamu. Itu mustahil," ujar pria yang dipaksa Anya menjadi pacarnya. "Kenapa? Gak ada yang mustahil bagi seorang Anya!" Perempuan itu masih teguh pada keputusan gilanya. "Dengar, alasan pertama, kamu mahasiswa saya. Kedua, saya sudah bertunangan. Ketiga, saya tidak tertarik dengan gadis muda. Keempat, kamu bukan tipe saya." Edward tahu kalau saat itu Anya pasti syok. Karena setahu Edward selama mengajar di kampus ini, Anya adalah perempuan yang mendapatkan apapun yang dia mau. Jadi ketika Edward menolaknya, pria itu tahu kalau harga diri Anya pasti tersentil. "Ini..." Anya melepaskan tautan bibirnya dengan Edward lalu menatap wajah tampan di depannya dengan mata sayu. Anya perempuan normal yang tidak suci dalam urusan isi otak dan jalan pikiran. Anya bukan perempuan munafik yang menolak kenikmatan dunia. Tapi sampai detik ini, Anya belum pernah melewati batas amannya. Bisa dikubur hidup-hidup kalau dia sampai terperosok begitu jauh. "Kamu puas?" tanya Edward sambil menatap lurus ke manik mata Anya. Keduanya masih mencoba mengatur napas mereka yang menderu cepat karena permainan bibir yang Anya mulai. "Belum," ujar Anya dan kegilaan perempuan itu kembali terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN