Memasang Pelacak Jejak

963 Kata
Rahasia Suamiku Part 2 Saat Mas Hakam benar-benar sudah pergi. Cepat kuambil ponselku yang tergelak di dalam tas. Gegas kubuka aplikasi yang terhubung dengan mobil yang ia pakai. Jemariku bergulir menyentuh layar digital ini. Oke, mari kita lihat. Mas Hakam sudah sampai mana? Mataku memerhatikan gambar kecil yang bergerak lurus. Itu artinya, keberadaan Mas Hakam belum jauh dari sini. Sedikit santai, tak apa. Toh kemana pun ia pergi akan kuketahui. Beberapa menit menunggu. Mobil Mas Hakam melesak semakin jauh. Kini giliranku untuk membuntutinya. Kutinggalkan dulu barang belanjaan ini di atas nakas. Tanganku menyambar kontak mobil milikku yang biasa berada di dekat televisi. Langkah ini terus berlalu menuju tempat penyimpanan mobil di samping teras. Aku segera memasuki mobil dan melajukannya mengikuti ke mana arah lelaki itu pergi. Ponsel kuletakan di dasboard mobil. Agar aku mudah memantau keberadaan Mas Hakam. Seperkian menit mengikuti. Kulihat titik kecil di dalam maps ini menunjukkan gambar sebuah toko kue. Jadi Mas Hakam berhenti di toko kue? Sengaja kujaga jarak mobilku dengannya. Biar tidak ketahuan. Lagi pula, tadi aku sempat bilang bahwa mobilku remnya bermasalah. Tak mungkin 'kan, aku ngelayap pake mobil ini. Sedikit kumajukan lagi letak mobilku. kini dapat kulihat toko kue yang terletak di ujung sana. Tak lama. Sosok lelaki yang sangat kukenal ke luar dari pintu kaca toko itu. Kupincingkan mata untuk mempertajam pengelihatanku. Ternyata Mas Hakam tengah membawa kue entah apa bentuknya. Tidak terlalu jelas dari sini. Setelahnya ia kembali masuk ke dalam mobil. Dan melajukannya. Apa kah ini yang dinamakan urusan? Mau dibawa ke mana kue itu? Aku jadi semakin penasaran. Tahan Dewi. Ikuti saja ke mana dia pergi. Jika benar kue itu untuk selingkuhannya. Potong saja terongnya. Biar kapok! Lanjut kuinjak pedal gas pada mobil ini. Agar segera melesak membelah jalanan kota. Baru beberapa ratus meter dari toko kue. Mas Hakam berhenti lagi disebuah toko. Dan ini toko emas langgananku. Untuk apa dia di toko emas? Apa mau membelikan aku sebuah perhiasan? Pikiranku sangat tak karuan. Pertanyaan dalam kepalaku adalah. Akan diberikan kepada siapa dua benda yang barusan Mas Hakam beli? Sabar Dewi, sabar. Tunggu semuanya berjalan. Jangan gegabah. Berulang kali aku menarik nafas. Berusaha mengusir pikiran yang mengganjal dalam hati. Lelaki itu turun dari kendaraannya dan melenggang masuk ke dalam toko emas. Cukup lama aku menunggu ia keluar. Sudah hampir lima belas menit. Ternyata benar. Bahwa menunggu itu membosankan. Seperti yang lakukan sekarang. Menunggu lelaki bergelar suami itu ke luar dari sana. Akhirnya ... Mas Hakam ke luar juga. Ia membawa bingkisan di paper bag berwarna gold. Tentu isinya perhiasan. Aku sudah sangat hafal dengan toko ini. Dan harganya pun pasti sangat fantastis. Mas Hakam melanjutkan perjalanannya. Aku tetap mengikutinya dari jarak yang agak jauh. Setelah berpacu dengan ramainya kendaraan. Mobil Mas Hakam tengah berbelok dan memasuki perumahan yang aku sendiri belum pernah menjamah ke sini. Tak jauh dari kelokan tadi. Mobilnya berhenti di sebuah rumah tanpa pagar dengan gaya arsitektur klasik. Lumayan mewah hanya tak sebesar rumah yang aku tinggali saat ini. Rasa penasaranku semakin merasuk dalam. Sengaja kutinggal mobilku jauh dari lokasi rumah yang Mas Hakam tuju. Lelaki berkulit putih itu memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah itu. kutarik nafas dalam-dalam. Agar gugup ini hilang. Kaki jenjangku melangkah menyusuri jalan beraspal. Aku melangkah kian mendekat. Hingga melipir dan bersembunyi di dekat rimbunnya pohon mangga. "Yey, Ayah datang ...," suara anak kecil itu membuat jantungku serasa berhenti berdetak. Ia menyebut Mas Hakam Ayah?! ya Allah, ujian hidup macam apa ini? Kuharap telingaku hanya salah dengar. Terlihat jelas dari sini. Mas Hakam menghambur memeluk bocah itu sambil tertawa riang. Mereka saling peluk di teras rumah. Namun dua benda yang di beli Mas Hakam tak terlihat lagi. Mungkin masih di mobil. Pikirku. "Bunda, Ayah datang," lagi, bocah kecil itu bersuara dengan berteriak. Aku jadi makin penasaran. Siapa yang disebut Bunda. Air mataku mencelos begitu saja dari pelupuk mata ini. Sepahit ini kah hidup? Apa status Mas Hakam dengan bocah itu. Mengapa ia menyebutnya Ayah? Berbagai pertanyaan mengitari kepalaku. Sanggup kah aku menelan pil pahit dari lelaki yang kucintai. Mataku fokus menatap ke arah sana. Sosok wanita muncul dari pintu yang tengah terbuka lebar. Dia mirip yang berada di foto. Foto yang dikirimkan Fania. Meski foto itu tak terlalu jelas menggambarkan sosok siapa. Tapi aku sangat yakin, bahwa itu dia. "Mas, barusan datang? Kenapa nggak masuk rumah dulu." ucap wanita itu ramah. Ia menyambar tangan Mas Hakam dan mencium punggung tangan lelaki itu takzim. Semakin hancur rasa hati ini ya Rabb. Menyaksikan semua kejadian ini di depan mataku. "Tunggu ya," ujar Mas Hakam. Lalu berjalan ke arah mobil. Tak lama, ia kembali membawa paper bag dan kue. Ternyata benda barang-barang itu untuk wanita jal*ng itu. Awas kamu Mas! "Wah, kamu beliin aku apa Mas?" mata wanita itu berbinar melihat benda yang dibawa Mas Hakam. "Hadiah untuk kamu, Sayang. Happy anniversary yang ke empat Sayang," dengan raut bahagia, Mas Hakam melontarkan kata-kata itu. Ia pun mencium kening si wanita di depannya. Sama seperti saat ia mencium keningku. Hatiku hancur lebur menatap semua ini. Inginku mencabik wajah wanita dan lelaki yang tengah bahagia di atas tangisku. Namun aku berfikir. Tak perlu membalas dengan kekerasan. Cukup pelan dan menyakitkan. Sungguh, jika rumah yang ditempati wanita itu adalah hasil dari uang Mas Hakam. Aku tak akan rela. Lebih baik rumah itu aku infakkan kepada anak yatim. Dari pada harus ditempati para tikus itu. Air mata ini terlalu mahal untuk menangisimu Mas. Kau harus membayar mahal untuk hal ini. Bagiku sudah jelas. Kau pengkhianat! Kuseka pipi yang sedari tadi basah. Aku harus kuat. Tunjukan, bahwa aku bukan wanita lemah. Satu orang lagi muncul dari dalam rumah. Mataku membeliak melihat siapa sosok wanita tua itu. Tentu aku mengenalnya. "Eh, Ibu. Lihat lah, Mas Hakam bawa apaan." wanita yang keningnya dicium Mas Hakam menyebut wanita tua itu Ibu. jadi ... dia? Astaghfirullah haladzim.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN