Bab 6

1022 Kata
Mas Bagas menatapku dengan sorot mata yang tajam, sampai rasanya tatapan itu berhasil menembus jantungku. Bohong kalau dadaku tidak berdetak lebih cepat ketika melihat matanya. Bahkan, rasanya aku ingin membuatnya hanya menjadi milikku. "Bagaimana cinta itu bisa hilang hanya dalam kurun waktu yang pendek?" tanyanya tidak percaya. "Memang sudah. Sejak luka yang kau torehkan semakin menggunung, lalu hancur, maka cintaku padamu juga ikut melebur." Aku memberanikan diri untuk melemparkan tatapan yang lebih tajam lagi daripada dirinya, agar dia percaya kalau aku memang sudah tidak mencintainya lagi. Ada perasaan dalam d**a yang tidak bisa aku ungkapkan, tapi juga tidak bisa ditahan terlalu lama. Makanya akan sangat berbahaya bagiku kalau masih ada di sini. Kalau maju, hatiku akan terluka, bahkan anakku juga. Namun, kalau mundur, aku mungkin harus menjalani kehidupan yang keras di luaran sana. "Ya sudah, pergi saja dari sini! Melihat bajumu saja aku sudah tidak mau, apalagi melihatmu!" tandasnya dengan nada dingin yang sudah kembali. Aku tersenyum kecut, lalu melepaskan diri darinya. "Kalau kau memang tidak suka, setidaknya jangan lakukan hal ini lagi karena bisa membuat orang lain salah faham!" Usai mengatakan itu, aku kembali ke kamar. Rasa haus yang tadi begitu menyiksa, kini tiba-tiba hilang, dan tergantikan oleh rasa yang aku sendiri tidak tahu. "Aku tidak tahu kalau kau adalah orang yang begitu tidak tahu diri!" Dadaku berdegup kencang ketika mendengar kalimat yang sangat tidak ingin aku dengar itu, terutama yang mengatakannya adalah orang yang sangat penting bagiku. Gadis kecil yang aku angkat adik sendiri dan sahabat curhat malah menjadi bumerang untuk rumah tanggaku. Kalau tahu akan seperti ini, mungkin dulu aku tidak akan pernah dekat dengannya. Bahkan membayangkannya saja, aku sudah mual. Namun, apa yang mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Aku membalikkan badan dan menatapnya lekat. "Sebenarnya siapa yang tidak tahu malu, kau atau aku?" tanyaku berusaha mengendalikan emosi. "Tentu saja, kamu. Aku pikir selama ini kamu adalah orang yang baik yang pantas untuk dijadikan kakak, tapi ternyata ... aku sudah salah menilaimu." Kania tiba-tiba saja menangis, padahal aku tidak melakukan apapun. Bodohnya, aku malah terluka ketika melihat matanya mengeluarkan air mata. Padahal dia sudah begitu tega padaku, tapi kenapa aku masih harus peduli terhadap perasannya? Aku sendiri tidak tahu kenapa hal ini harus terjadi, tapi satu hal yang pasti kalau aku tidak bisa membencinya apapun yang dia lakukan padaku. "Apa kamu tahu, aku sudah lama mencintai Mas Bagas. Cuman ketika dia akan melamarku, dia malah dijodohkan denganmu," ungkapnya membuat tubuhku lemas. Benarkah itu? Kalau seperti ini, bukankah aku yang sudah berada di posisi yang salah? "Tidak. Bagaimanapun dan apapun yang terjadi di masa lalu, sedalam apapun rasa cinta kalian, tetap saja aku istrinya, dan kalian tidak pantas mengatakan cinta di depanku!" Aku melipat tangan di d**a dengan harapan dia mau memutar tubuhnya dan pergi dari sini. Akan tetapi yang terjadi justru sangat jauh dari yang aku harapkan, karena dia malah menjatuhkan dirinya di lantai. "Ya ampun, Mas, tolong aku!" teriaknya sambil berakting seolah akulah yang sudah mendorongnya. "Vania! Apa yang kau lakukan?" Mas Bagaskara segera keluar untuk membantunya bangun dan berteriak ke arahku. Aku mendelik ke arahnya. "Apa-apaan sih, jatuh sendiri juga." Tidak mau tahu drama apa yang terjadi, aku memilih pergi ke dapur untuk membuat makanan. Sepertinya anakku sudah lapar dan mau bubur kacang hijau, jadi aku mau membuatnya sendiri. *** Aku tidak mempedulikan teriakan mereka berdua yang sudah seperti orang gila. Lagipula aku memang tidak punya waktu untuk itu. Aku menghidangkan satu mangkuk bubur dan menyimpannya di atas meja makan, lalu mencuci pancinya terlebih dahulu karena aku membuatnya memang hanya untuk satu orang. Akan tetapi baru saja aku selesai mencuci panci, terdengar suara benda pecah dari arah ruang makan, dan hal ini sungguh membuatku marah. Jangan sampai bubur kacangku yang jatuh atau dilempar ke lantai. Kalau tidak, lihat saja nanti. Benar saja, aku melihat dengan jelas makanan yang ingin aku makan itu sudah menyatu dengan pecahan mangkuk dan lantai. Tanpa basa-basi aku langsung mengambil air panas dari dispenser dan menyiramkannya ke tubuh Kania juga Mas Bagas. Aku sudah membuatnya dengan susah payah, sayangnya mereka bukan hanya tidak menghargaiku, tapi memang sengaja untuk membuat gara-gara. "Kau!" Mas Bagas menarikku sampai ke kamar mandi yang ada di dapur. Tenaganya yang besar membuatku tidak bisa melawan apalagi lepas dari cekalannya. Dia menyalakan shower ketika aku sudah berada tepat di bawah benda itu dan menahanku agar terkena guyuran. "Sudah kubilang kau harus segera pergi dari tempat ini, tapi kau malah membuat masalah untuk kami? Dasar tidak tahu malu!" bentaknya penuh amarah. Melihat aku yang diperlakukan seperti ini, terlihat dari sudut mata, Kania bergidik ngeri. Benar, dia pasti tidak mau berada di posisiku. Karena kalau marah, Mas Bagas memang langsung berubah menjadi dua orang yang berbeda. Meski dia sudah begitu jahat padaku, tapi tetap saja aku tidak tega jika melihatnya diperlakukan sama. Apa sebaiknya aku pergi dari sini agar dia juga tidak akan menjadi sasaran amarah Mas Bagaskara? Lagipula aku tidak mungkin membiarkan anakku melihat sikap kejam ayahnya. Usai tubuhku menggigil, Mas Bagas baru mematikan shower-nya. Padahal dia juga ikut basah, anehnya kenapa dia suka sekali melakukan hal ini, dan ini bukan yang pertama kalinya. Mas Bagas pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Dasar orang aneh, tapi ini juga kesempatan untukku agar bisa kabur dan ganti pakaian. Aku tidak ingin sakit, terutama anak yang ada di dalam perutku. Meski Mas Bagaskara tidak mau menerimanya, tapi aku sangat menyayanginya. Benar, sepertinya aku memang harus pergi dari sini. Aku tidak ingin anakku mengalami hal menyakitkan yang didapat dari ayahnya sendiri.. Dengan cepat aku memasukkan beberapa helai pakaian yang akan aku bawa dan juga benda-benda indah yang bisa aku gunakan sebagai kenang-kenangan. Setelahnya aku keluar dengan koper berukuran sedang. Kebetulan ketika keluar, aku melihat Mas Bagas dan Kania sedang bermesraan di ruang tengah. "Aku ingin kita segera menikah, Mas," ucap Kania sambil memeluknya. "Aku juga, tapi nanti setelah benalu itu pergi dari hidupku!" tegas Mas Bagas. Aku mendekat ke arah mereka, "Tidak perlu nanti, aku akan pergi sekarang!" ucapku mantap. Mas Bagas mendadak diam dan aku menangkap ada kesedihan di matanya. Namun, rasanya hal itu mustahil jika mengingat selama ini dia sendiri yang memintaku untuk pergi meninggalkan rumah ini. Iya, aku pasti salah lihat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN