Bab Tiga

1033 Kata
Baru sampai di rumah, aku begitu terkejut mendapati banyak mobil di halaman rumah. Siapa lagi yang datang? Mama, tidak mungkin. Bergegas aku masuk ke dalam rumah dan menyimpan barang-barang yang tadi dibeli. "Ini pacar kamu sekarang?" Terdengar suara lelaki sedang bertanya. "Iya, gimana, cantik enggak?" jawab Mas Bagaskara yang diiringi gelak tawa. Dari sini aku dapat mendengar suara mereka yang berada di ruangan khusus tamunya Mas Bagaskara, tapi ada satu orang yang dilarang masuk ke sana. Bahkan mendekat pun akan langsung diseret keluar rumah, orang itu adalah aku. Ya, aku adalah orang yang berstatus istri tapi hanya di kertas. Bahkan dia tidak mengizinkan aku untuk menyentuh barang-barang pribadinya. Hanya beberapa kali aku tidur di kamarnya, itu pun karena orang tua kami yang memaksa. "Cantik, tapi bagaimana dengan istrimu?" "Istri? Hah, dia hanya pelayan kecil di rumah ini. Sudahlah, jangan bawa-bawa namanya, nanti aku tidak nafsu makan," maki Mas Bagaskara yang dapat kudengar. Malam ini seperti biasa aku hanya bisa duduk dalam sepi dan keheningan malam. Tidak ada cara yang bisa kulakukan agar bisa menjauh dari sini. Tidak mungkin bagiku untuk pergi, tapi jika dipaksa untuk bertahan, hatiku akan semakin berkubang di dalam luka yang berdarah dan bernanah. Namun, ada cinta yang bisa aku pertahankan untuk tetap tinggal. Lagipula jika pergi dari sini, aku mau tinggal di mana? "Menurutku dia cantik, loh?" "Cantik kalau melihatnya dari dalam sedotan." Mereka pun tertawa bersama sampai larut malam tanpa memikirkan perasaanku sedikit pun. Ingin aku tidur, tapi suara mereka membuatku kembali terbangun. Entah tidur jam berapa, aku hanya bisa tenang ketika suara mereka tidak lagi terdengar. "Kau, keluar! Jangan jadi orang pemalas!" Teriakan dan gedoran di pintu membuatku terpaksa membuka mata dan berjalan ke arah pintu denger langkah tertatih. Entah kenapa kaki ini tiba-tiba sakit, padahal semalam masih baik-baik saja. Aku memutar kenop pintu dan setelah terbuka lebar, sosok Mas Bagaskara terlihat. "Apa yang kau lakukan di siang bolong begini, hah? Segera siapkan sarapan!" perintahnya membuatku heran. "Apa, kenapa tiba-tiba?" Aku bertanya ragu. "Tiba-tiba apanya? Cepat jalankan, ini perintah!" "Bukankah kau tidak mau aku menyentuh barang-barangmu?" tanyaku lagi sambil berjalan ke arah dapur dengan kaki yang masih sakit, tapi karena bahagia, aku menghiraukan rasa sakitnya. Mas Bagaskara hanya tersenyum tipis. Tanpa pikir panjang, segera aku memasak makanan yang banyak sampai hampir memenuhi meja makan. Ada yang dari daging, sayuran, aneka mie, dan ada juga yang dicampur. Semuanya sungguh indah dilihat karena aku sengaja menatanya dengan cantik. Aku juga tahu rasanya lezat karena tadi aku sudah mencicipinya berulang. "Pergi ke dapur dan buatkan aku teh hangat!" titah Mas Bagaskara lagi sambil menarik kursi yang ada di depannya, lalu duduk. Bergegas aku pergi ke dapur dan menyiapkan peralatan untuk membuat teh. Namun, belum lama aku pergi, suara benda pecah terdengar keras di telinga. "Apa ini? Kenapa rasanya sangat tidak enak?" Suara Mas Bagaskara yang berteriak kembali membuat hatiku luka. Apa yang salah? Aku sudah membuat semuanya menjadi sempurna, tapi kenapa harus ada kesalahan? Aku buru-buru kembali ke meja makan dan mendekat padanya. "Kenapa, Mas, apa yang tidak enak?" tanyaku dengan perasaan takut. Bagaimana tidak, baginya semua hal harus tampak sempurna. Begitupun dengan makanan. Jangan sampai makanan yang aku hidangkan ada bagian yang cacat, baik itu rasa, tampilan, bahan-bahan, dan takarannya. "Sayur apa ini? Kenapa rasanya hambar?" tanyanya dengan suara yang membuat telingaku berdengung. "Terus ini ayam, kenapa kecapnya tidak meresap, dan daging sapi ini juga masih keras?" cecarnya. Aku sendiri tidak tahu kenapa begitu banyak komplen yang aku terima, padahal aku sudah berkali-kali melakukan pengecekan kalau makanan yang aku masak sudah sesuai dengan makanan yang biasa dia makan. "Makan semuanya di lantai atau aku lempar piring ini padamu!" teriaknya lagi. Perintah itu memang terdengar hina, tapi cinta dalam d**a membuatku melakukannya di bawah alam sadar. Aku membawa beberapa piring yang menurutnya tidak enak itu ke lantai dan memakannya. Dengan bangga, dia malah tertawa terbahak-bahak, lalu mengatakan, "Dia memang selalu seperti ini, padahal aku sudah mengatakan kepadanya kalau aku tidak akan pernah tersentuh untuk bersimpati padanya sebesar apapun cinta yang dia berikan padaku." Teman-temannya yang semula ikut tertawa, kini diam. "Memangnya kenapa? Aku rasa ayam sama sayur ini enggak ada masalah, nih, aku juga makan daging sapinya. Enak, kok, empuk." Seorang lelaki melontarkan kalimat yang memuji masakanku. "Jadi kau ingin makan di lantai menemani dia, begitu?" Mas Bagaskara melemparkan tatapan tajam yang melebihi tajamnya senjata tajam. Segera aku memberikan isyarat kepada orang baik itu kalau aku tidak apa-apa dan aku berada di sini memang atas keinginanku. Bukan karena harta atau apapun, tapi karena cinta yang sudah brsemayam dalam d**a begitu besar. "Tidak, tapi setidaknya kau punya cara yang lebih layak untuk memperhatikan istrimu!" Laki-laki itu masih terdengar membelaku, padahal kita tidak saling kenal. Satu hal yang membuatku bingung, Mas Bagaskara mengundang banyak teman ke sini, tapi tidak mengajak temannya yang bernama Leo, padahal hubungan pertemanan di antara mereka sudah sangat lengket. "Cara yang layak? Coba kau tunjukkan bagaimana cara yang lebih layak itu? Asal kau tahu, aku tidak pernah merasa kalau aku punya istri!" Mas Bagaskara memukul meja makan dengan sangat keras, kemudian berlalu begitu saja ke kamarnya. "Lain kali kamu harus membela diri ya, Mbak." Lelaki itu berpesan padaku tepat sebelum ia pamit pulang. Ada rasa hangat dalam d**a ketika mendapatkan perhatian yang berbeda. Sebelum dingin seperti sekarang, dulu Mas Bagaskara juga sempat seperti itu. Bahkan selama ini kami sangat bahagia dengan pernikahan hasil perjodohan ini, yang pada akhirnya aku jatuh cinta lebih dulu. Sayangnya semua itu berlalu begitu saja dan sikap orang yang kucintai sudah berubah menjadi orang lain. Setelah membersihkan ruangan ini sampai kinclong seperti awal, terdengar suara bantingan pintu dari arah kamar suamiku. Apa lagi ini? Segera aku mengambil langkah lebar dan menanyakan alasan kenapa dia sampai seperti ini. "Sapu semua ruangan ini dan pel! Jangan sampai ada kotoran sedikit pun atau setitik debu, lalu lap semua perabotan sampai dinding rumah!" titahnya kejam, tapi hatiku tetap berbunga ketika mendengarnya. Setidaknya dia sudah jauh lebih baik karena sudah mau menyentuh apapun yang sudah aku sentuh. Tanpa bertanya atau menunjukkan kalau diri ini keberatan, segera aku menjalankan semuanya dengan suka cita sambil bersenandung ria. Pokoknya aku tidak boleh lelah, aku harus melakukan apapun agar suamiku bisa kembali menjadi suami yang lembut, seperti Mas Bagaskara yang aku kenal dulu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN