BAB 2: Kabur

1033 Kata
Waktu telah berlalu, malam kian larut, Naomi masih diam terjaga sibuk dengan pikirannya sendiri yang memikirkan apa yang akan terjadi dengan masa depannya nanti bila ayahnya berhasil membuat Naomi menikah bisnis? Seperti apa pria yang di jodohkan dengan Naomi? Bagaimana jika pria yang akan menikahi Naomi itu sudah tua dan berkepribadian kasar? Mustahil seorang pria kaya dan memiliki banyak uang memilih menikah bisnis yang sama sekali tidak menguntungkan. Bahkan, jika pria yang akan menikah dengan Naomi adalah pria kaya dan tampan. Kepribadian Pria itu patut di pertanyakan. Naomi beranjak dari ranjangnya, gadis itu terlihat begitu gelisah memikilkan hal-hal buruk yang kemungkinan akan terjadi dengan masa depannya jika menikah muda. Naomi tidak rela! Dia tidak mau! Apa yang harus dia lakukan sekarang? Jika Naomi menolak permintaan Magnus, akankah Magnus menyetujuinya? Namun bagaimana jika Magnus menolak permintaannya? Segelintir pertanyaan terus bermunculan di kepala Naomi hingga akhirnya gadis itu terdiam memikirkan sesuatu. Terbesit dalam benaknya untuk mengambil sebuah langkah yang berani. Yaitu pergi kabur dari rumah. Akankah rencana pernikahan bisnis ini batal jika Naomi pergi sementara waktu dari rumahnya? Namun, apakah Naomi mampu jika dia pergi sendiri dan tidak lagi berada di bawah perlindungan ayahnya? Dia harus sadar semua konsekuensinya jika memutuskan pergi. “Tidak ada salahnya mencoba,” bisik Naomi memperkuat tekadnya yang muncul karena kepepet. Terburu-buru Naomi pergi mengambil dua koper, gadis itu segera memasukan banyak pakaian mahalnya yang kemungkinan bisa berguna jika butuh uang dan menjualnya, Naomi membawa semua perhiasannya, uang dan juga beberapa barang lainnya. Satu jam lebih Naomi mengepak semua barangnya, kini gadis itu menggendong ransel besar dan berdiri di antara dua koper besar yang sama sekali tidak menunjukan seperti seseorang yang akan pergi kabur. Melainkan pindahan. Waktu sudah menunjukan pukul tiga dinihari, ini adalah waktu yang paling sempurna untuk Naomi pergi karena semua orang pasti sudah beristirahat. Naomi menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberanian dan tekadnya sampai akhirnya dia membuka pintu kamar. Naomi menendang barang pemberian Cassandra yang menghalangi langkahnya, dengan penuh tenaga dia menarik dua koper besarnya, saking besar dan banyaknya barang yang di bawa Naomi, dengan konyolnya gadis itu harus naik turun tangga membawa kopernya bergantian. Begitu sampai di depan gerbang rumah, Naomi bertemu dengan penjaga gerbang. “Nona Naomi,” sapa Alan sambil meneliti penampilan Naomi yang menggendong ransel, membawa dua koper besar. Penampilan Naomi saat ini mengingatkan Alan pada ibunya yang dulu akan pergi mengungsi dari desa karena ada bendungan yang rusak. “Alan buka pintunya,” titah Naomi dengan suara yang begitu pelan. “Anda mau ke mana? Kenapa tidak membawa mobil?” tanya Alan dengan curiga. Naomi, nona mudanya itu adalah gadis muda yang manja, sedikit-sedikit membutuhkan bantuan orang lain, mencurigakan jika dia pergi sendirian. “Aku akan pergi liburan.” “Benarkah?” Alan masih berdiri di tempatnya dan menatap curiga. “Cepat buka pintu gerbangnya Alan! Aku bisa ketinggalan pesawat,” titah Naomi, berusaha lebih meyakinkan Alan. “Saya akan memanggil sopir untuk mengantar Anda.” “Tidak perlu, sudah ada taksi di depan,” jawab Naomi dengan cepat, “cepat buka pintunya,” titah Naomi tidak sabaran. Alan yang terlihat ragu-ragu pada akhirnya membukakan pintu gerbang untuk Naomi. Naomi segera pergi keluar menghampiri taksi pesanannya, dengan polosnya gadis itu masih sempat meminta Alan untuk membantunya memasukan koper bawaannya ke dalam ke dalam taksi. Bahkan Naomi melambaikan tangannya dan tersenyum lebar kepada Alan begitu taksi yang di tumpanginya bergerak pergi. Alan bertolak pinggang, pria itu terdiam melihat kepergian taksi itu dengan perasaan bingung. “Sepertinya aku sudah membuat kesalahan.” *** Suasana stasiun kereta tampak sepi, Naomi duduk menunggu keberangkatan kereta yang akan datang beberaa menit lagi menuju kota sebrang. Naomi sengaja memakai kereta karena ini adalah cara yang paling efektif. Jika Naomi pergi memakai pesawat, mungkin dia akan tertahan karena membawa banyak barang, selain itu, jika naik pesawat kepergiannya akan mudah di lacak juga oleh ayahnya. Naomi menatap sendu lorong hitam di kiri kanan jalannya kereta, perasaan sedih masih menggelayut di hatinya karena apa yang terjadi padanya saat ini sama sekali tidak pernah sedikitpun bayangkan akan terjadi. Naomi meremas keras permukaan pakaiannya sampai lusuh, rasa takut pergi jauh sendirian membuatnya sempat ragu dan ingin kembali pulang. Akan tetapi, dia tidak rela menyerahkan masa mudanya dalam belenggu pernikahan. Naomi mengusap wajahnya yang basah, air matanya kembali luruh terjatuh. Tidak berapa lama kereta luxury yang Naomi tunggu akhirnya tiba, gadis itu masuk dengan senyuman lebarnya, meski saat ini hatinya begitu gelap terselimuti kesedihan. Ini mungkin menjadi hal baru untuk Naomi, namun dia tidak boleh terus tenggelam dalam kesedihannya. Naomi menyempatkan diri untuk tidur selama perjalanannya menuju luar kota yang kemungkinan akan menghabiskan waktu satu sampai dua jam. Naomi akan naik kereta lagi menuju kota lainnya untuk menghilangkan jejak. *** Di pagi itu, suasana kediaman Magnus tampak ramai, Magnus marah besar setelah di beri kabar oleh Alan bahwa Naomi pergi. Kemarahan Magnus kian menjadi begitu dia menyadari bahwa Naomi membawa semua barang-barang berharga miliknya. Naomi tidak akan membawa barang sebanyak ini jika memang dia ingin pergi liburan. Magnus curiga jika Naomi sudah mengetahui rencananya karena itu puterinya pergi. Magnus memijat tengkuknya dengan kuat, Magnus memaki dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga Naomi dengan baik hingga menimbulkan kesalah pahaman seperti ini pada puterinya. Padahal ada hal lain yang seharusnya Naomi dengar di balik keputusan Magnus yang ingin menikahkan dia dengan seseorang. Sebagai seorang ayah, mana mungkin Magnus menyerahkan puterinya begitu saja pada pria sembarangan. Salahnya, Magnus lebih dulu memberitahu Cassandra di bandingkan dengan Naomi. “Sudah ada kabar lagi?” tanya Magnus. “Tidak ada, Tuan.” Tangan Magnus bergerak di udara, memberi isyarat kepala pelayan untuk pergi. Kepala pelayan itu mengangguk patuh dan segera pergi undur diri. Suara langkah sepatu terdengar tajam di lantai begerak ke arahnya, Cassandra melangkah terburu-buru menghampiri Magnus. Begitu mendengar kabar Naomi pergi, Cassandra memutuskan segera datang. “Ke mana Naomi pergi sebenarnya?” tanya Cassandra tanpa basa-basi. Tangan Magnus terkepal kuat, pria itu menggebrak meja dengan keras dan segera beranjak enggan memberikan jawaban, kedatangan Cassandra di tengah-tengah kekacauan seperti ini sungguh membuat kemarahan Magnus kian tidak terkontrol. Kedatangan Cassandra sama sekali tidak akan membuat suasana menjadi lebih baik karena setiap kali mereka berbicara, semua berakhir dalam perdebatan omong kosong. “Magnus, jawab aku!” teriak Cassandra. To Be Continued..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN