Chapter 2

525 Kata
Part 2 Jujur Pada Istri Pertama Elang pulang ke rumah dengan pikiran kalut. Diparkirkannya motor tepat di depan kontrakan, tanpa bertegur sapa dengan para tetangga. Biasanya, sebelum masuk ke rumah, Elang pasti berbincang sejenak atau bertegur sapa dengan tetangga kanan dan kiri yang kebetulan berada di depan rumah mereka. Kiya melihat wajah suaminya yang muram begitu menginjakkan kaki di dalam rumah, langsung menyambut suaminya dengan senyuman hangat. “Ada apa, Sayang? Kenapa wajahnya cemberut? Capek ya?” sapa Kiya sembari mencium punggung tangan suaminya. Wanita itu menerima tas ransel dari tangan suaminya, lalu menggantungnya di tempat biasa. Lelaki itu langsung masuk ke dalam kamar mandi tanpa bicara apa pun. Kiya resah, bahkan sampai menghela napas berat beberapa kali. Sigap ia siapkannya minuman dan juga makan sore untuk suaminya. Suara keran air berhenti, begitu juga bilasan di dalam sana. Elang keluar hanya mengenakan handuk yang menutupi sebagian tubuhnya hingga pinggang. Kiya masih setia menunggu suaminya sampai selesai berpakaian. Makanan dan minuman sudah dia hidangkan di ruang depan kontrakan. Tumis kangkung dan ayam goreng serundeng adalah menu favorit suaminya. Elang keluar dari kamar dan mendekat pada hidangan yang telah disiapkan Kiya. Biasanya, lelaki itu akan berbinar melihat menu kesukaannya, tetapi sore ini tidak. Kiya kembali menghela napas berat dan semakin penasaran dengan apa yang telah terjadi dengan suaminya. “Kamu sakit, Bang? Kenapa dari tadi aku tanya, kamu diam saja? Apa karena lagi-lagi aku datang bulan, sehingga harapanmu untuk punya anak dariku pupus?” cecar Kiya dengan suara yang bergetar. Saat tengah kedatangan tamu bulanan seperti sekarang ini, emosinya memang tidak stabil dan mudah sekali marah. Ditambah suami yang bungkam saja begitu pulang dari bekerja, maka bertambah buruklah yang ada dalam pikirannya. Ini sudah tahun keempat mereka menikah dan belum juga dikaruniai buah hati. Kiya merasa sangat tidak nyaman jika suaminya berwajah masam, ia mengira itu semua karena dirinya. Mendengar Kiya mencecarnya dengan kalimat penasaran dan seakan menuduh, Elang menghentikan kunyahannya, lalu menatap istrinya dengan perasaan amat bersalah. Bukannya marah, hanya saja dia tidak tahu harus mulai dari mana membicarakan kesulitan ibunya. “Aku akan menikah lagi, Kiya,” lirih Elang dengan suara tertahan. Bukannya kaget atau marah, Kiya malah terbahak mendengar ucapan konyol sang suami. “Mana ada yang mau nikah sama kamu, Bang. Pasti wanita itu nggak waras. Kita saja masih kekurangan. Pakai mau nambah istri. Jangan ngaco!” “Ibu berutang pada Bu Rima lima puluh lima juta dan aku harus menikahi Huri, agar Ibu tidak dipenjara.” “Apa? Me-menikah lagi untuk membayar utang Ibumu? Ya Allah, Bang. Pokoknya aku tidak sudi dimadu. Aku tidak mau kamu menikah lagi. Tunggu, ini bukan akal-akalanmu, kan? Bukan karena kamu menyukai Huri, kan?” “Astagfirullah, Kiya! Aku lagi pusing, malah kamu fitnah tidak jelas. Aku juga bingung mau bayar utang Ibu bagaimana dalam waktu satu minggu. Aku juga tidak mungkin membiarkan Ibu dipenjara karena tidak mampu membayar utangnya.” Elang tidak jadi makan. Lelaki itu menunduk dengan berjuta beban pikiran di kepalanya. “Bang, dengar! Ibu kamu sudah sering berutang dengan orang dan kamu kebagian bayar utangnya. Ibu kamu selalu menggampang semua, karena memilikimu anak yang penurut dan pasti membantunya dengan senang hati. Walaupun kamu sendiri masih kekurangan. Jadi, menurutku biarkan Ibu menerima efek jera dari perbuatannya.” “Kiya! Jaga bicaramu! Aku akan tetap membela Ibu dan aku akan menikahi Huri. Terserah kamu mau setuju atau tidak!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN